Etnis.id - Esensi teknologi adalah hal apa saja yang memudahkan manusia beraktivitas. Namun tak jarang, teknologi juga memiliki beberapa imbas yang kurang baik utamanya untuk kesehatan manusia.

Berbicara teknologi tidak hanya berkait erat dengan gawai, alat transportasi atau mekanisme sistem perbankan. Teknologi juga hadir di dalam narasi kuliner nusantara. Salah satunya daun pisang.

Bagi masyarakat Jawa, penggunaan daun pisang sudah lama dilakukan. Daun pisang sering digunakan sebagai pembungkus makanan. Dari makanan yang biasa digunakan untuk lauk seperti pepes, bothok, garang asem, brongkos, hingga makanan kecil semacam nagasari, lemper, dan arem-arem, atawa nasi bakar. Dan beberapa varian menu lainnya.

Dari segi kesehatan, daun pisang memiliki beberapa manfaat. Antara lain, daun pisang merupakan sumber antioksidan yang cukup kuat untuk melawan radikal bebas dan membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Artinya, daun pisang sangat aman ketika digunakan sebagai pembungkus makanan yang cara memasaknya dengan cara dikukus atau dibakar. Karena masih bersifat alami. Terbukti, cara berpikir masyarakat Jawa cukup maju.

Tidak hanya mengolah makanan, tetapi juga menghitung berbagai kemungkinan yang bisa didapatkan dari selembar daun pisang misalnya. Yang tidak kalah mudah dijumpai adalah menggunakan daun pisang sebagai alas makanan.

Akhir-akhir ini muncul menu di beberapa resto yang menawarkan paket ‘bancakan’. Yaitu meletakkan makanan di atas daun pisang yang memanjang dan disantap beramai-ramai. Kebiasaan yang sebenarnya sudah melekat di masyakarat Jawa.

Anatomi daun pisang yang panjang memungkinkan menampung makanan yang banyak dan beragam sehingga sangat tepat jika dinikmati lebih dari sepuluh orang, dengan duduk saling berdekatan. Sehingga tidak hanya aktivitas makan saja yang terjadi, tetapi komunikasi juga terjalin dengan baik.

Makan menjadi bagian dari ritus-ritus keseharian masyarakat Jawa. Daun pisang juga cocok untuk dijadikan alas makanan yang berkuah yang pas dikonsumsi ketika panas, sebab daun pisang merupakan penyerap panas yang baik.

Tidak hanya sebagai alas makanan, inovasi teknologi dari daun pisang hadir di dalam keseharian orang Jawa saat menyantap makanan. Adalah suru, sebuah inovasi di bidang kuliner yang berupa alat makan yang terbuat dari daun pisang sepanjang 20 hingga 30 sentimeter yang kemudian dilipat menjadi dua bagian. Sederhananya, sendok yang terbuat dari daun pisang.

Suru hingga saat ini masih menjadi pilihan daripada sendok untuk beberapa menu. Seperti Sego Gandul di daerah Pati atau Sego Liwet dari wilayah Solo. Konon, menyantap makanan tersebut dengan suru memberikan sensasi tersendiri.

Bau yang muncul sedap dari daun pisang semakin memancing hasrat untuk segera melahapnya sampai tuntas. Beberapa pendapat menyatakan, kata suru diambil dari kata surungan yang berarti pendorong. Menjadi alat bantu mendorong makanan masuk ke mulut.

Jelas kalau suru serupa alat makan instan, sekali pakai dan ramah lingkungan. Sampahnya menjadi sampah organik yang sangat mudah diurai tanah. Di tengah maraknya isu lingkungan akibat penggunaan plastik dan steroform, ada baiknya kita sedikit melirik kembali pemanfaatan daun pisang yang sudah jauh di masa lampau akrab dan jamak digunakan oleh masyarakat Jawa.

Memang tidak semua makanan bisa dibungkus dengan daun pisang. Tidak semua menu makanan cocok dengan daun pisang. Namun setidaknya para leluhur kita
sudah memberikan sumbangsih yang cukup besar di bidang inovasi teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan pula. Imbas yang cukup baik mengingat kondisi Bumi tidak seperti dulu lagi.

Berbagai macam polusi termasuk polusi tanah akibat penggunaan limbah plastik, tidak bisa kita pandang sebelah mata. Kalau masih memungkingkan memanfaatkan daun pisang, kenapa tidak kita lakukan?

Hal lain yang perlu diingat bahwa leluhur kita selalu menyelipkan nilai-nilai di dalam produk budayanya. Salah satunya adalah nilai kesabaran. Kesabaran harus ada saat kita memutuskan untuk menggunakan daun pisang.

Daun pisang dipilih yang benar-benar sudah siap pakai. Tidak semua daun kita ambil. Yang sudah mengering atau yang sudah menjadi rumah bagi ulat yang sedang ‘bertapa’ tentu tidak bisa kita gunakan.

Jawa tidak selalu berbicara hal-hal mistis klenik yang selau berkaitan dengan setan alias hantu-hantu sebagaimana yang sering dinarasikan dalam film-film. Jawa juga memiliki visi dan misi di bidang teknologi.

Meski terkesan sederhana, suru memiliki nilai tersendiri. Nilai sebagai teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. Supaya generasi selanjutnya tidak hidup dengan kondisi alam yang kurang baik. Demikian.

Editor: Almaliki