Etnis.id - Di Kecamatan Pulau Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara. Selain tarian Soya-soya yang secara umum mengisahkan jejak heroik rakyat Ternate saat melawan Portugis, juga terdapat Tarian Cakalele yang kerap dikaitkan sebagai tarian perang.

Keduanya diartikan sama yaitu tari perang. Namun secara konteks, ternyata beda. tari Soya-soya dan Cakalele, dari alunan irama, ritme gerakan, serta makna yang terkandung di dalamnya, semuanya berbeda.

Pada umumnya Soya-soya dalam narasi sejarah, digunakan oleh rakyat Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah untuk menjemput jenazah ayahnya, Sultan Khairun, yang tewas dibunuh oleh Bangsa Portugis. Itu dikatakan Wawan Ilyas, Pegiat Perhimpunan Lingkar Arus Studi dan Pusat Studi Mahasiswa Ternate.

Sedangkan Cakalele dalam konteks tertentu, terisi satu instrumen metafisika. Tidak hanya bermakna simbolik semata. "Ada makna yang lebih dalam," kata pria asal Tomajiko, Kecamatan Pulau Hiri itu, kepada saya. Dalam sejarah dan perkembangannya, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di Pulau Hiri. Seperti halnya di tempat lain, di kepulauan Maluku dan sekitarnya.

Sementara Pemerhati Sejarah dan Budaya Ternate, Busranto Abdul Latief Doa, dalam artikelnya berjudul; "Cakalele, Hasa dan Salai Jin (mengenal jenis-jenis roh gaib yang dikenal masyarakat Ternate)," menyebut tradisi Cakalele sejatinya bermula dari Maluku Utara, lalu meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan, sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon dan Seram). Termasuk wilayah Semenanjung Sulawesi bagian Utara (Minahasa) dan sepanjang pantai timur Pulau Sulawesi.

"Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang diambil dari kosa kata bahasa Ternate," kata Busranto, seperti dikutip dalam laman websitenya, Serba-serbi Tradisi dan Budaya Ternate.

Sedangkan Budayawan Ternate, Abdul Hamid Hasan dalam bukunya, "Aroma Sejarah dan Budaya Ternate; (1999)”, mengurai bahwa Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri dari dua suku kata, yaitu "Caka" (setan/roh) dan "Lele" (mengamuk/mengalir). Hingga saat ini, masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat. Ada juga istilah lain untuk Caka, yaitu "Suwanggi."

Melihat itu, dalam pandangan Wawan, tradisi Cakalele di Pulau Hiri berkaitan dengan proses penciptaan manusia. Meski begitu, perlu dikaji lebih jauh lagi. Sebab jika Cakalele dilekatkan dalam tarian perang, bagi Wawan, harus didudukan pada konteks tertentu.

Kadang Cakalele di Pulau Hiri kerap dihadirkan sebagai instrumen pengobatan. Juga diniatkan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur ketika seseorang bernazar. "Istilah lokalnya 'fang niat' atau "bayar niat'. Ini yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Hiri," katanya.

Konon, jika sudah berniat, lantas tidak menjalankan ritual Cakalele tersebut, maka yang bersangkutan akan mengalami hal-hal tertentu. "Sesuatu yang mengganjal dalam hidup mereka. Seperti sakit dan lain-lain," katanya.

Seiring waktu, Cakalele kerap digunakan sebagai tarian penjemputan tamu. Namun, lagi-lagi menurut Wawan, ada pesan religius yang terkandung di dalamnya. "Karena cara masyarakat di Pulau Hiri memaknai tarian Cakalele dalam konteks keagamaan itu, juga disimbolkan dalam bentuk simbolisasi Cakalele," jelasnya.

Bercerita Asal Mula Penciptaan Manusia

Di Pulau Hiri, tari Cakalele disebut Hasa. Dalam tahapannya, terdapat dua sesi yakni Hasa Ici atau Cakalele Kecil dan Hasa Lamo atau Cakalele Besar. Hasa Ici dilakukan pagi hari atau tepat di waktu salat Duha. Sedangkan Hasa Lamo tepat pada waktu salat Zuhur. "Istilahnya wange suka alam atau (posisi) matahari tepat di atas ubun-ubun (kepala)," katanya.

