Etnis.id - Setelah menyaksikan salah satu film india yang terbilang apik, Satyameva Jayate (2018). Sontak, saya merasa ditegur dan diperingati oleh beberapa dialog dalam kondisi yang saya hadapi saat ini.

Salah satunya adalah berada di penghujung adegan, saat Veer telah menemukan orang yang telah memfitnah ayahnya, sehingga sang ayah memutuskan untuk membakar dirinya di hadapan bendera tercinta, bendera India.

Tak sama dengan peristiwa sebelumnya, kali ini Veer tak langsung mengeksekusi pelaku yang terbukti korupsi, melainkan ia masuk dalam sebuah kondisi yang berat. Di satu sisi, orang terakhir yang masuk dalam daftar polisi terkorup adalah orang terdekat almarhum ayahnya dan di lain sisi, orang tersebut adalah ayah dari kekasihnya. Veer terjebak dalam sebuah pilihan terberat.

Kondisi tersebut pernah pula dihadapi The Founding Father, Bung Karno, menjelang jatuhnya rezim orde lama. Saat ia harus merelakan dirinya menjadi tahanan rumah, menjauh dari publik dan merelakan masa kepemimpinannya, demi kemajuan negeri ini.

Bung Karno sangat menaruh harapan besar kepada pasukan tentara nasional untuk menjaga negeri ini. Namun sebaliknya, pasukan tersebut melayangkan mosi tidak percaya kepadanya yang mengharuskannya menanggalkan kepemimpinan. Alhasil, Orde Baru lahir dan Orde Lama bergegas pergi meninggalkan sejumlah tanya yang tak mampu terjawab sampai saat ini.

Sementara itu, cerita Mary Gabriel dalam “Love and Capital: Karl and Jenny Marx, and The Birth of Revolution”, mengisahkan Jenny, istri Karl Marx yang pernah merasakan getir sebuah pilihan saat menyaksikan Marx sedang main serong dengan perempuan lain.

Diperhadapkanlah ia dengan dua pilihan, menceraikan Marx atau tidak. Normalnya, saat seorang perempuan menyaksikan orang terkasihnya main gila dengan perempuan lain di depan matanya, maka pilihan yang dinilai tepat adalah menceraikan lelaki tersebut.

Namun tampaknya, keputusan seperti itu tidak berlaku bagi Jenny. Kendati ia menyaksikan sikap tak menyenangkan dari Marx, namun ia masih menyisakan sebuah ruang dalam dirinya untuk memaafkan.

Maka sungguh bijaklah Jenny ini! Alasan dari pilihannya, ia sudah lama
mengenal Marx, maka tidak mungkin ia melakukan hal demikian dengan keinginannya sendiri.

Belakangan, diketahui bahwa Marx terbawa pengaruh alkohol yang ia minum saat setelah meninggalkan sebuah perpustakaan dengan pemikiran yang bimbang, sehingga ia mengonsumsi alkohol sebagai penenang. Efeknya, ia terjerumus ke dalam sebuah lubang yang kiranya perempuan manapun sangat tidak mungkin memaafkan, kecuali Jenny.

Jenny berharap bahwa Marx melakukan hal demikian untuk pertama dan terakhir kalinya. Walau bagaimanapun, Jenny adalah representasi perempuan dengan tingkat kebijaksanaan di atas rata-rata, disusul Simone De Beauvoir terhadap kekasihnya, Jean Paul Sartre dan Hannah Arendht dengan Martin Heiddegger.

Namun apakah sifat kebijaksanaan Jenny, Beauvoir dan Arendht terhadap perilaku pasangannya, mampu diwarisi oleh perempuan-perempuan yang hidup di era modern saat ini? Jawabannya bukan mustahil melainkan hampir mustahil.

“Kebenaran tidak menang di sini, kekuatanlah yang menang”.

Suara yang memecah pilihan yang dihadapi Veer yang dilontarkan oleh ayah dari kekasihnya. “Dan kekuatan datang kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sistem ini,” lanjutnya.

Sekilas apa yang dikatakan bapak dari kekasih Veer adalah semacam peringatan kepada kita semua bahwa fenomena tersebut, sedang kita hadapi bersama. Sewaktu kebijakan atau aturan dari institusi di negeri ini, baik sektor ekonomi, pembangunan, pendidikan dan sebagainya, acapkali timpang.

Kebijakan timpang bermula dari proses pelaksanaan dan penggarapan yang berdasarkan prinsip kekuatan semata, bukan karena kebutuhan masyarakat. Kekuatan dimiliki oleh pemangku kebijakan dan dilegitimasi oleh hukum. Tak ayal, struktur kekuasaan berjalan hanya kepada golongan dan kelompok tertentu.

Konsekuensi logis dari kekuasaan yang memprioritaskan kekuatan di atas segalanya, yakni area pemiskinan akan terbuka seluas-luasnya, baik kemiskinan dari segi materi maupun non materi. Dari segi materi, pemiskinan akan bermula ketika masyarakat kehilangan alat produksi, dikarenakan mekanisme kerja berdasarkan aturan yang dibuat dengan prioritas self-interest dari pemangku kebijakan yang hanya berasal dari golongan tertentu.

Dari segi non materi, lonceng kemiskinan berbunyi saat masyarakat kehilangan nilai atas dirinya sendiri dan tak betul-betul menyadari kondisi yang dihadapinya saat ini, akibat ulah kediktatoran, ditambah lagi beroperasinya secara maksimal mesin pembunuh kesadaran masyarakat yang bernama fasisme.

