Kepulauan Masalembu (Madura: Salembhu). Mendengar nama pulau tersebut tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, tetapi juga menjadi hal yang baru bagi yang belum mengenalnya sama sekali. Apabila ditinjau melalui peta, pulau kecil mungil tersebut terletak di tengah-tengah Laut Jawa (berada di antara Pulau Madura dengan Kalimantan).
Keberadaannya kerap menjadi bahan perbincangan yang menarik sekaligus menjadi bahan obrolan yang seru. Pulau Masalembu ditengarai sebagai pulau yang misterius sekaligus menyeramkan untuk dikunjungi.
Kendati demikian, berbagai kecelakaan transportasi laut dan udara yang kebetulan terjadi di sekitar perairan Masalembu seringkali dikaitkan dengan hal misterius. Seperti adanya fenomena Segitiga Bermuda Masalembo menyebabkan kapal atau pesawat yang kebetulan sedang melintas, tenggelam, terbakar, atau terjatuh dengan sendirinya tanpa sebab yang jelas.
Kendati demikian, bagi masyarakat Masalembu sendiri, mereka tidak begitu meyakini keberadaan Segitiga Bermuda. Terbukti pada saat para nelayan sehari-harinya tetap semangat berangkat melaut, seakan tidak menghiraukan isu tersebut.
Pulau yang berada di tengah-tengah lautan lepas, setidaknya berpenghuni kurang lebih sekitar 5.000 jiwa itu, dengan dua pulau tetangganya yaitu Pulau Masakambing dan Pulau Kramaian, menjadi satu gugus kecamatan dengan Masalembu. Secara administratif, di Kecamatan Masalembu terdapat empat desa yaitu Desa Masalima, Sukajeruk, Masakambing dan Desa Kramaian. Desa Masalima menjadi pusat kota kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling padat dibandingkan desa-desa lainnya.
Pulau Masalembu termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sumenep walaupun jaraknya lebih dekat dengan Kalimantan dibandingkan dengan jarak ke Sumenep (Lihat: Pulau Kramaian, Kecamatan Masalembu). Uniknya, walaupun pulau ini kecil mungil jauh dari daratan, tetap saja dihuni oleh berbagai suku-suku termasuk juga penggunaan bahasa daerah dan budaya yang berbeda-beda. Suku yang dominan di Masalembu yaitu Suku Madura, Suku Bugis, dan Suku Mandar. Semua hidup rukun dan berdampingan dengan damai di Pulau Masalembu.
Jarak tempuh transportasi laut dari Pelabuhan Kalianget (Sumenep) ke Pelabuhan Masalembu kurang lebih sekitar 14 jam perjalanan laut menggunakan armada kapal perintis Sabuk Nusantara 115 atau sering disebut juga dengan Kapal Tol Laut.
Sarana transportasi menuju Pulau Masalembu dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi laut saja, sedangkan transportasi udara hanya dapat digunakan oleh aparat militer sebagai mobilitas kepentingan negara serta kepentingan pemilu. Sedangkan sarana listrik dan penerangan menggunakan jasa perusahaan swasta di bidang PLTD.
Listrik dapat dinikmati oleh masyarakat mulai dari pukul 17.00 sampai dengan 23.00 malam dan hidup kembali pada pukul 03.30 sampai 05.00 pagi. Selebihnya, warga yang mempunyai pembangkit listrik tenaga surya dapat memanfaatkannya pada siang hari.
Sebagai masyarakat kepulauan, tentunya tidak akan lepas dari kelautan, perikanan, dan transportasi laut. Mereka bergantung pada laut sebagai sumber utama mata pencaharian. Selain itu, terdapat dermaga pelabuhan sebagai jalur perdagangan bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang.
Pengiriman barang dagangan dikirimkan dengan perahu dan kapal yang akan berlayar ke Kalianget-Surabaya dan Batulicin-Kalimantan Selatan, sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh pihak pengelola kapal.
Keberadaan transportasi laut tersebut dapat memberikan kontribusi yang positif bagi keberlangsungan ekonomi di Kepulauan Masalembu, baik itu bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang ataupun nelayan.
Para nelayan di Masalembu masih mempertahankan teknik penangkapan ikan menggunakan alat tradisional, baik dari segi alat tangkap maupun tata cara penangkapannya. Alat penangkapannya menggunakan kail dan jaring, sedangkan teknik penangkapannya disebut dengan berbagai istilah, seperti majâng, nyambalang, ngancèt, nyakay, ngebbok, matpat, dan lain sebagainya.
