Saat ini dunia internasional sedang memberi atensi lebih kepada kuliner Indonesia, salah satunya tempe. BBC Indonesia mencatat setidaknya tiga pengusaha di tiga negara yaitu Inggris, Jepang dan Meksiko yang mengembangkan olahan dari kedelai tersebut.

Namun siapa sangka bahwa bahan tempe tidak hanya terbuat dari kedelai saja. Ada tempe alakatak, makanan khas Sukoharjo yang terbuat dari kacang koro atau parang dan kacang koro benguk. Ukurannya yang lebih kecil dari ukuran tempe pada umumnya serta bungkusnya yang terbuat dari daun jati, menjadi ciri khas tempe alakatak.

Tak banyak warga Sukoharjo yang membuat tempe alakatak. Salah satu pengrajin yang masih eksis hingga saat ini adalah Kamtini yang memulai usaha tempe alakatak sejak tahun 1972.

Nyaris setengah abad dirinya berkecimpung dari proses pemilihan kacang hingga menjualnya ke pasaran. Selama itu pula dirinya menggantungkan hidup dari tempe alakatak. Meski untungnya tak seberapa, namun dirinya mampu menyekolahkan putra-putrinya hingga jenjang sarjana.

Di wilayahnya, yaitu Desa Weru, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, sudah tak banyak lagi warga, terutama anak muda yang membuat tempe alakatak. Prosesnya yang panjang menjadi salah satu alasan makanan kaya protein ini menjadi semakin langka. Bahkan, karena lokasinya yang berada di area pedalaman, nama alakatak tidak terlalu familiar bagi warga Sukoharjo yang tinggal di perkotaan.

Proses Pembuatan Tempe Alakatak

Kepada penulis, Kamtini menunjukkan proses pembuatan tempe alakatak. Dimulai dari proses pemilihan kacang parang dan kacang koro benguk. Proses seleksi kacang dilakukan untuk memisahkan kacang berkualitas baik dan buruk. Kacang yang tidak layak akan menjadi pakan ternak.

Setelah itu, kacang-kacang terpilih akan direndam selama dua hari dua malam, dan setiap beberapa jam air akan diganti. Hal itu dilakukan untuk mengurangi kadar racun yang terkandung pada kacang-kacang itu.

Setelah direndam, kacang kemudian direbus. Proses merebusnya menggunakan kayu bakar, agar api untuk memasak cukup besar. Kacang yang semula keras pun mulai melunak setelah direbus selama setengah hari.

Kacang yang mulai lunak kemudian ditumbuk menggunakan lesung secara manual. Di usianya yang ke-80, Kamtini bersama suami tetap rutin menumbuk kacang untuk membuat tempe alakatak. Proses penumbukan akan memisahkan dari kulit ari kacang dan inti yang berada di bagian dalam.

Usai sudah proses pembersihan kacang dari racun dan kulit yang menempel. Kacang parang dan koro benguk itu dibungkus dengan daun jati, kemudian dihamparkan di tempat terbuka, namun terlindung dari cahaya. Pada saat itu, ragi yang berasal dari tempe alakatak ditabur sampai jamur tumbuh pada biji kacang.

Proses ini membutuhkan waktu hingga dua hari lamanya untuk dapat menumbuhkan jamur, barulah menjadi tempe alakatak yang dapat dimasak dan dikonsumsi oleh masyarakat. Maka, bila dihitung sejak kacang mentah hingga menjadi sebungkus tempe kedelai, setidaknya membutuhkan waktu hingga lima hari lamanya.

Sebuah proses yang cukup panjang untuk menghasilkan satu hidangan makanan sederhana, bila dibandingkan dengan tempe kedelai pada umunya yang hanya membutuhkan waktu dua hari sejak kedelai mentah hingga dapat dipasarkan.

