Etnis.id - Desa Duwet, salah satu desa di Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah memiliki kuliner yang khas yang digemari dari masyarakat kecil sampai kaum priyayi yaitu sego liwet (nasi liwet).

Nasi liwet merupakan nasi gurih yang dimasak dengan kelapa mirip nasi uduk. Ia terkenal dengan teksturnya yang pulen dan gurih. Rasa gurih tersebut muncul dari nasi yang dimasak dengan cara di-karu (dituangi) dengan air santan kelapa.

Disajikan dengan sayur labu siam yang diberi cabe utuh, suwiran ayam kampung, kumut (bumbu gurih dari santan yang dikentalkan) dan telur pindang. Terkadang dengan lauk-pauk seperti ampela ati, kepala ayam dan dada ayam. Dan disajikan dengan pincuk dari daun pisang.

Hidangan nasi liwet ini tidak dimasak untuk makanan setiap hari di rumah, namun hidangan ini akan kita jumpai di setiap rumah pada waktu malam Idul Fitri. Hidangan ini akan disajikan di rumah-rumah dan di setiap rumah akan memberikan nasi liwet ini ke sanak saudara sebagai bingkisan lebaran.

Hampir semua penduduk di Desa Duwet dan Menuran berjualan nasi liwet ini. Sehingga Desa Duwet dan Menuran terkenal dengan sentra olahan nasi liwet. Nasi liwet ini bisa kita nikmati untuk sarapan dan makan malam.

Nasi liwet biasanya dijajakan oleh ibu-ibu yang berkeliling ke desa-desa dengan menaiki sepeda onthel dengan membawa bronjong (keranjang) di samping kanan kiri sepeda. Pedagang ini bisa kita temui saat pagi. Semua untuk kita agar bisa sarapan nasi liwet.

Harganya bekisar antara tiga ribu hingga sepuluh ribu rupiah, tergantung permintaan pembeli. Jika kita ingin menikmati nasi liwet di malam hari, kita bisa menjumpai nasi liwet yang dijual di warung lesehan biasanya di emperan toko.

Hampir di setiap pojok Kota Solo, ada penjual nasi liwet. Pedagangnya dominan ibu-ibu dengan balutan kebaya dan kain batik. Mereka pandai nasi gurih tersebut. Dari kelezatan dan keunikannya, ternyata jualan itu punya sejarah.

Serat Centhini (1814-1823), menyebutkan ketika itu Pulau Jawa baru saja diguncang gempa bumi. Kemudian para penduduk mengadakan slametan. Ada nasi liwet dalam ritus slametan itu, untuk menolak bala supaya tidak terjadi gempa susulan. Kata liwet dihadirkan pula sebagai wujud doa keselamatan. Serupa mantra penolak bala. Dengan susunan kata: Liwet anget ulam kang nggajih/ wus lumajeng ngarsi/sadaya kemebul.

Ada pula sebuah cerita, konon Paku Buwana IX (1861-1893) memborong nasi liwet untuk para pengrawit keraton. Ketika hendak pulang, para penabuh gamelan keraton disediakan makanan nasi liwet. Para pengrawit diminta makan supaya istrinya nanti tidak repot menyiapkan sarapan (di rumah).

Kuliner nasi liwet setia bergerak menembus ruang dari zaman ke zaman. Seperti halnya sejarah batik Laweyan dan Kauman. Nasi liwet sanggup bertarung di tengah arus kuliner beraroma modern dan makanan cepat saji. Bahkan nasi liwet menerabas batas dan sekat-sekat sosial: kaya-miskin, pribumi-nonpribumi, karyawan kantoran hingga tukang becak dan seluruh elemen masyarakat.

Dari sepincuk nasi liwet ini kita bisa melihat luasnya imbas sosial-kultural kedekatan manusia Jawa dengan nasi, makanan pokok manusia Nusantara. Ekspresi budaya tersebut menanamkan bahwa urusan kuliner bukan hanya urusan perut, namun juga mengungkap nilai-nilai lain yang relevan dengan tindakan manusia dalam melakoni hidup dan kehidupan.

Merawat kuliner khas Nusantara seperti nasi liwet tanpa beralas piring dengan duduk lesehan sama sekali tidak melunturkan derajat dan harga diri kita sebagai sebuah bangsa. Justru dari sana kita bisa melihat betapa manusia memiliki daya kreativitas yang luar biasa.

Editor: Almaliki