Nelayan sepakat untuk tidak menggunakan alat tangkap yang mengancam keberlangsungan biota laut, seperti penggunaan jaring cantrang, pukat harimau, dan gardan. Para nelayan sangat menolak keberadaan kapal menggunakan cantrang beroperasi di sekitar perairan laut Masalembu. Mereka hanya mengizinkan kapal ikan memasuki perairan laut Masalembu untuk tujuan membeli hasil tangkapan nelayan. Kapal ikan yang membeli hasil tangkapan nelayan kebanyakan berasal dari daerah Jawa seperti dari Brondong, Lamongan, serta Juwana.
Beragam jenis perahu tradisional di Pulau Masalembu yang sering digunakan oleh para nelayan antara lain kalotho’, pajala, jhukong, sampan dan losongan. Perahu jenis kalotho’ dan pajala digunakan untuk penangkapan ikan dengan jarak sekitar 25 mil dari Pulau Masalembu. Sedangkan perahu jenis jhukong, sampan, dan losongan hanya digunakan jarak pendek, yaitu di sekitaran pesisir laut Masalembu.
Perahu kalotho’ dan pajala menggunakan mesin diesel, sedangkan daya dorongnya menggunakan baling-baling besi berukuran sedang. Perahu jenis jhukong, sampan dan losongan dapat menggunakan layar, dayung, serta mesin jenset berukuran kecil. Jenis-jenis perahu tersebut dimiliki oleh nelayan sesuai dengan kebutuhan, kapasitas, serta jarak tempuh penangkapan ikan.
Sebagai nelayan yang dalam kesehariannya menggantungkan hidup di laut, mereka sadar bahwa alam dapat menghidupinya. Untuk itu, mereka mengadakan ritual sebagai sarana berdoa kepada Tuhan atau sebagai perayaan rasa syukur atas berkah hasil laut yang melimpah. Selain itu juga sebagai doa bagi nelayan yang akan melepas perahunya ke laut.
Ritual yang dilakukan secara periodik yaitu ritual Rokat Tasè’ serta ritual Toron Parao bagi nelayan yang hendak menurunkan perahunya dari atas Pamacekkan (tempat pembuatan perahu).
Istilah Toron Parao diambil dari Bahasa Madura yang berarti “Turunnya Perahu”. Ritual ini dilakukan oleh nelayan yang akan meluncurkan perahunya pertama kali ke laut. Manfaat ritual ini diyakini oleh masyarakat dapat membawa keselamatan dan keberkahan rezeki bagi pemilik perahu.
Sebagaimana masyarakat tradisional pada umumnya, perayaan ritual sudah menjadi kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang sejak dahulu kala dan sampai saat ini tetap dipertahankan selayaknya tradisi para nelayan di Masalembu yang hendak bermunajat, sekaligus mengungkapkan rasa syukur terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.
Ritual Toron Parao di Masalembu pada umumnya dilaksanakan oleh pemilik perahu dengan mengundang tokoh agama serta masyarakat setempat untuk turut membantu melancarkan jalannya ritual. Lokasi pelaksanaan ritual dilaksanakan di tempat pembuatan perahu (Pamacekkan) yaitu di daerah pesisir Kampung Mandar, Desa Sukajeruk.
Waktu dan hari pelaksanaan ritual ditentukan oleh pemilik perahu berdasarkan hasil konsultasi dari tokoh agama. Penentuan hari dan waktu dipertimbangkan dengan mengacu pada penanggalan Islam karena dipercaya bahwa penentuan hari yang baik dapat membawa dampak positif bagi keselamatan perahu saat digunakan untuk melaut.
Kampung Mandar dikenal sebagai kampungnya orang-orang yang mahir membuat perahu. Sebagian masyarakatnya merupaken produsen perahu yang handal dalam pembuatan serta reparasi perahu yang sedang mengalami kendala.
Memang kalau ditinjau dari asal usulnya, masyarakat di Kampung Mandar berasal dari Suku Mandar (Sulawesi) yang terkenal akan keterampilannya dalam membuat perahu. Mayarakat Mandar hanya memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk merampungkan 1 perahu berjenis kalotho’ (perahu berukuran sedang). Sedangkan material kayu yang akan dijadikan perahu didatangkan langsung dari Kalimantan dengan mengantongi izin dari kepolisian setempat.
Properti yang digunakan dalam ritual yaitu seperangkat sesajen seperti buah pisang (keddhâng), air kembang (aèng kembhâng), telur (tellor), ketan (palotan), nasi (nasè’), ayam jantan berwarna putih, serta kemenyan (dhupa).
