Masyarakat desa adalah masyarakat yang masih erat mengugemi khazanah tradisi dari para leluhurnya. Pengertian desa menurut Daldjoeni (2003) adalah pemukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya bermata pencaharian dengan bertani atau bercocok tanam.

Masyarakat agraris selalu memiliki tradisi yang unik di setiap daerahnya. Biasanya, tradisi tersebut masih berkaitan dengan kelangsungan hidup dari lahan pertaniannya, seperti ritual menjelang tanam, panen, atau bahkan ketika musim kemarau panjang.

Di Yogyakarta ada ritual yang ditujukan kepada Dewi Sri ketika menanam benih padi, di Karawang terdapat ritual Nyalin yang dilaksanakan sebelum memanen padi, dan Banyuwangi dengan ritual Keboan Aliyan agar padi tumbuh subur. Sedangkan di daerah Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, masyarakatnya melaksanakan ritual saat kemarau panjang datang, yaitu ritual Tiban.

Tiban adalah sebuah tradisi yang menampilkan dua orang yang saling mencambuk satu sama lain. Ritual ini diyakini oleh masyarakat pendukungnya sebagai sarana untuk mengundang hujan bilamana musim kemarau panjang datang. Ritual Tiban berkaitan erat dengan harapan akan turunnya hujan untuk mengairi lahan pertanian akibat musim kemarau telah mengeringkan sumber mata air di desa.

Tiban berasal dari Bahasa Jawa yaitu “tiba” yang berarti "tiba-tiba". Maksudnya, setelah tradisi Tiban dilaksanakan, maka air hujan akan turun secara tiba-tiba, sebagimana istilah Masjid Tiban yang berarti masjid yang ditemukan secara tiba-tiba.

Tradisi Tiban telah dilaksanakan turun-tenurun dari generasi ke generasi sejak zaman nenek moyang mereka. Berdasarkan cerita tutur masyarakat, sejarah Tiban diawali dengan adanya dua orang penggembala kerbau yang mencari sumber air untuk diberikan pada hewan kerbau. Akhirnya, dua orang tersebut menemukan satu sumber mata air yang sudah surut airnya. Lantas, kedua orang tersebut memperebutkan sumber mata air yang sedikit itu.

Kemudian, karena keduanya membawa pecut (cambuk) untuk menggembala kerbau, akhirnya kedua orang tersebut bertarung, saling menyerang dengan cambuk untuk memperebutkan mata air tersebut. Namun, setelah dua orang penggembala melakukan aksi saling cambuk tersebut, tak lama kemudian turunlah hujan yang deras. Sehingga, masyarakat percaya bahwa untuk mengundang hujan adalah dengan bertarung saling cambuk atau disebut Tiban, yang kemudian masih dilestarikan sampai saat ini melalui sebuah pagelaran Tiban.

Cambuk yang digunakan dalam pagelaran Tiban terbuat dari lidi aren atau yang disebut ujung. Penggunaan lidi aren sebagai cambuk disebabkan materialnya lebih lentur, sehingga dapat diayunkan dengan mudah dan menimbulkan sayatan bagi yang terkena, berbeda dengan lidi daun kelapa yang cenderung kaku.

Lidi aren kemudian dipintal lebih dari lima lidi di setiap cambuknya. Kemudian di ujung pintalannya disematkan satu helai lidi yang berguna agar memudahkan penggunanya membuat sayatan di tubuh lawan.

Pagelaran Tiban dilaksanakan siang hari di tanah lapang dihadiri penonton dan petiban (pemain tiban) dari berbagai daerah. Para petiban yang hendak bertanding akan muncul di sisi arena pertarungan dari arah yang berlawanan. Para petiban umumnya tidak mau melawan temannya sendiri karena akan berdampak pada kurang maksimalnya petiban ketika mencambuk lawannya.

Petiban yang akan bertanding berjalan menuju arena dengan membawa ujung yang telah disediakan panitia. Kemudian, dalam pagelaran Tiban juga terdapat wasit yang disebut landang yang biasanya berjumlah dua orang. Landang mempunyai wewenang untuk mengatur pertandingan dan menentukan sah atau tidaknya cambukan dari petiban.

Sedang para petiban tidak diukur berdasarkan fisiknya, melainkan berdasarkan pengalamannya, yaitu kelas senior dan junior. Maka tak jarang ada petiban yang bertubuh kecil melawan petiban yang bertubuh besar.

