Berbicara mengenai arsitektur vernakular, perhatian tak akan terlepas dari estetika hunian dengan ciri khas desain lokal. Huma betang, sebutan lain untuk rumah panjang (panjae), bukan hanya bangunan fisik yang ditempati secara komunal tetapi juga bangunan yang dari segala sisi, menampilkan pandangan nenek moyang Iban terhadap alam semesta, daur hidup manusia, dan kekuasaan Tuhan.
Saat saya dan rekan berkunjung ke Sungai Utik Januari lalu, warga sedang menyiapkan segala kebutuhan untuk upacara adat Nike Rumah Baru. Selain meresmikan bangunan fisik rumah, serangkaian ritual Nike Rumah Baru digelar sebagai bagian dari upaya merawat tradisi kuno yang diwariskan nenek moyang Suku Iban.
Kami merasakan denyut kehidupan yang dinamis dalam semangat gotong royong. Tradisi ini menjadikan setiap tetes keringat yang tercurah selama bekerja keras, terasa sepadan dengan hasilnya.
Pagi itu, warga Sungai Utik, Florensius Balang, atau akrab disapa Apai Balang, memergoki kami yang sedang mengamati aktivitas warga. Ia menghampiri dan mengajak kami mampir ke biliknya untuk berbincang sambil menikmati arak pulut, minuman tradisional Dayak Iban yang terbuat dari beras ketan.
Pria kelahiran Sungai Utik 57 tahun silam itu mengawali perbincangan dengan melafalkan besampi (berdoa dalam tradisi Iban). Sambil menuangkan arak ke luar jendela bilik, ia merapal permohonan kepada Petara.
Spiritualitas Dayak Iban
Arak ketan atau tuak nira memiliki nilai sakral bagi masyarakat Iban, dua minuman tradisional yang diproduksi setiap hari oleh warga namun dibuat dalam jumlah banyak jelang hajatan besar seperti Nike Rumah Baru. Aroma khas dari minuman khas Dayak Iban itu diyakini dapat mengundang semangat baik ke dalam rumah.
Ritual menuang minuman fermentasi bertujuan untuk mengundang kedatangan Petara, orang panggau, dan roh leluhur—entitas gaib yang diberi sesaji tuak atau arak terlebih dahulu di pagi hari sebelum disuguhkan kepada manusia. Masyarakat Iban percaya bahwa roh jahat dan pengaruh buruk enggan mendekati bilik yang menguar aroma minuman terbuat dari pulut (beras ketan) dan nira.
The Encyclopedia of Iban Studies (2001) memetakan kehidupan spiritual masyarakat Iban melalui istilah Petara atau Betara Iban, leksikon yang dipinjam dari bahasa Sanskerta, yaitu pitr, atau leluhur (Richards 1981:281) [q.q.] atau pitarah, salah satu dewa dalam tradisi Hindu.
Setidaknya, ada dua makna yang dapat ditarik dari istilah “petara”. Pertama, kategori dewa pencipta: entitas yang menciptakan bumi, langit, alam semesta, dan manusia. Kedua, dewa utama yang memainkan peran penting dalam aktivitas dan kelangsungan hidup manusia.
Petara juga sering dikaitkan dengan keberadaan pahlawan atau roh dalam mitologi Iban, yang kekuatannya diyakini mampu memengaruhi urusan pria dan wanita Iban (kendati belum tercapai konsensus mengenai hal ini).
Diaspora Dayak Iban di Kapuas Hulu
Usai ritual menuang arak, Apai Balang mulai bercerita tentang sejarah rumah panjae, berdasarkan penuturan orang tuanya. Rumah panjae Sungai Utik tak terlepas dari sejarah peradaban Suku Iban yang dimulai di Desa Lanjak, desa yang kini secara administratif berada di Kabupaten Batang Lupar, wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia, dan menjadi episentrum persebaran Suku Iban di Kapuas Hulu.