Ritual ini dipimpin oleh seorang tokoh agama, didampingi oleh keluarga pemilik perahu. Sedangkan pembacaan doa-doa dilakukan dengan khidmat di atas perahu, disaksikan oleh masyarakat lainnya.
Setelah doa-doa selesai dilakukan, air kembang yang sudah disiapkan sebagai sesajen kemudian disiramkan secara merata dari ujung perahu sampai belakang perahu. Penyiraman air kembang ini dipercayai bahwa doa yang telah dipanjatkan dapat terkabul dan perahu yang sudah disirami, dilindungi dari bala dan terhindar dari roh jahat.
Sesaat setelah penyiraman air kembang, perahu mulai didorong oleh masyarakat secara bersama sambil membaca takbir dan selawat, sampai perahu bergerak menyentuh air laut. Pemilik perahu beserta keluarganya menaiki perahu yang sudah berada di atas air sambil membawa bendera dari kain yang sudah disiapkan untuk dikibarkan pada salah satu tiang perahu. Kemudian, sesajen yang sudah didoakan seperti nasi, pisang, ayam, dan ketan diserahkan kepada pekerja yang telah membuat perahu untuk diberikan kepada keluarganya, dengan harapan keberkahan senantiasa mengiringi pemilik dan pembuat perahu.
Sisa potongan kayu yang disentuh pertama kali oleh tukang pada saat pembuatan harus diambil oleh pemilik perahu untuk dijadikan sebagai kothèka (semacam jimat) lalu diletakkan di rumah atau di bagian tertentu pada badan perahu. Sisa potongan kayu yang diletakkan di badan perahu hendaknya selalu dibawa kemanapun perahu berlayar dan tidak diperkenankan untuk dibuang atau dilepas dengan alasan apapun.
Kepercayaan ini tetap dipegang teguh oleh para nelayan sebagai bukti aktualisasi diri masyarakat yang berbudaya, tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi, serta kebiasaan yang sudah dilakukan oleh leluhurnya.
Rusli Fatoni (Nelayan, 35 Tahun) sebagai pemilik perahu pada saat diwawancara mengatakan bahwa perahu yang hendak diturunkan ke laut harus sudah siap dari berbagai aspek, seperti pemilihan waktu yang tepat (pagi, siang, sore, ataupun malam).
Hal tersebut menentukan awal yang baik bagi pemilik perahu. Pemilik perahu dapat berkonsultasi dengan tokoh agama untuk menentukan kapan waktu dan hari yang tepat agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan.
Ritual Toron Parao hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, sedangkan penentuan waktu tersebut harus didasarkan pada petunjuk dari tokoh agama yang akan memimpin jalannya ritual. Perhitungan waktu, tanggal, dan bulan mengacu pada sistem penanggalan Islam, sebagaimana agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Pulau Masalembu, yaitu agama Islam.
Sebagai masyarakat penganut agama Islam yang taat, tentunya mereka memperhatikan unsur-unsur ritual agar tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Namun di sisi lain, sebagai masyarakat tradisional yang masih lekat dengan budayanya juga tetap mempertahankan sesajen dalam bermunajat kepada Tuhan.
Ritual ini dilaksanakan dengan pembacaan doa-doa berbahasa arab, surat-surat pendek Al-qur'an seperti Al-fatihah, Al-ikhlas dan juga pembacaan Selawat Nabi. Dapat disimpulkan, bahwa ritual Toron Parao merupakan simbol untuk menyampaikan doa secara Islam, sedangkan sesajen sebagai pelengkap dan sarana memberikan sedekah (bherkat) yang dibagikan kepada tukang pembuat perahu pada akhir ritual.
Tidak lupa juga, pemilik perahu mengucap syukur dan permintaan maaf kepada tukang pembuat perahu, apabila selama proses pembuatan terdapat kesalahan ucap maupun perbuatan. Permohonan doa juga dipanjatkan oleh pembuat perahu, agar pemilik perahu mendapatkan rezeki yang berkah saat bekerja.
Keberlangsungan ritual Toron Parao yang dilakukan oleh Suku Madura ,tidak terlepas dari keterlibatan Suku Mandar dan Suku Bugis yang juga ikut serta dalam pembuatannya. Sebaliknya, ketika Suku Bugis atau Suku Mandar akan menurunkan perahunya, Suku Madura juga membantu walaupun dengan ritual yang berbeda menurut adat masing-masing.
Fenomena ini terjadi di Pulau Masalembu yang kecil, namun memiliki keberagaman suku dan adat istiadat yang sama sekali tidak membatasi mereka dalam kegiatan gotong royong.
Penyunting: Nadya Gadzali