Dalam pagelaran Tiban, masing-masing daerah memiliki cara dan aturan main yang berbeda-beda, termasuk di Desa Jajar, Gandusari, Trenggalek. Di Desa Jajar, ada tiga tahapan dalam memainkan Tiban. Pertama, tayungan, yakni tahap ketika para petiban berjoget mengikuti irama gamelan yang dimainkan.

Tayungan bertujuan untuk menentukan siapa yang menyabet terlebih dahulu. Setetah tayungan, ada sabetan. Sabetan adalah di mana salah satu petiban menyabet lawannya terlebih dahulu. Setelah sabetan, kemudian keweran. Keweran adalah ketika petiban lawan menyabet kembali dengan cara memegang sabuk, celana bagian pinggang dari petiban yang menyabet terlebih dahulu.

Tiban di Desa Jajar terdiri dari satu babak, masing-masing petiban mendapatkan tiga kali cambuk: sabetan dan keweran secara bergantian. Petiban yang mencambuk pertama kali disebut petiban sabetan dan yang kedua disebut petiban keweran.

Petiban yang bertanding tidak boleh menyabet secara bersamaan, melainkan bergantian. Ketika petiban yang satu mendapatkan giliran untuk mencambuk, maka petiban lawan akan berusaha melindungi tubuhnya dengan ujung yang dilengkungkan untuk menadahi sabetan lawan, begitu pula sebaliknya.

Tak jarang, petiban bertarung hingga terluka dan berdarah akibat cambukan lawan. Meskipun demikian, para petiban tetap berjoget menikmati iringan musik gamelan yang ada. Karena masyarakat meyakini, semakin banyak darah yang mengalir, maka semakin deras pula hujan yang akan datang.

Adapun ujung atau cambuk tidak bisa digenggam sembarangan, karena akan berakibat fatal jika tidak memperhatikan arahan dari landang. Cara memegang ujung adalah dengan cara dipegang bagian paling pangkal bawah dari ujung tersebut. Tujuannya, agar lawan tidak terkena bagian pangkal bawah ujung yang keras dan menimbulkan luka yang parah.

Sedang untuk mencambuk, petiban dilarang menyerang kepala, paha, sampai kaki. Petiban hanya diperbolehkan menyerang bagian dari bawah leher sampai bagian atas pinggang.

Pada tradisi Tiban, pertarungan diiringi oleh musik gamelan. Musik gamelan tersebut berfungsi untuk menambah keindahan gerak para petiban ketika bertanding. Gamelan terdiri dari beberapa instrumen musik tradisional Jawa, antara lain: kendang, demung, gong, saron, kenthongan dan satu orang penembang yang melantunkan lagu-lagu Jawa.

Selain iringan musik, dalam pagelaran Tiban terdapat seorang komentator seperti dalam pertandingan olahraga pada umumnya. Tugas komentator adalah untuk mengarahkan petiban agar tetap mematuhi peraturan yang ada, selain diarahkan oleh landang.

Dalam konteks kesenian, Tiban tak sekedar mencambuk lawan secara asal-asalan. Tradisi Tiban juga harus memerhatikan konsep keselarasan antara wiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga berkaitan dengan bagaimana gerak tubuh dalam mencambuk lawan; wirama adalah kesesuaian gerak tubuh dengan iringan irama dari gamelan; dan wirasa adalah penggunaan ekspresi dan rasa dari petiban saat berhadapan dengan lawan. Kesesuaian antara ketiganya akan menciptakan harmoni keindahan dalam pertandingan Tiban.

Pagelaran Tiban akan selesai bilamana waktu sudah petang, sebab rentang waktu pertandingan tersebut dirasa sudah cukup. Namun, apabila hujan tak kunjung datang, maka pagelaran Tiban akan digelar kembali berselang seminggu setelah pagelaran pertama dan akan terus berlanjut setiap minggunya hingga hujan turun.

Tradisi Tiban merupakan salah satu khazanah kekayaan tradisi Nusantara yang harus dilestarikan sebagai warisan adiluhung dari leluhur. Meskipun di zaman serba canggih ini konsepsi masyarakat telah berpindah dari yang tradisional ke modern, bukan berarti tradisi Tiban harus ditinggalkan. Pasalnya, selain sebagai ritual, Tiban juga hadir sebagai sarana hiburan sosial yang diadakan pada waktu-waktu tertentu, seperti dalam perayaan 17 Agustus atau pergantian tahun.

Penyunting: Nadya Gadzali