Adapun peralatan yang digunakan dalam Cakalele ini yakni samarang (parang/pedang) dan salawaku (perisai kayu). Salawaku biasanya dihiasi dengan kerang bermotif angka atau simbol-simbol menurut kepercayaan tertentu. Tujuannya agar mempan menangkis serangan musuh.

Musik yang mengiringi Cakalele disebut "tepe-tepe" yang terdiri dari dua buah tifa, satu buah genderang, serta sebuah gong tembaga. Dalam atraksi, penari Cakalele seperti orang kerasukan dan haus akan peperangan.

Saat tarian berlangsung, mata penari terbelalak, mereka melompat dan berlari-larian seakan ada musuh yang hendak dihadapi, sembari berteriak mengeluarkan kalimat "Aulee… Aulee…", yang berarti "darah membanjir."

Menurut Busranto, kemungkinan kata aulee berasal dari gabungan dua kata, yaitu "au" yang berarti darah, dan "leo" yang berarti mengalir atau membanjir. Biasanya, apabila mereka mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib yang merasuki dirinya.

Dalam Cakalele, jika merujuk pada pendekatan konvensional, orang akan mengatakan bahwa ritual tersebut adalah perbuatan syirik. Karena perbuatan meminum darah ayam. Namun ada prinsip mendasar yang dipegang masyarakat setempat. Seperti ketika ayamnya disembelih dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan, maka hukumnya tidak haram.

Maka Tarian Cakalele atau Hasa, oleh masyarakat Hiri, dipandang bukan sekadar tarian perang atau penjemputan tamu, tetapi lebih pada aspek yang bermakna religius. Esensinya, cara mereka mengakui Islam dalam konteks kelokalan, juga tersirat dalam prosesi tarian Cakalele tersebut.

Dari sini, selain pada aspek sosiologis, terdapat praktik keagamaan dalam konteks kelokalan. Maka bagi masyarakat Maluku Utara, dalam memahami segala bentuk ritual keagamaan dalam konteks Islam, harus didudukan dalam sudut pandang kosmologi masyarakat setempat. Gunanya, agar ritus tidak serta-merta dilihat dalam aspek konvensional semata. "Jadi harus didudukan dalam konteks kosmologi, bagaimana konstruksnya dalam ritual Cakalele tersebut," ujar Busranto.

Dalam ritual, terdapat tiga pesan dan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, mengatur hubungan antara manusia dan manusia, manusia dan alam, serta manusia dan Tuhan. "Tiga makna ini tidak terlepas dari simbolik Cakalele," tambahnya.

Persoalan etimologi pada kalimat caka dan lele dalam simbolisasinya, bisa saja orang mengatakan bahwa itu adalah Suwanggi atau makhluk halus. Namun terlepas dari pemaknaan itu, kalimat tersebut hanyalah bahasa metafora. Sebab dalam pengertiannya, caka diasosiasikan sebagai sesuatu yang non-material. Dia tidak dapat dilihat dan dipegang. Supranatural. Begitu juga dengan lele. Secara etimologi, bisa saja disebut mengamuk atau darah mengalir.

"Tapi sekali lagi, ini adalah bahasa kiasan. Sesuatu yang metafora."

Karena lele dalam aspek lokal disebut 'sisabi' atau ‘mendekatkan’. Artinya, tarian Cakalele dalam pemahaman masyarakat Pulau Hiri, adalah cara mereka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Di sini ada pemahaman spiritual (pengakuan) atas keberadaan Tuhan. "Jadi bukan melanggar Islam secara konvensional, tetapi memaknai agama dalam konstruksi kosmologis," jelasnya.