Atas nama apapun, jika sebuah kekuasaan atau bangku pemerintahan dikemudikan oleh kekuatan semata, maka kebenaran tak akan pernah muncul dari orang-orang yang tak punya kekuatan dari segi ekonomi, budaya dan simbolik.

Kebenaran hanya milik yang berkuasa, hukum menjelma tak lain hanya menjadi alat legitimasi kehendak penguasa. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme senantiasa tumbuh subur. Korupsi bukanlah kosakata baru yang terdengar asing di telinga bersama, ia telah menjelma menjadi tradisi hingga budaya tersendiri di sekeliling kita.

Korupsi adalah penyakit akut berstadium empat yang mampu merusak sel-sel kejujuran yang menjadi inti dalam tubuh sebuah bangsa dan negeri. Pembahasan tentang korupsi mendelik di mana-mana, bahkan jauh hari kampanye anti korupsi selalu digalakkan.

Di kantor desa/lurah selalu terpampang dua poster yang sampai hari ini, jika diperlombakan dan diberikan rating dengan kategori poster terpopuler, maka poster anti korupsi dan narkotika akan menduduki posisi teratas.

Di kantor Samsat, kita akan menemukan tulisan di ruangan depan dengan huruf kapital di awal kata, “Bebas Pungli” dan begitupun di kantor-kantor pemerintahan lainnya.

Menjalarnya poster-poster pengingat moral di beberapa institusi, justru tidak mampu mengubah apa-apa, melainkan sebaliknya: Pelaku korupsi dan narkotik kian melambung tiap masa, apatah lagi larangan membuang sampah sembarangan. Misalnya di jalan raya, kita akan dengan mudah melihat orang-orang membuang sampah tanpa beban.

Tindakan korupsi dan masalah-masalah yang tidak menyenangkan lainnya hanyalah sebuah cabang/gejala masalah, bukan akar masalah. Yang menjadi akar masalah sesungguhnya adalah kehadiran sebuah kebijakan yang tidak berpijak di atas nilai keadilan, melainkan otoritas sehingga melahirkan corak penguasa/pemimpin yang merujuk kepada keserakahan.

Oleh Bourdieu, ada konsep “man is a plastic man” atau manusia plastik, yakni manusia yang tidak bisa dikatakan sebagai makhluk bermoral di atas kekuasaan. Manusia hanyalah wahana yang mengekspresikan kualitas sistem. Jikalau sistemnya bermoral, maka manusianya akan menjadi baik dan begitupun sebaliknya.

Pada tarikh modern seperti saat ini, prioritas kekuatan di atas kebenaran dalam pendirian sebuah sistem, bukanlah menjadi solusi dari segala polemik yang hadir seperti kasus amoral, penyelewengan jabatan dan lain sebagainya.

Kita membutuhkan pendirian sistem yang tidak meniadakan kebebasan manusia, sistem dengan prinsip keadilan, kesetaraan dan tentunya tidak diskriminatif serta yang bermandat sosial.

Lantas bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk meretas akar masalah yang menyelimuti bumi persada, seperti korupsi beserta tetek-bengeknya agar tercipta nuansa “hanya kebenaran yang berjaya (Satyameva Jayate)” ?

Sebuah tawaran lahir dari negeri Bugis yang dikisahkan dalam “Legenda tentang Suap” karya Alwy Rahman. Pada abad ke-16, Kajao Laliddong dari Bone mendaku bahwa salah satu tanda kehancuran suatu negara ialah bila hakim menerima suap, naanreki waramparang to mabbicarae’. Bila seorang hakim (pabbicara) menerima suap, maka ia pun akan dihukum tujuh kali lipat dibanding pejabat lain.

Di Addatuang Sidenreng, dikenal hakim bernama Nenek Mallomo. Di kerajaan Soppeng, Datu La Baso Toakkarangeng memimpin persidangan yang mengadili, menghukum dan mengeksekusi La Baso Toakkarangeng, yaitu dirinya sendiri.

Di kerajaan Tosiwalu, seorang hakim perempuan, I Tenribali menjatuhkan eksekusi mati kepada sang adik kandung sendiri, dikarenakan menerima suap dan melakukan tindakan yang menggadaikan siri’ (harga diri).

Ajja mupoloi olona tau laingnge (jangan ambil haknya orang lain)."

Hal itu merupakan sebuah adagium kuno dalam kebudayaan Bugis yang menjadi pantangan untuk dilakukan secara turun temurun oleh setiap generasi.

Ini merupakan ade’ tau riolo (budaya orang dulu) dalam kehidupan Bugis yang menjadi semangat tersendiri dalam menjalani proses kehidupan dengan prinsip nilai siri’ dan pesse (simpati) dan tentunya untuk saling memanusiakan di antara sesama manusia.

Pada dasarnya, itu hanya merupakan contoh penyelesaian masalah yang pernah ada dalam kehidupan manusia, khususnya kebudayaan Bugis, demi tercapainya kejayaan bagi kebenaran untuk semua manusia. Namun seiring perjalanan masa, nilai-nilai kebudayaan kuno semakin terpinggirkan dan tergantikan dengan produk kebudayaan baru yang justru melepaskan dan meminggirkan manusia dari kemanusiaannya.

Kendati demikian, kebudayaan pada masa lalu dinilai masih sangat relevan dengan konteks kehidupan dewasa ini, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi, kebudayaan kuno yang bernapaskan penegakan kebenaran dan mempertinggi kemanusiaan, adalah keharusan yang harus tetap terinternalisasi dalam kehidupan manusia.

Editor: Almaliki