Tak diketahui secara pasti kapan orang Iban pertama kali tiba di Kalimantan Barat. Namun, dalam jurnal yang ditulis oleh Charles Brooke pada masa penjajahan Inggris dan Belanda, kelompok Dayak Iban dikenal sebagai "Dayak Laut". Orang-orang menyaksikan kemunculan mereka di Laut Cina Selatan pada abad ke-17 hingga ke-19 (dikutip dari Angelane Mula anak Bunyau, “Tradisi Pembuatan Tuak pada Masyarakat Iban,” Universiti Malaya).
Menurut sejarah lisan, pembentukan dan perkembangan sosial-budaya Dayak Iban terjadi pada masa pemerintahan Kerajaan Iban Panggau Libau di Tampun Juah, sebelum terpecah menjadi beberapa subsuku yang kita ketahui saat ini.
Ketika perang antarsuku dan tradisi mengayau (penggal kepala musuh) masih berlangsung di Kalimantan, ketangguhan Suku Iban dalam berperang tersebar luas di kampung-kampung Suku Embaloh, salah satu suku yang telah lebih dulu membangun peradaban di Kapuas Hulu.
Suku Iban kemudian ditugaskan menjadi baluwarti (benteng pertahanan) yang melindungi Suku Embaloh dari serangan musuh. "Pada masa perang antarsuku, Suku Iban dikenal dengan kehebatan panglima perangnya," tutur Apai Balang. “Suku Embaloh meminta leluhur kami untuk menjaga wilayah adatnya.”
Sejalan dengan kronik yang terdapat dalam karya etnografi para peneliti dan petualang Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Suku Iban hampir selalu dicitrakan sebagai salah satu Suku Dayak paling ganas, agresif, dan ekspansif (Mulyawan Karim, Di Rumah Panjang: Pergulatan Hidup dan Cinta Orang Dayak Iban, 2021).
Setelah memenangkan peperangan antarsuku, persaudaraan antara Etnis Iban dan Suku Embaloh berkembang menjadi ikatan kekerabatan-teritorial. "Suku Embaloh memberikan sebagian wilayahnya kepada leluhur kami. Sungai Utik ini adalah pemberian Suku Embaloh untuk kami jaga dan kami jadikan tempat tinggal", terang Apai Balang.
Sebelum menetap di Sungai Utik, Etnis Iban sempat berpindah dari satu tembawai ke tembawai lainnya. Perpindahan masyarakat Iban dari Desa Lanjak ke Dusun Kersik misalnya, disebabkan hama belalang besi yang menyerang lahan pertanian, sehingga memaksa mereka untuk kembali ke Desa Lanjak dan beralih ke Tembawai Sungai Abau.
Akibat perpindahan itu, Suku Dayak Iban terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu Ijon dan Pateh Judan (kutipan dan kompilasi dari tulisan dalam laporan lembaga LBBT, SHK, dan PPSDA, dijelaskan pula oleh Apai Balang dalam sesi wawancara). Awalnya, Pateh Judan melahirkan Tembawai Sungai Belatong berpintu tujuh di dalam rumah panjang. Sedangkan Ijon mengungsi ke Palapintas dan melahirkan Tembawai Palapintas Merundup sebelum akhirnya mengungsi ke Tembawai Pantak lantaran bencana banjir.
Setelah menduduki Tembawai Sungai Belatong, pengikut Pateh Judan pindah ke Tembawai Pinang, kemudian ke Tembawai Inyak selama 30 tahun dengan total 19 pintu bilik, dan Tembawai Sungai Aji selama 20 tahun dengan rumah panjang memuat 27 pintu.
Suku Iban menetap di Tembawai Gerunggang selama 5 tahun (14 pintu); Tembawai Rerak selama 8 tahun (15 pintu); Tembawai Mugang selama 15 tahun (16 pintu); Tembawai Pantap selama 28 tahun (19 pintu); Tembawai Kenyalang selama 6 tahun (18 pintu); dan Tembawa Uji Bilik dari tahun 1957 hingga 1972, sampai rumah panjang tersebut dinyatakan tidak layak huni dan akhirnya membangun bangunan komunal baru di Sungai Utik.
Selaras dengan alam
Didirikan sejak tahun 1972 di atas wilayah adat, pembangunan rumah panjae Sungai Utik memakan waktu bertahun-tahun hingga dapat ditempati, mulai dari mengumpulkan material, mendirikan bangunan sepanjang 216 meter, hingga menyelesaikan struktur dan denah untuk 25 bilik hunian.