Jika ini digiring pada filsafat metafisika, Rene Descartes dalam pemikirannya mencoba memilah antara ruang fisik dan ruang mental. Dia menganggap, sesuatu yang fisik tidak ada hubungannya dengan non-fisik. Dari cara berpikir dikotomis itu, berakibat pada sebuah anggapan, misalnya, kerusakan lingkungan hidup tidak ada hubungan dengan manusia.

Namun pemahaman ini bertentangan dengan cara berpikir kosmologi masyarakat di Pulau Hiri, yang masih menghargai aspek yang di mana sesuatu di luar dari alam materi, memiliki hubungan dengan kesadaran manusia.

Pertanyaannya, di mana korelasi antara Cakalele dengan manusia, alam, dan Tuhan? Jawabannya: Ada hubungan manusia dengan alam yang sangat penting dalam konstruksi kesadaran manusia. Hal ini dapat dilihat pada tamo. Seonggok nasi kuning yang dibentuk menyerupai gunung. Di ujungnya terdapat sebutir telur, yang kerap dihadirkan saat ritual Cakalele digelar.

Simbolnya menandakan bahwa sesuatu yang tinggi perlu dijunjung. Itu artinya sebuah bentuk pengakuan mereka atas hal yang supranatural. Dan jika dimaknai lebih dalam, terdapat hubungan dalam konstruksi penciptaan.

Selain itu, dalam Cakalele terdapat sebuah alat perangkat tarian yang dibuat dari bambu. Di mana ujung bambu yang sudah dibersihkan itu, dibuat bergaris-garis. Lalu diukir sedemikian rupa, lalu direpresentasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Di dalam bambu diisi 'Lahang' atau 'Saguer'--sebuah minuman tradisional--khas Maluku Utara yang berwarna putih. Ini disimbolkan sebagai air mani. Ketika para penari kerasukan, mereka spontan meminta diberi minum Lahang. Usai meneguk, ritme gerakan para penari pun berangsur mereda. Lemah.

Penari saat diminumkan Lahang

Menjaga Harkat dan Martabat Keluarga

Secara filosofis, penari yang meminta diminumkan Lahang memiliki makna asal-mula penciptaan. Ketika air mani keluar saat pasangan suami-istri melakukan hubungan badan, ini disimbolkan pada gerakan meminta diminumkan Lahang.

Dari situ, maka hubungan tersebut pun selesai yang ditandai dengan meredanya ritme gerakan tari. Tak lupa, hal itu diikuti dengan kalimat “Alhamdulillah”. "Ritual ini tumbuh dalam proses sosial dan keagamaan masyarakat Pulau Hiri," jelas Wawan.

Pemuda Kelurahan Dorari Isa, Kecamatan Pulau Hiri, Irwan Basri juga menjelaskan, terkait asal-mula Cakalele, di kalangan masyarakat Ternate, ada yang dikenal dengan istilah "Bubula Nyagimoi se Raange" atau Hukum 13.

Penjabarannya tertuang dalam simbolik Cakalele. Semisal pada angka 1 hingga 9 bersimbolkan usia kandungan seorang ibu. Lalu angka 3 terkait pembuahan yang sempurna pada pihak laki-laki. Dan angka 1 adalah hak Tuhan tentang ruh.

Dapat dilihat pula pada Tabako Paku, yaitu daun tembakau kering yang digulung dalam nasi kuning. Jumlahnya 9 buah. Sedangkan simbol harga diri dan rumah tangga, direpresentasikan pada alat tarian berupa salawaku dan samarang. Salawaku menyimbolkan ibu. Sedangkan samarang adalah ayah,” tutur jurnalis salah satu media daring di Maluku Utara ini.

Istilahnya, kata Irwan, 'salawaku palaka ata, samarang si lole-lole' yaitu, salawaku didekatkan di dada. Sedangkan Samarang atau pedang diliuk-liukan ke atas. "Jadi haknya seorang ibu adalah mengurus rumah tangga, berkewajiban melindungi anak. Sedangkan ayah menjaga kehormatan rumah tangga secara keseluruhan," jelasnya.

Editor: Almaliki