Telah terpahat dalam cakra kalamangsa, Kendal, sebuah desa kecil di bantaran sungai Bengawan Solo ternyata menyimpan pesona budaya adiluhung sejak dulu kala.

Masih terekam dalam lembar sejarah para pegiat budaya, yang kini mulai menapaki usia senja, perihal sebuah paguyuban seni tradisi yang moncer di tahun 50-an hingga di penghujung tahun 70-an, yakni pencak untulan.

Berdasarkan referensi berbagai sumber yang berhasil penulis himpun, seni pertunjukan pencak kuntulan memang pernah misuwur di Kabupaten Lamongan, tepatnya di daerah pesisir pantai utara seperti Kecamatan Paciran dan Laren.

Adapun Desa Kendal yang notabene berada di wilayah Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, tak tercantum dalam catatan sejarah kebudayaan lokal. Padahal, pada saat itu tidak semua daerah atau desa mempunyai paguyuban pencak kuntulan.

Sejauh penelusuran penulis, hanya beberapa desa saja di wilayah Sekaran yang pernah nguri-nguri pencak kuntulan, yaitu desa Kebalan Pelang dan Latek. Di Kendal, pemrakarsa sekaligus pembimbing pencak kuntulan adalah Mbah Surowaris.

Selain dari pengalaman berinteraksi dengan paguyuban-paguyuban serupa, beliau juga pernah belajar dari sesepuh pencak dari Desa Kebalan Pelang, Mbah Mukid yang merupakan mertua dari KH. Mustoleh pengasuh Pondok Pesantren Manba'ul Qur'an Kebalan Pelang.

Selain Mbah Surowaris, ada juga Mbah Senden Mandri yang menjadi pimpinan paguyuban serta Mbah Joyo Adi atau lebih dikenal dengan nama Mbah Cokro, seorang tabib spesialis menerapi orang yang "owah pikiran".

Selain ketiga nama tokoh di atas, ada beberapa orang lagi yang aktif berkiprah dalam pencak kuntulan Kendal tempo dulu. Sederet nama berhasil ditelusuri, baik pemain pencak dan atraksi (pendekar), pelantun selawat, maupun penabuh instrumen pengiring, yaitu Jaelani, Kadam, Basuk, Joko Palon, Joko Pikukuh, Joko Piandel, Maseri, Sumijo, Karjo, Ngalimun, Masrup dan Carik Munsari.

Dalam pertunjukan pencak kuntulan, ada beberapa unsur seni yang dikolaborasikan, yakni seni pencak silat, seni suara, dan seni musik. Seni pencak silat bisa dijumpai mulai dari segmen pembuka yang dinamakan kuntulan, kembangan, mungsuhan, dan atraksi.

Dalam seni suara dan musik, ditengarai adanya anggota yang bertugas melantunkan selawat barzanji atau burdah yang diiringi dengan tabuhan jedor. Zaman dulu, pertunjukan pencak kuntulan sering dimainkan di berbagai event, baik di Desa Kendal hingga ke manca desa.

Menurut penuturan Kadam, bapak penulis dan mantan pemain pencak, pencak kuntulan Kendal juga sering mendapat undangan dari luar daerah, seperti di Desa Awar-awar dan Karang Asem yang merupakan wilayah Kecamatan Babat.

Ketika mendapat undangan dari tempat yang jauh, transportasi yang biasa digunakan untuk menampung rombongan pencak yang beranggotakan sekitar 15 orang hanyalah perahu. Sebab ketika itu, tanggul atau jalur darat belum bisa dilalui mobil dengan leluasa.

Pencak kuntulan digelar di tempat yang lapang, selain untuk mengakomodir para penonton, juga digunakan sebagai tempat memasang panggung atau arena layaknya pada pertandingan tinju.

Ukuran standar yang digunakan adalah 4 x 4 meter per segi dengan tinggi sekitar 1.5 meter dari atas tanah. Arena itu kemudian diberi semacam pagar terbuat dari batang-batang bambu, seperti yang terdapat pada tali di ring tinju.

Di pojok arena terdapat batang bambu utuh yang menancap. Fungsi dari bambu itu menjadi tempat pijakan atraksi bedesan atau macanan yang sedang trance atau kerap disebut dengan istilah ndadi.

Adapun rangkaian pertunjukan diawali dengan pembukaan, yaitu semacam kata pengantar dan doa yang dilanjutkan dengan gerak menunduk seperti penghormatan ke seluruh penjuru mata angin.

