Etnis.id - Seni membatik di komunitas masyarakat Banyuwangi Jawa Timur cukup populer di Indonesia. Di sana, ada 22 motif khas yang dihasilkan oleh masyarakat setempat.

Motif tersebut terus dirawat dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Gunanya agar kelestarian pusaka itu terjaga keasliannya. Namun itu tidak mudah. Para pembatik harus berhadapan dengan zaman. Apa itu? Tuntutan pasar.

Sebelum membahasnya lebih jauh, perlu diketahui para pengrajin batik yang melukis dengan tangan atau menggunakan alat cetakan, sudah mulai memodernisasi motif-motifnya.

Pelukisan batik yang modern agak berbeda dengan cara melukis konvensional, sebab ada sejumlah tahapan dan rangkaian yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah karya seni.

Lebih dari itu, membatik terkadang melibatkan hanya satu orang, tapi dalam budaya yang kian berkembang, menjadikan produksi batik itu harus memakai banyak orang untuk memudahkan tahapan produksi.

Kain batik di rumah batik Syamsudin/Etnis/Billy Chermutto

Mulanya, akan dibuatkan desain besar soal apa yang akan dilukis. Selanjutnya, memasukkan beberapa motif di ruang-ruang kosong untuk membentuk satu pola akhir. Biasanya, memasukkan motif tertentu atau digabungkan dari motif daerah lain.

Penggabungan beberapa motif dilakukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar dan nilai bisnis yang terus meningkat. Setelah penggabungan itu, maka bertambah corak batik Banyuwangi menjadi 45 motif yang berbeda.

Dari sini, kita tentunya diperhadapkan kenyataan bahwa kita harus berkompromi, sebab terkadang pasar punya mekanisme sendiri membentuk cara manusia menghasilkan karya seni, walau sekuat apapun komunitas masyarakat mempertahankan keaslian motif batik, tetapi pengaruh pasar lebih besar menekan seniman untuk menghasilkan produk yang diinginkan pasar.

Pilihannya ada dua, pertama tetap konsisten dengan motif asli batik di daerah tersebut, tapi risikonya kesulitan laku atau diterima oleh masyarakat luas. Pembuatannya pun cukup sulit, dengan melukis biasa. Butuh waktu lama. Kedua memodernisasi motif batik mengikuti perkembangan zaman dengan timbal balik nilai bisnis semakin meningkat dan tentu saja omset bisnis terus mengalir. Sederhana, cepat pembuatannya dan digandrungi pasar.

Mendukung gagasan di atas, Etnis menemui Syamsudin, salah satu pengrajin usaha batik di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Bersamanya, ia menceritakan sepak terjangnya membangun bisnis batik hingga ia memiliki 8 orang karyawan. Bisnisnya dibangun sejak 5 tahun lalu, berangkat dari keresahannya melihat kalangan muda mulai meninggalkan tradisi berbatik.

Banyuwangi punya 22 motif batik yang memang khas dan tidak dimiliki daerah lain. Tapi dalam perkembangannya, kita memodernisasi dengan batik Pekalongan dan Solo untuk bisa diterima (pasar). Sampai sekarang, ada 45 motif (batik Banyuwangi) kontemporer," terangnya.
Proses pembatikan di rumah batik Syamsudin/Etnis/Billy Chermutto

Setiap batik yang dihasilkan oleh Syamsudin, masing-masing memiliki makna filosofis. Di batik, pesan itu disampaikan melalui sebuah lukisan. Seperti cerita Kanjeng Ratu Kencana, istri dari Sunan Pakubuwana III Surakarta Hadiningrat, pada abad ke-18.

Diceritakan pada suatu waktu, ia sedang dilanda rasa cemburu yang membara karena sang suami kerap kali sibuk dengan urusan kerjaan dan adanya selir baru di keraton.

Bahkan pada hari pernikahan, sang ratu masih diterpa rasa cemburu. Pada suatu malam, ia memandangi langit dan melihat kerlap-kerlipnya jutaan bintang dengan semerbaknya harum bunga tanjung di sekitarnya.

Tiba-tiba tangan sang ratu ingin melukis semua rasa yang berkecamuk di hatinya. Maka ia melukis bintang-bintang dan bunga kembang tanjung pada lembaran kain.

Singkat cerita, sang prabu melihat lukisan istrinya di sebuah kain yang membatik dan membentuk pola bintang dan bunga tanjung. Lukisan tangannya kemudian disebut lukisan motif batik truntum.

Alat cetak batik di rumah batik Syamsudin/Etnis/Dumaz Artadi

Cerita ini memberikan suatu gambaran umum, bahwa lukisan dalam setiap batik memiliki makna filosofis. Ada pesan tersirat yang ingin disampaikan melalui lukisan tersebut.

Demikian juga dengan salah satu motif Batik Gajah Uling Banyuwangi, yang sangat populer. Gajah Uling merupakan penggabungan dari dua kata Gajah dan Uling (sejenis ular yang hidup di air).

Batik Gajah Uling, dulunya digunakan para bangsawan dan kerajaan yang melambangkan kebesaran dan kewibawaan. "Batik Gajah Ulik memang khas dari Banyuwangi. Dulu hanya dipakai para bangsawan saja, karena filosofinya dari kebesaran," tandasnya.

Nah, sekarang, kita pilih yang mana? Apakah batik asli atau yang sudah modern? Kalau menurutku, semua sama saja. Terpenting, kita bahu-membahu membantu perekonomian industri lokal. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi?

Editor: Almaliki