Berdikari : Produksi Sendiri, Menjual Sendiri dan Mengikuti Hari Pasaran Jawa

Dalam pendistribusian, Kamtini menjualnya setelah dimasak dengan bumbu rempah alami, seperti kunyit sebagai pewarna dan perasa, serta sedikit garam. Tempe alakatak juga disajikan bersama mi yang juga bernama mi alakatak. Mi yang terbuat dari tepung tapioka itu memiliki tekstur kenyal. Karena itu, penyajiannya digabung antara mi dan tempe dalam satu bungkus, sehingga tekstur tempe yang renyah dan mi yang kenyal bersatu ketika dinikmati. Rasa dari bumbu alami yang terasa kuat di lidah, menjadi penawar ketika vetsin kini kerap digunakan untuk memasa

Kamtini tidak mengambil untung terlalu banyak dari dagangannya. Dengan hanya seribu rupiah, tempe alakatak yang alami dan menyehatkan ini sudah dapat dinikmati. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang sudah doyan (baca: candu) dan harus makan dengan nasi, satu buah tempe tentu tidak cukup. Lima bungkus tempe mungkin baru bisa menjinakkan nafsu lapar yang menggeliat di perut.

Sebagai orang Jawa, Kamtini juga memasarkan produk olahannya di hari pasaran yang telah terjadwal. Bila pada Hari Pon dan Legi menjajakan di Pasar Weru, maka Kliwon ia mangkal di pinggir jalan, sedangkan Wage ia memilih libur. Konsep pasaran Jawa telah dia jalankan sejak muda.

Kamtini menjajakan tempe alakatak di beberapa tempat, bergantung pada pasaran Jawa/ Muhammad Irfan Amin

Ia menuturkan bahwa ilmu pembuatan tempe yang ia geluti saat ini merupakan warisan dari sang ibu. Katanya, saat ia masih belia, warga Sukoharjo terkhusus di Weru, semuanya menggeluti pembuatan tempe alakatak. Setidaknya, bila tidak menjadi industri, maka menjadi hidangan yang tersaji saat melaksanakan kegiatan, seperti pengajian atau kenduri.

Kini, tempe alakatak berada di ambang kepunahan, tak ada anak muda yang mau meneruskan. Padahal, keberadaannya bisa menjadi alternatif saat tempe pada umumnya yang terbuat dari kedelai sering diterjang badai pasar komoditas, lantaran kedelai harus diimpor. Sedangkan tempe alakatak menggunakan produk yang seratus persen lokal.

Ke depannya, tempe alakatak tak hanya menghadapi masalah dalam proses pembuatannya saja, tetapi juga pemasaran. Sehingga, bila ada pembeli datang dari luar Kabupaten Sukoharjo, seringkali harus ditolak. Bila menggunakan mekanisme jual beli daring masih juga belum bisa dilakukan, hal itu disebabkan oleh ketahanan tempe alakatak yang belum teruji jika harus dibawa berkendara.

Umumnya, proses jual beli tempe alakatak berlangsung singkat: dimasak, dijual, dan siang hari sudah habis terjual. Bila masih tersisa akan dibagikan kepada tetangga, seperti umumnya kultur warga desa.

Sesungguhnya, keberadaan tempe alakatak menjadi cerminan dan ciri khas wilayah Weru yang berada di Sukoharjo yang rawan kekeringan saat musim kemarau. Sedangkan kedua jenis kacang itu mudah beradaptasi dalam kondisi kekurangan air, cocok dengan karakter tanah yang ada di Weru. Maka, bila Indonesia hendak mencari panganan alternatif, tempe ini dapat menjadi pilihan.

Khazanah kuliner Indonesia yang beraneka ragam akan semakin menguatkan identitas Bhineka Tunggal Ika. Kini, menjadi tugas generasi muda untuk melanjutkan makanan sebagai local wisdom, agar generasi selanjutnya dapat mengenal dan mencicipi lezatnya hidangan warisan leluhur. Di balik penyajian makanan, selalu terdapat ajaran tentang kebaikan dan kekayaan alam yang ada di sekitar kita.

Penyunting: Nadya Gadzali