Etnis.id - Kecanduan bermain gawai sudah dianggap mengkhawatirkan. Di satu sisi bisa membuat anak duduk diam tenang. Namun di sisi lainnya semakin memisahkan anak dengan realitas di sekitarnya. Padahal realitas adalah salah satu sarana untuk menumbuhkembangkan olah rasa hingga olahraga. Melatihan kepekaan diri, baik secara psikologis maupun sosial.

Data yang dipaparkan Kementrian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa fenomena anak kecanduan gawai, menurut dr. Tjhin Wiguna, psikiater anak dan remaja di Departemen Medik Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM, mulai meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Jumlah orangtua yang datang meminta konsultasi ke lembaga-lembaga perlindungan anak atau membawa anaknya ke psikolog dan psikiatri juga meningkat. Maka ada baiknya kita sedikit memutar waktu dan kembali ke masa lalu. Mencari-cari tumpukan harta karun yang di dalam peti permainan tradisional yang tidak melibatkan penggunaan gawai. Dalam bahasa Jawa disebut dolanan.

Dolanan tidak afdal jika hanya dilakukan sendirian. Tidak akan ada keseruan yang didapatkan. Dan hampir tidak ada dolanan yang dilakukan secara personal. Semua mengacu kepada kekompakan tim. Seolah semua sudah menjadi fitrah bahwa dolanan memang merupakan proses komunikasi komunal yang mampu memberikan manfaat.

Itu kenapa, meski ketika anak atau kita orang dewasa memainkan gim dalam gawai, kita cenderung memilih gim sejenis MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), sebuah permainan yang menghubungkan dan melibatkan banyak orang (akun) yang diklasifikasi dalam sebuah grup. Sederhananya pertandingan antarkelompok.

Betengan. Begitu orang Jawa menyebutnya. Mungkin di wilayah lain di Nusantara ada yang menyebutnya Bentengan atau Bebentengan. Dolanan yang bercorak MOBA ini bahkan menggunakan tanah lapang yang nyata sebagai lokasinya.

Ada dua tim yang terlibat di sana. Satu tim bisa terdiri dari minimal empat orang. Caranya, setiap kelompok atau klan masing-masing memiliki Beteng. Jika Beteng tersebut berhasil disentuh oleh kelompok lain, maka runtuh pertahanan dan kalahlah tim tersebut.

Pohon yang cukup besar biasanya dipilih menjadi Beteng. Terasa sederhana kan? Namun jangan salah. Butuh ketahanan fisik dan penataan strategi yang ciamik untuk mendapatkan kemenangan. Ada yang berfungsi sebagai penyerang. Biasanya anak-anak yang gesit dan punya kemampuan berlari cukup kencang akan dipilih sebagai penyerang. Sedangkan anak yang bertubuh agak besar, memilih untuk menjadi penjaga supaya Beteng tidak jatuh ke tangan tim lawan.

Di sinilah adu strategi berlaku. Tidak mungkin semua anak mau berperan penyerang. Dan tidak mungkin pula semua anak mau menjaga, karena penyerang bisa saja dilumpuhkan oleh penjaga, jika si penyerang berhasil disentuh oleh penjaga.

Iya. Cukup dengan sentuhan. Tidak perlu tembakan, pukulan, bahkan tendangan. Tidak pula berlaku anarkis semacam menyeret dan menarik paksa. Setiap penyerang yang tersentuh dan berhasil dilumpuhkan menjadi tawanan.

Asyiknya, tawanan ini juga bisa diselamatkan oleh timnya dengan satu sentuhan saja. Menjaga Beteng sekaligus menjaga tawanan. Sangat mungkin jika akhirnya di dalam satu tim hanya tinggal satu orang penjaga. Itu tandanya kekalahan sudah di depan mata. Karena dia tidak bisa melakukan dua hal sekaligus. Menjaga Beteng dan menyelamatkan teman-temannya yang ditawan di Beteng lawan.

Jika dia nekat berlari menyelamatkan teman-temannya, maka Betengnya tidak ada yang menjaga. Artinya, dengan mudah Beteng itu direbut oleh tim lawan. Antara kecepatan berpikir dan kecepatan berlari harus selaras dan seimbang. Semuanya menjadi modal utama jika ingin meraih kemenangan.

Keringat perjuangan pasti bercucuran. Semakin berkeringat semakin sehat. Kalah menang bukan soal yang utama. Kalah menang lebih dijadikan evaluasi terhadap penataan strategi. Biasanya pihak yang kalah akan dengan cepat mengubah strategi di ronde berikutnya.

Iya Betengan bisa dilakukan dengan jumlah ronde yang tak terbatas. Batasnya adalah rasa lelah dan waktu menjelang malam atau karena diminta pulang oleh orang tua. Anak-anak adalah sejenis makhluk yang tidak mudah lelah dan menyerah. Semakin mereka kalah, rasa penasaran justru semakin kuat.

Jadi ada baiknya anak-anak era millenial ini diperkenalkan kembali dengan Betengan. Bukan. Ini tidak dalam rangka mengampanyekan gerakan anti gawai atau sejenisnya. Ini adalah ikhtiar untuk mendapatkan hal-hal yang bermanfaat. Betengan melatih kekuatan fisik dan kecakapan berfikir secara bersamaan. Team work sangat diutamakan.

Sadar atas peran dan fungsi juga dimunculkan. Selalu waspada dan jeli melihat situasi. Berhitung kapan waktu yang tepat untuk menyerang. Bagaimana memanfaatkan kelengahan musuh. Apakah strategi pengalihan perhatian bisa diterapkan.

Jadi anak-anak tidak hanya cerdas tapi juga terlatih jasmaninya. Hanya butuh kuota berupa jumlah pemain. Dan itu bisa dengan mudah di dapatkan di lingkungan rumah atau sekolah. Maka sudah selayaknya pemerintah kembali membuka mata terhadap keberadaan permainan tradisional salah satunya Betengan ini.

Siapa tahu khazanah dolanan tradisional yang dimiliki oleh Nusantara ini bisa disinkronkan dengan kurikulum pendidikan tanah air. Betengan misalnya, mungkinkah permainan itu masuk ke dalam pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan? Sila, boleh dicoba game MOBA bernama Betengan.

Editor: Almaliki