Etnis.id - Ada potongan Ujub Jawa yang diucapkan oleh seorang sesepuh dalam ritual adat Ulur-Ulur yang berlokasi di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
“………Lan ngaturi sedekah mule metri dateng empu engkang ngripto pusoko arupi, keris tumbak lan sanes-sanesipun lan pujonggo engkang ngrekto dinten pitu pekenan gangsal wuku tigang doso sasi rolas tahun wolu windu sekawan jaman enem……”
Ujub itu dibacakan sesaat sebelum slametan, dalam ritual adat yang dilaksanakan tiap hari Jumat Legi bulan Selo. Ujub biasanya ada dalam sebuah ritual adat masyarakat Jawa.
Mengutip pendapat Woodward (2011), Ujub adalah pembuka dalam menyambut tamu yang dilakukan oleh tuan rumah, menjelaskan tujuan acara (biasanya slametan) dan menyebutkan siapa saja yang didoakan serta kepada siapa hidangan yang ada ditujukan.
Woodward juga menjelaskan bahwa ada lima tujuan religius dalam Ujub yakni menjelaskan dan menghubungkan kenduri dengan ritual makan nabi, menjelaskan kepada siapa saja berkah akan dibagikan, menjelaskan kepada siapa saja makanan atau sesaji didedikasikan, menciptakan niat baik tuan rumah, serta membangun rasa rendah hati.
Bahasa Ujub adalah bahasa yang sangat sopan. Di dalamnya terkadung banyak pengetahuan kuno, sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa Ujub sering kali sulit dipahami secara langsung. Satu pengetahuan itu yakni ihwal proses perjalanan hidup manusia yang terkandung dalam frasa Jaman Enem. Frasa ini menggambarkan perjalanan hidup manusia dari awal sampai akhir.
Jaman atau zaman, menurut KBBI adalah jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu. Sedangkan enem adalah bahasa Jawa dari enam.
Jaman enem bermakna enam zaman yang harus dilalui oleh manusia Jawa atau pada umumnya untuk mencapai alam kekal. Ini diksi sederhana yang dipilih oleh nenek moyang guna mengingatkan asal usul, tahapan dan tujuan penciptaan.
Menurut orang Jawa, enam zaman itu yakni jaman Jaman Purwo atau wiwitan, Jaman Kapurbo, Jaman Karoso, Jaman Kabendu, Jaman Kubur dan Jaman Langgeng. Semua akan dilalui.
Jaman Purwo adalah zaman awal. Orang Jawa sering kali menggambarkan zaman ini dengan istilah awang-awang uwung-uwung, bermakna kosong. Saat dunia belum berisi kehidupan.
Zaman selanjutnya, yaitu Jaman Kapurbo zaman penciptaan. Dalam tahap ini, manusia diciptakan melalui perantara bopo-biyung, bapak ibu. Masa bertemunya spermatozoa dan ovum yang menghasilkan zigot atau bakal bayi. Proses ini mengantarkan manusia berpindah domisili menuju Jaman Karoso.
Jaman karoso adalah tahap manusia mulai tumbuh dan menempel dalam rahim ibu selama kurang lebih sembilan bulan. Karoso berasal dari kata kroso atau terasa dan dipahami sebagai masa saat ibu merasa serba tidak enak selama sembilan bulan.
Seorang ibu, selama itu, harus mengandung seorang bayi, yang membuatnya serba tidak nyaman. Tidur, makanan, olah raga dan semua aktivitas lainnya sangat terbatas. Seorang ibu harus merasakan mual, bengkak, hingga pelbagai macam “kesakitan” selama proses ini. semua terimbas, semua merasakan, semua karoso.
Setelah melewati Jaman Karoso, manusia memasuki Jaman Kabendu atau hukuman, sehinga jelas posisi manusia di dunia ini adalah diuji. Hal ini sangat lekat dengan pandangan Islam yang mengatakan bahwa dunia adalah godaan.
Jaman Kabendu memiliki pengertian lain. Menurut jangka jayabaya misalnya, Jaman Kabendu bisa dimaknai sebagai wolak-waliking jaman atau zaman yang sudah terbolak-balik. Jaman ini dicirikan dengan kondisi yang serba sulit.
Tanah Jawa disimbolkan berada di bawah Ratu Hartawati yang hanya mengutamakan uang atau kekayaan lahir saja. Bila mengutip dari serat kalatidha dan serat sabdatama yang digubah oleh Raden Ranggawarsita, Jaman Kabendu digambarkan sebagai zaman yang penuh kemerosotan moral, masalah dan angkara murka.
Sifat dan watak manusia pada zaman ini dicerminkan oleh tiga hal yang sangat bertentangan dengan perilaku berbudi luhur, di antaranya:
(1) Artati yang berarti uang menggambarkan manusia yang hanya berorientasi materi, menumpuk kekayaan, tanpa peduli benar-salah cara mendapatkannya. Materi menjadi indikator utama. Sehingga semua orang berlomba untuk mengumpulkan kekayaan tanpa peduli cara yang ditempuh.
(2) Nisatana bermakna kemelaratan materi, kemelaratan moral, etika, hingga spiritual yang membuat kehidupan manusia menjadi serba dangkal dan kering.
(3) Jutya bermakna kejahatan. Pada Jaman Kabendu, kejahatan merajalela. Semua orang dari pelbagai latar belakang bisa berbuat jahat. Akibatnya, akan timbul rasa gelisah dan khawatir pada sebagian besar manusia.
Jaman Kabendu juga ditandai gerhana yang sering terjadi, gempa bumi, banjir, hujan salah musim, sungai kering, pasar tradisional yang semakin kelihangan gaungnya, hingga penyakit aneh yang tidak diketahui obatnya.
Dalam serat ini, pada Jaman Kabendu, manusia disimbolkan sebagai ular berkepala dua, yang mudah mengubah pendapatnya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Tak punya prinsip. Tidak teguh pendiriannya.
Hal ini membuat Jaman Kabendu menjadi zaman yang penuh tipu daya. Orang Jawa menggambarkan zaman ini dengan frasa, "jaman edan, yen ora edan ora keduman (jaman gila, bila tidak ikut gila tidak dapat bagian).
Dapat disimpulkan bahwa Jaman Kabendu dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu dunia itu sendiri. Yang kedua adalah masa tertentu dari rentang waktu yang panjang dalam kehidupan di dunia, yang ditandai dengan berbagai macam kekacauan yang terjadi.
Meski terkesan berbeda, keduanya memiliki persinggungan, sewaktu keduanya mengingatkan kepada kita bahwa dunia dan isinya adalah sebuah ujian yang akan menentukan ke mana titik finish kita. Keduanya mengisyaratkan untuk berhati-hati dalam menjalani kehidupan agar tidak keblinger masuk jurang kenistaan.
Setelah melewati Jaman Kabendu, manusia selanjutnya menjalani Jaman Kubur. Jaman Kubur akan dilewati setelah meninggal dunia lalu di sana kita menanti Jaman Langgeng, zaman di mana kita ditempatkan sesuai dengan perbuatan kita selama hidup. Jaman Langgeng bisa memberi hadiah atau hukuman, tergantung pada perbuatan kita (ngunduh wohing pakarti).
Editor: Almaliki