Masyarakat Iban sangat memerhatikan tanda-tanda alam. Bagi mereka, hukum alam adalah sesuatu yang tidak dapat ditentang. Setiap ruangan tambahan di rumah panjae selalu dibangun ke hulu, sebagaimana persepsi mereka tentang asal muasalnya (hilir) dan membangun peradaban di hulu. Begitu pula bangunan rumah panjae yang dibangun menghadap ke anak Sungai Kapuas (Sungai Utik), sungai yang menjadi urat nadi kehidupan mereka.
Suku Dayak Iban sadar betul bahwa hutan, tanah, dan air adalah sumber penghidupan. Ungkapan “babas adalah apai kami, tanah adalah indai kami, dan ae adalah darah kami” (hutan adalah ayah kami, tanah adalah ibu kami, dan air adalah darah kami) menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap alam yang telah memberi dengan begitu murah hati.
Pepatah leluhur Iban yang diturunkan dari generasi ke generasi itu juga diterapkan dalam hal menebang dan menanam kembali pohon. Suku Dayak Iban Sungai Utik menganut skema hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan adat: menebang 1 pohon berarti menanam 5 bibit pohon baru.
Larangan menebang pohon berlaku untuk kayu yang digunakan untuk bahan bangunan rumah dan keperluan adat, bukan untuk tujuan komersial. Dilansir dari BBC News Indonesia, Kepala Desa Batu Lintang, Raymundus Remang, menyatakan bahwa “di sini sudah ada satu peraturan, satu kepala keluarga maksimal bisa memotong 30 batang pohon dalam satu tahun.” Sedangkan konsekuensi logis dari aturan adat yang dilanggar adalah penerapan sanksi berupa denda yang cukup berat.
Elemen dan struktur bangunan rumah panjae
Susanto Francis Xavier, seorang arsitek yang meneliti struktur bangunan rumah panjae, memetakan denah rumah Dayak Iban menjadi 5 bagian, terdiri dari bilik tambahan, bilik, ruai, penyurai, dan tanjuk. Kamar tidur, dapur, sadau, dan tangga naik-turun tanjuk (depan dan belakang) dapat ditemukan di dalamnya.
Selanjutnya, kami mengikuti keseharian Bartolomeus Rodes—seorang warga yang biliknya kami tumpangi selama di Sungai Utik. Pria yang akrab disapa Apai Jamet itu sudah beraktivitas sejak dini hari. "Orang Iban bangun lebih awal, kami memulai hari pagi-pagi sekali karena sebagian besar bekerja di ladang. Kalau ada kegiatan, siang hari kami bekerja gotong-royong," kilah Apai Jamet.
Sambil mengajak kami ke sadau, loteng, atau para-para—ruang yang digunakan untuk menyimpan hasil panen, alat-alat pertanian, dan benda-benda lainnya—ia menjelaskan ihwal jumlah ganjil pada struktur dan rangka bangunan, sebagaimana dijelaskan Lidia Sumbun tentang sesaji di sebuah kesempatan. Tak sedikit unsur material dan sesaji rumah panjae yang disusun dalam jumlah gasal. Langit-langit dan rangka kayu juga disusun dalam jumlah ganjil. Ini menandai bahwa manusia belum mampu mengais rejeki secara utuh, sehingga selalu membutuhkan bantuan Petara.
Ia juga membahas penentuan bahan-bahan yang digunakan pada struktur bangunan rumah panjae. Bagian atas dan bawah adalah bagian terpenting, sehingga kayu ulin digunakan sebagai bahan utama. Selain kokoh, kayu ulin tahan terhadap serangan rayap dan serangga penggerek batang, perubahan kelembaban udara, bahkan paparan air.
Itu sebabnya, atap sirap yang melindungi penghuni rumah panjae dari terik dan hujan juga terbuat dari kayu ulin, didukung pula dengan kayu keladan (kapur petanang). Sedangkan material dinding, masyarakat Iban memilih kayu tekam (balau), kayu keladan (kapur petanang), kayu lansau, dan kayu medang sebagai bahan baku. Selain dinding, kayu tekam (balau) juga digunakan untuk lantai, bersama dengan kayu medang.
