Etnis.id - Masa lalu terkadang selalu dirindukan. Menyisakan kenangan yang terkadang sulit untuk kembali seperti sedia kala. Seperti halnya pada beberapa ciri khas kelokalan yang telah tercerabut dari dimensi kehidupan sosial.
Itulah yang saya rasakan. Saya adalah seorang dewasa yang dulu menghabiskan masa kecil di sebuah desa pinggiran. Saya tinggal Desa Ronta, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Di sini jauh dari hiruk-pikuk dan sentuhan kehidupan perkotaan. Pada masa itu, segala sesuatunya serba tradisional. Di antaranya, aspek pertanian.
Jadi teringat. Dulu, untuk menghasilkan beras saja masih susah payah. Belum ada mesin penggilingan padi. Di desaku, kami mengenal alat tradisional pengolah padi yakni 'nohu' dan 'alu'. Sepasang alat ini terbuat dari kayu. Biasanya dipilih dari jenis kayu yang berbahan keras. Kenapa? Agar tahan lama, bisa digunakan bertahun-tahun. Ini alat pengolahan yang sekaligus jadi aset rumah tangga.
Tak semua keluarga bisa memiliki alat tersebut. Acapkali, jika ada warga yang tidak memilikinya, perlu datang izin meminjam lalu akan diberikan secara sukarela. Nohu adalah wadah berbentuk ceruk yang dipahat dari kayu. Umumnya, setinggi pinggang orang dewasa. Untuk pengolahan padi, gabah ditaruh pada ceruk berdiamater sekitar 15 sentimeter. Ditumbuk memakai alu yang dipahat menyerupai sebuah tongkat.
Saya tak detail mendeskripsikan. Jelasnya, proses ini memakan waktu berjam-jam, tergantung berapa banyak gabah yang ditumbuk. Tapi bila dikerjakan berkelompok, tentu tak terlalu lama. Olehnya, kadang dikerjakan hingga tiga orang.
Terbayangkan, bagaimana para penumbuk padi itu sangat ceria. Mereka sangat bersemangat. Tak terasa pekerjaan itu diselesaikan dalam yang tak terlalu lama. Dalam kerja kecil yang terbilang besar itu, terselip keriangan, cerita dan canda tawa.
Menurut cerita orang-orang kampung, beras yang dihasilkan cara-cara manual seperti itu, lebih berkualitas. Sebab, seratnya tidak hilang. Berbeda apabila dihasilkan dari mesin penggilingan. Jangan heran kalau harganya agak mahal di pasaran.
Kini, cara-cara tradisional pengolahan padi berangsur punah. Tak ada lagi giat serupa yang dijumpai. Masyarakat sudah dibiasakan dengan mesin. Ya, memang ini terbilang instan. Tak menyita waktu dan tenaga. Cukup dibanderol dengan kisaran harga tertentu per liternya. Tapi, tentu ada nilai yang terasa hilang dari kehidupan sosial bermasyarakat.
Boleh jadi, masyarakat sudah dihadapkan pada modernisasi pertanian. Termasuk pengolahan padi. Tapi di sisi lain, entah sadar atau tidak, kita juga sedang menghapus khazanah lokal dari dimensi bermasyarakat. Sesungguhnya ada nilai-nilai tertentu yang dicabut, manakala gencar-gencarnya mengejar modernisasi.
Sebut saja, kebersamaan. Ada banyak terapan nilai sosial dari cara-cara tradisional seperti ini. Masyarakat saling berinteraksi, semisal saja ketika meminjam alat itu. Belum lagi, kerja sama bahu-membahu secara sukarela membantu mereka yang kebetulan mengolah gabah dalam jumlah terbilang banyak. Sepintas, ini sepele, tapi lambat-laun bakal dirindui sebagai budaya yang tak dijumpai lagi. Kita telah kehilangan satu di antara kekayaan identitas.
Tak ayal, kini pelbagai upaya sedang digalakkan untuk mengembalikan ciri khas lokal. Salah satunya, di Kabupaten Buton Utara, pemerintah menghadirkan konsep padi organik sebagai ikon pembangunan. Hanya saja, konsep itu dihadirkan dengan mengedepankan aspek ekonomisnya. Aspek merawat khazanah lokalnya tak dikedepankan. Padi organiknya hadir sebagai program yang mengusung cara-cara tradisional pertanian.
Misal, proses pembibitan hingga panen tanpa sentuhan pestisida. Alasannya, agar beras yang dihasilkan benar-benar alami. Cuman pemerintah tak melihat sisi kebudayaan, semisal mengembalikan identitas lokal pertanian. Apalah artinya ekspor padi organik ke mana-mana, bila tidak ada faedah yang menyentuh aspek sosial budaya, tentu tak berarti.
Program itu tentu saja diapresiasi. Asalkan jangan sekadar mengangkat label dan sisi citra semata. Soal kekayaan identitas lokal, itu yang penting. Semisal, membentuk kampung-kampung wisata pertanian organik. Saya kira ini lebih menjawab tuntutan pengembalian muruah kebudayaan. Juga memantik wisatawan ataupun investor untuk hadir di situ.
Bisa dicontohi antusiasme warga Kauman Kidul, Kota Salatiga. Mereka menghendaki terwujudnya wisata pertanian. Yakni kawasan agrowisata Si Talang. Tentu saja, disambut Pemerintah Kota setempat. Sebab jika terus berkembang, bisa menjadi salah satu pendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata. Sekarang, siapa pun bisa cek langsung.
Adakah program padi organik Pemda Buton Utara benar-benar terasa nilai budayanya atau hanya sekadar upaya mengejar citra? Tentu saja, upaya mengembalikan kebudayaan yang hilang butuh kerja ekstra. Harus melibatkan semua pihak, terkhusus masyarakat itu sendiri.
Karena kita sedang dihadapkan pada mental yang telanjur terbius kemudahan akses modernitas. Tapi, cepat atau lambat, bisa dihadirkan kembali. Meski bukan logika jangka lima tahunan. Ini harus berlanjut. Sebab, bertugas membudayakan sesuatu yang hilang pasti terasa amat sulit.
Budaya adalah entitas yang melibatkan rasa dan karsa manusia. Dalam kesejarahan, hampir tak ada bangsa yang berhasil diidentifikasi tanpa identitas budayanya. Artinya, bangsa minus kebudayaan, sesungguhnya hilang jejak keadaban dan kesejarahannya.
Tugas kita yang merawat dan menghadirkan kembali juga adalah kerja-kerja peradaban. Saya kira kita akan sepakat, bahwa suatu bangsa bisa dikenal karena budaya. Bangsa bisa besar karena budaya. Lalu ketika lokal wisdom-nya hilang, mau tunggu apa?
Editor: Almaliki