Etnis.id - Berbicara mengenai makanan, ternyata ada makanan pokok selain beras. Tiwul namanya. Makanan yang terbuat dari singkong lengkap dengan proses pengolahan panjang ini  hadir dengan cita rasa yang manis, khas makanan Jawa.

Kalian bisa dengan mudah menemukannya di Gunungkidul. Biasanya, masyarakat Gunungkidul akan menjemur gaplek di pagar depan rumahnya. Inilah bahan dasar sego Tiwul. Saking melegendanya, sampai-sampai Manthos, salah satu maestro campursari, membuat lirik lagu dengan judul Thiwul Gunungkidul.

Kira-kira beginilah penggalan liriknya.

Sing kondhang dik gaplek lan thiwul
Watu lintang opo watu dapur
Babagan seni ojo maido
Akeh sing kondhang akeh sing misuwur

Tanpa kita sadari penggalan lirik di atas mengajak kita untuk menyelami lebih jauh mengenai tiwul. Oh ya, omong-omong, ada kisah kurang mengenakkan soal tiwul.

Posisi tiwul dianggap berada di bawah padi. Keberadaannya masih dipandang inferior. Dari dulu, sejak zaman penjajahan. Saat itu, konon di Gunungkidul, menanam padi masih sangat sulit. Jenis bibit padi juga belum sebanyak sekarang. Kesulitan tersebut semakin lengkap dengan keberadaan tanah Gunungkidul yang tandus.

Dari pelbagai peristiwa macam itu, lahirlah strereotipe kurang mengenakkan. Tiwul kerap dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang miskin atau kurang pangan. Parahnya, stereotipe singkong sebagai makanan kelas dua, masih bertahan hingga sekarang. Buktinya, kata “telo” kerap digunakan sebagai lontaran kekesalan.

Sudah, lupakan sterotipe dan kisah kurang mengenakkan tersebut. Mari kita menjajal nikmatnya makan tiwul. Makanan satu ini sangat pas dijadikan teman bernostalgia. Bukan hanya orang tua saja yang gemar mengonsumsi tiwul. Anak muda yang merantau dan rindu kampung halaman, kerap menjadikan tiwul sebagai makanan pelepas rindu.

Banyak ingatan masa lalu yang muncul kala menyantap tiwul. Terlebih jika disantap bersama kawan lama. Ada yang mengonsumsi begitu saja, ada pula yang mengombinasikan dalam berbagai olahan makanan.

Sebagai makanan pokok, tentu tiwul hadir dengan pelengkapnya. Masyarakat Gunungkidul kerap mengkombinasikan tiwul dengan berbagai lauk pauk. Ikan, daging ayam, telur dan kulupan hadir sebagai pelengkap. Lebih nikmat lagi jika ditambahkan dengan sambal bawang.

Selain digunakan sebagai makanan pokok, tiwul juga kerap menjelma sebagai makanan selingan atau camilan. Tiwul manis namanya. Biasanya jenis tiwul ini akan disajikan lengkap dengan parutan kelapa di atasnya.

Bahkan ada tiwul goreng. Seperti namanya, proses memasaknya mirip dengan nasi goreng. Lebih dari itu, rasanya juga tidak kalah lezat dengan nasi goreng. Sederhana. Di balik rasanya yang nikmat, proses pembuatan tiwul juga sangat mudah. Tidak
dibutuhkan keahlian khusus.

Cukup memilih ketela berkualitas bagus, kemudian dijemur ditempat yang panas, usahakan tidak kehujanan. Pengeringan gaplek ini akan berhasil, manakala kadar airnya sudah berkurang cukup banyak. Setelah berhasil dikeringkan, saatnya
untuk membuatnya menjadi tepung tapioka dengan cara ditumbuk. Lalu, tepung tersebut dikukus hingga matang dan jadilah tiwul.

Sekilas memang mudah. Akan tetapi, untuk menghasilkan cita rasa yang tinggi, tentu dibutuhkan kehati-hatian. Tiwul yang bagus akan menghasilkan tekstur pulen saat dimakan. Jika begitu, tentu akan hadir sensasi tersendiri bagi siapa saja yang menyantapnya.

Lebih dari itu, tiwul juga dipercaya memiliki manfaat yang sangat bagus bagi tubuh. Masyarakat yang menganggap tiwul sebelah mata, bisa jadi karena belum mengetahui kandungan nutrisi yang terdapat dalam tiwul.

Beberapa pakar menyebutkan, jika serat yang ada di dalam tiwul mampu menyerap kadar kolesterol yang ada di dalam tubuh. Kandungan gizinya juga tidak kalah jika kita membandingkannya dengan nasi putih.

Meski dahulu dikenal dengan makanan inferior lengkap dengan stereotipe yang kurang mengenakkan, kini tiwul telah menjelma sebagai makanan superior. Masyarakat Gunungkidul kini dengan bangganya menjadikan tiwul sebagai ikon kuliner Gunungkidul.

Saat berkunjung ke Gunungkidul, jangan lupa untuk mencicipi pulennya Tiwul. Kalian bisa menjumpainya di pelbagai tempat. Mulai dari pasar tradisional hingga toko oleh-oleh khas Gunungkidul.

Editor: Almaliki