Bilik menjadi zona ruang yang berfungsi sebagai apartemen bagi penghuni rumah panjae. Dihuni secara bersama-sama oleh beberapa keluarga dan keturunannya, sekaligus menjadi tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti gong, guci, dan sebagainya. Ruai atau serambi beratap rumah panjae, digunakan sebagai ruang komunal warga, ruang serbaguna untuk menerima tamu, dan ruang untuk melaksanakan berbagai ritual adat.
Sedangkan tanjuk, digunakan sebagai zona ruang untuk menjemur berbagai macam hasil bumi, ruang terbuka tanpa atap yang menjadi salah satu tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual tertentu di rumah panjae. Letaknya berdampingan dengan penyurai yang berfungsi sebagai ruang sirkulasi dan tempat bermain antu kemba (petak umpet) bagi kanak-kanak. Luasnya sekitar 120 cm dengan tinggi ruangan sekitar 250 cm.
Hardiyanti, atau Dian sapaan akrabnya, narahubung yang menemani kami selama di Sungai Utik, menjelaskan tentang beberapa benda yang diletakkan di langit-langit ruai. Benda-benda itu, ungkap Dian, berkaitan erat dengan sistem kepercayaan masyarakat Iban, di antaranya, panggau, rekar, telur, dan rancak.
Panggau hanya dimiliki oleh orang yang telah melakukan ritual Gawak Kelingkang Panggau. Setelah dipasang di langit-langit ruai, panggau menjadi wadah persembahan yang setiap bulannya harus diisi dengan berbagai sesaji. Jumlah panggau menunjukkan jumlah anak laki-laki yang tinggal di sebuah bilik.
Pengelompokkan objek berdasarkan jenis kelamin diadaptasi dari kebiasaan leluhur masyarakat Iban, seperti halnya rekar dan panggau yang berfungsi untuk menyajikan pedarak bagi laki-laki Iban, untuk menunjukkan tingginya penghormatan terhadap roh leluhur, orang panggau (kahyangan), dan Petara.
Dua elemen lain yang tak kalah menonjol pada ruai adalah telur yang dibalut dengan anyaman tali plastik yang ditutup dengan kain tenun kerbat. Dian kembali menjelaskan, “sebagaimana tolak bala, telur-telur itu diletakkan di langit-langit ruai untuk melindungi warga Sungai Utik dari wabah virus COVID-19 setelah tuai rumah kami, Apai Janggut, mendapat pertanda melalui mimpi.”
Bagi masyarakat Iban, pembungkus telur yang digantung di langit-langit ruai adalah sebentuk permohonan, agar warga Sungai Utik terlindung dari wabah dan bahaya lain. Manusia diibaratkan kuning telur, sedangkan putih telur dan cangkang adalah pelindungnya.
Muammar Ardli Hafiid, Antariksa, dan Abraham Mohammad Ridjal dalam Perubahan Ruang pada Bangunan Rumah Panjae Suku Dayak Iban Kalimantan Barat (Jurusan Arsitektur Univeritas Brawijaya, 2015), menerangkan ihwal landasan filosofis pada zona ruang yang terdapat di dalam rumah panjae terpengaruh pandangan masyarakat Iban terhadap proses daur hidup manusia. Bagian timur yang terdapat ruang bilik merupakan representasi sebuah awal, sedangkan tanjuk dimaknai sebagai sebuah akhir.
Mencermati berbagai unsur di rumah panjae, rasanya seperti bersinggungan langsung dengan pola pikir masyarakat Iban yang ditata dalam adab leluhur. Setiap uraiannya menunjukkan ciri masyarakat kosmosentris, masyarakat yang menempatkan alam sebagai dasar pemikiran dan mengakui adanya kekuatan transenden.
Pada benda-benda itu seakan terbentang simulakra, garis imajiner yang menghubungkan orang Iban dengan teladan hidup nenek moyang mereka. Sekali lagi, saya terhanyut dalam cara pandang masyarakat yang meski dianggap sudah usang, namun masih terasa relevan dengan kenyataan hidup hari ini.