Etnis.id - Tidak ada orangtua yang tidak mendambakan anak unggul dari rahimnya. Makanya proses kehamilan sangat diperhatikan guna mewujudkan keinginan itu.

Untuk itu, pelbagai upacara disiapkan sejak dini. Terkhusus masyarakat Jawa, sampai saat ini mereka belum bisa dipisahkan dari ritual yang dianggap manifestasi atas rasa syukur dari Tuhan.

Ritus kehamilan yang harus dilakukan mereka adalah Mitoni. Banyak versi historis dari tradisi ini yang berkembang dari mulut ke mulut.

Konon, saat kerajaan Kediri masih di bawah kepemimpinan Jayabaya, ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb. Ia menikah dengan seorang penggawa kerajaan, Sadiyo namanya.

Pernikahan antarkeduanya melahirkan sembilan anak. Namun, nasib keluarga kecilnya tidak berjalan sesuai harapannya. Anak-anaknya tidak ada yang berumur panjang.

Hebatnya, Niken dan Sadiyo tidak putus asa. Sebaliknya, mereka berdoa agar diberi anak lagi dan tidak ditimpa kemalangan seperti yang lalu.

Tidak hanya berdoa, banyak orang yang ia mintai pendapat. Mereka menjadi pendengar yang baik. Banyak yang dilakukan, tetapi belum juga Niken akan mengandung lagi.

Akhirnya, mereka bersepakat, kalau Sadiyo harus menghadap ke raja untuk mengadukan nasib yang dialaminya. Saat itu, raja menyaksikan kegundahan Sadiyo.

Sang raja akhirnya mengambil kesimpulan untuk memberi Sadiyo petuah, agar sepasang suami-istri tersebut bisa tenang dengan menjalankan ritual darinya sembari berdoa kepada Yang Maha Kuasa.

Mitoni/FIickr/Erny Soekotjo Nikijuluw

Raja berpesan kalau Satingkeb setiap Rabu dan Sabtu diwajibkan untuk mandi air suci dengan menggunakan gayung berupa tempurung kelapa disertai dengan sebuah doa khusus.

Seusai mandi, Istri Sadiyo harus menggunakan pakaian serba bersih. Setelahnya, baru dijatuhkan dua butir kelapa gading bergambar Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri, di antara perut serta pakaian.

Mengapa demikian? Raja beralasan, agar kelak anak Sadiyo dan Satingkeb memiliki paras yang tampan atau cantik seperti gambar tersebut.

Tak sampai di situ, ritual dilanjutkan dengan sang wanita melilitkan daun tebu wulung di bagian perut yang selanjutnya dipotong dengan keris.

Sadiyo akhirnya melapor dengan Satingkeb. Perlahan-lahan, petuah dijalankan tanpa ada yang diabaikan. Akhirnya, berkat doa dan ritus itu, permintaan mereka akhirnya dikabulkan.

Dampak dari legenda itu, sampai sekarang, ritualnya menjadi pegangan wajib bagi masyarakat Jawa. Mitoni diyakini memiliki makna agar proses kelahiran tidak memiliki hambatan. Selain bayi selamat, orangtua menitipkan harapan agar kelak bisa melahirkan anak yang saleh serta berbudi baik.

Mengenai waktu pelaksanannya, Mitoni juga tidak bisa dilakukan dengan sembarangan menunjuk hari. Perlu ada permenungan dan hitungan yang matang. Istilahnya, tanggal bagus sesuai dengan perhitungan Jawa.

Hal ini dilakukan agar tidak ada halangan yang nanti akan menimpanya. Soal waktu pelaksaan, Mitoni dominan dilakukan saat siang atau sore hari.

Jika dilihat dari semua runtutan ritualnya, upacara ini memiliki makna yang sangat dalam, yakni pendidikan ternyata bukan hanya kelak ketika dewasa, melainkan sudah tertanam sejak anak masih di dalam rahim seorang ibu.

Hal ini termanifestasi dari sang ibu hamil yang dimandikan dengan panjatan doa-doa suci, supaya kelak diberikan rahmat serta berkah kepada sang buah hati supaya selamat dan senantiasa sehat.

Editor: Almaliki