Ritual ini dipimpin langsung oleh ketua paguyuban. Selanjutnya, sebanyak 12 orang berpakaian kemeja putih, bercelana pendek hitam, dan berkaos kaki hitam, berjajar dua baris naik ke atas panggung sambil membawa kepet, sebuah kipas yang dibuat dari anyaman bambu.

Pada segmen ini, biasanya mereka yang tampil adalah anggota yang berpenampilan gagah dan menarik secara fisik. Dengan diiringi lagu seolawat dari bait-bait barzanji dan rancak tabuhan jedor, mereka memeragakan gerakan simbolis yang mirip gerak tari dan jurus silat. Dari sesi inilah kemudian nama kuntulan tersemat. Berasal dari gerakan serta pakaian para pemainnya yang serba putih seperti barisan burung kuntul.

Segmen berikutnya adalah kembangan. Pada sesi ini para pendekar unjuk kelihaian memeragakan jurus solo. Baik tangan kosong maupun olah senjata. Sesi ini seolah menjadi ukuran keterampilan ilmu silat para pendekar. Masing-masing pendekar mempunyai gaya dan teknik silat yang berbeda satu sama lain. Mulai dari murni teknik fisik hingga pencak setruman.

Setelah sesi kembangan, tibalah saatnya memasuki sesi mungsuhan atau sparing. Sesi inilah yang paling dinantikan oleh para penggemar pencak kuntulan. Arena yang dibuat sedemikian rupa dengan pagar batang-batang bambu semakin terlihat angker dengan adanya sajian dua pendekar yang saling mengadu kejadukan dan kanuragan.

Tabuhan jedor, kendang, dan ketimplang yang bertalu-talu seolah membawa daya ginaib sehingga menambah sakral sesi mungsuhan. Meskipun dari pemilihan rival atau pasangan mungsuhan sampai gerakan sudah direncanakan secara detail, namun tetap saja ketika sudah berada di atas panggung, harga diri masing-masing pendekar seolah menjadi pertaruhan.

Di penghujung pertunjukan, ada sesi atraksi yang juga menjadi daya tarik bagi penonton. Tidak semua anggota pencak mampu melakukannya. Dalam atraksi, butuh latihan yang tidak mudah. Bahkan, untuk menguasai atraksi tertentu, ada riyadhoh khusus yang wajib dilakoni sehingga hanya anggota tatag bermental kuat saja yang berhasil lelaku untuk menguasai ngelmu atraksi.

Ada beberapa jenis atraksi yang biasa didemonstrasikan di dalam pencak kuntulan, di antaranya adalah berguling-guling di atas duri pohon salak sambil telanjang dada, tidak mempan benda tajam, menggigit katel (kursi) yang terbuat dari kayu jati, lalu melemparkannya ke atas panggung, dan membuat perapian di atas kepala dengan kain bekas lalu digunakan untuk mendadar telur di atas wajan.

Atraksi macanan dan bedesan juga sangat digemari penonton. Tingkah polah anggota pencak yang memakai kostum macan dan kera sangat lincah dan dapat melakukan sesuatu hal melebihi orang-orang pada umumnya. Dalam istilah pertunjukan tradisioanal disebut ndadi seperti pada pertunjukan jaranan atau reog.

Macanan dan bedesan dengan sangat mudahnya naik tinggi sampai mentiung di ujung bambu yang dipasang di pojok ring tanpa rasa takut. Jika sudah demikian, para penonton dari berbagai kalangan akan bersorak tak henti-henti.

Tidak bisa dipungkiri, jika pencak kuntulan memang menjadi primadona seni pertunjukan zaman dulu. Pada tahun 60-an, pencak kuntulan di beberapa daerah di Lamongan berkembang di bawah naungan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), salah satu lembaga di tubuh Nahdlatul Ulama yang bertugas melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan seni dan budaya. Keduanya bersinergi seperti dua sisi mata uang, tidak terpisahkan.

Sampai saat ini, penulis masih banyak menjumpai orang-orang tua di pelosok kampung. Jika mendengar kata Lesbumi, yang ada dalam benak mereka adalah pencak kuntulan. Kini, nyala obor tinggal menunggu waktu dihembus sang bayu. Cahayanya semakin redup. Pencak kuntulan telah berada di ambang kepaten obor.

Namun, bukan berarti harus pasrah dengan keadaan. Cakra manggilingan terus berputar. Semua hal tentang kejayaan seni tradisi yang adiluhung pasti akan menemu titik balik. Bukan tidak mungkin, pencak kuntulan akan kembali menyala di tangan generasi yang mau sedikit saja membuka kedua tangannya, menyambung sanad dari para seniman pencak kuntulan yang sudah mulai udzur.

Penyunting: Nadya Gadzali