Tak…Tak…Tak…

Begitu saya dan Sinta menuruni deretan tangga menuju jalan bawah Desa Pajam, suara alat tenun yang saling bertemu terdengar nyaring di suasana pagi desa ini. Di hari keempat liputan, saya dan Sinta sengaja mendatangi desa ini pagi-pagi sekali, berharap menemukan para ibu yang sedang menenun. Dari suara tersebut, kami tahu kami cukup beruntung pagi itu.

Kami sengaja memarkir motor di depan surau yang tengah dibangun, berhadapan langsung dengan tangga yang membawa kami ke halaman rumah Mul, seorang inisiator tenun sebagai komoditi Desa Pajam, bersama istrinya, Herlina, seorang pengrajin tenun sekaligus guru di pulau ini.

Ini kali ketiga saya bertemu dan bercerita bersama sepasang suami-istri ini. Sayangnya, saat hendak menyapa pagi itu, rumah mereka lengang tanpa jawaban. Oleh sebab itu, saya dan Sinta memutuskan untuk mengikuti sumber suara alat tenun yang terdengar memecah kesunyian pagi di Kampung Pajam. Kami berdua tiba di sebuah rumah panggung. Suara alat tenun itu berasal dari beranda lantai dua.

“Permisi,” Kami memberi salam dari arah bawah. Suara alat tenun tersebut berhenti lalu kepala seorang perempuan paruh baya mengintip di dekat tangga rumahnya.

“Iya?”

“Boleh kami liat-liat Ibu menenun?”

“Boleh-boleh, sini naik, Nak.”

Beliau mempersilakan kami naik ke beranda rumahnya. Mengenakan daster sederhana, beliau tengah menenun homoru, istilah tenun dalam bahasa lokal Kaledupa.

Orang-orang disini menyebutnya kae ni homoru. Kain yang beliau tenun berwarna putih dengan aksen dua garis abu-abu dan coklat, dinamai tenun Leja. Homoru dari Desa Pajam memiliki beragam motif tenun yang sebagian besar dinamai berdasarkan bentuk corak dan warnanya.

Sebagian besar tenun disini bercorak kotak-kotak atau berwarna polos dengan aksen-aksen kecil. Satu motif kotak dengan perpaduan warna hitam, putih, dan biru dinamai katamba gahu, motif sarung yang hanya digunakan oleh lelaki berdarah bangsawan.

Motif lain yang biasa diproduksi sebagian besar dinamai berdasarkan representasi warnanya, contohnya saja garao nihole, perpaduan warna putih, kuning, dengan sedikit oranye yang menyerupai warna telur goreng.

Beberapa motif yang sering digunakan wanita seperti motif leja yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan wanita, motif yang sempat saya saksikan proses penenunannya, serta kasopa tuju, dan kasopa ijo yang diperuntukkan bagi wanita dari kalangan biasa.

Beberapa hari sebelumnya saya juga bercerita banyak dengan Herlina, istri Pak Mul sekaligus salah satu penenun di desa ini. “Sebelum menenun, pertama-tama kita menentukan benangnya terlebih dahulu. Kita memakai tiga macam benang, yaitu benang ekstra, benang erlangga, dan paling halus masteres. Untuk satu sarung, tiga pak benang ekstra, sehingga wajar ketika harga sarung mahal sebab 16-17 gulung benang erlangga baru bisa menghasilkan satu sarung.”

Lebih lanjut, Herlina juga menjelaskan perihal makna strata yang melekat pada motif sarung ini. “Motif dan warna sarung atau kain Wakatobi sarat akan nilai sejarah. Seperti katamba gahu, perpaduan antara warna hitam, putih, dan biru. Sarung ini hanya digunakan oleh orang tertentu, contohnya turunan bangsawan, sehingga jika melihat warga laki-laki yang memakan sarung motif seperti ini di Kaledupa, maka orang tersebut pastilah dari kalangan bangsawan.”

“Ini beberapa motif sarung,” ujar beliau sembari mengeluarkan beberapa tumpukan sarung dari meja etalase kaca di ruang tamunya.“Kalau ini leja dan kasopa ijo. Motif-motif ini menjadi lambang tersendiri. Kasopa juku (kasopa tujuh warna) untuk orang-orang kalangan bawah, sementara leja untuk bangsawan dengan motif yang berbeda-beda. Sebagian besar pewarnaan alaminya menggunakan daun ketapang ditambah penguat kapur.”

“Motif sarung laki-laki menggunakan teknik ikat ganda. Selain itu, sarung laki-laki punya “kepala” atau motif khusus yang tidak dimiliki sarung perempuan.”

Sejarah tenun dari Desa Pajam

Desa tenun Pajam, Pulau Kaledupa/Nurul Mutmainnah Jamil

Tahun 2021 boleh dibilang tahun yang cukup membahagiakan. Perjalanan menyusuri Wakatobi ini merupakan salah satu liputan mendalam dari sebuah portal berita Bali yang bekerja sama dengan WWF Indonesia. “Tenun Pajam yang Tak Padam” menjadi luaran dari perjalanan menyusuri daerah yang penamaannya merupakan akronim dari Wangi- wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko ini.

Dari sini, saya belajar banyak hal tentang sejarah desa yang menjadi sentra produksi tenun atau homoru ini. La Ode Meti, salah seorang warga dari Kaledupa sedikit menceritakan tentang asal usul desa ini sewaktu kami bertemu di Wangi-wangi.

Dari penuturannya, Desa Pajam yang merupakan peleburan dari dua desa, yakni Palea dan Jamaraka, disingkat Pajam. Sekitar 30 tahunan yang lalu, Jamaraka termasuk bagian dari Desa Sandi, sementara Palea termasuk dalam Daerah Sampara. Tahun 1987 kedua bagian desa ini melebur menjadi satu, bahkan di tahun 2021 berdasarkan data dari BPS Kabupaten Wakatobi, desa ini menjadi salah satu desa tujuan wisata budaya.

Desa Pajam penghasil tenun di Wakatobi/Nurul Mutmainnah Jamil

Tenun merupakan warisan budaya yang telah mendarah daging dalam keseharian warga Pajam, bahkan jauh sebelum kampung ini terbentuk. Kampung yang berada di bagian pegunungan Kaledupa pada awalnya melakukan aktivitas tenun secara sendiri-sendiri. Setiap keluarga pada awalnya menenun untuk kepentingan pribadi saja, hingga pada 2016, tepatnya pada bulan November, Mul dibantu sebuah organisasi non-pemerintah membentuk kelompok tenun di desa ini.

Dari penuturan Mul, kelompok tenun pada awalnya terdiri dari dua kelompok, yakni Jalima di Palea dan Homoru Panglia di Jamaraka dengan keunikan tenun masing-masing. Sementara kelompok Homoru Panglia masih menenun dengan tenun biasa, kelompok Jalima berfokus pada peningkatan kualitas tenun dengan teknik ikat yang rumit.

Komunitas tenun memfasilitasi peningkatan aktivitas tenun sebagai salah satu potensi cultural tourism di Pajam. Komunitas sebagai wadah yang memayungi dan mengorganisir para penenun, memungkinkan tenun yang diproduksi menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dari kampung ini.

Saat mendapat pesanan, pihak pengelola akan melakukan pembagian kerja, sehingga tenun-tenun tersebut menjadi penghasilan para penenun dan meningkatkan manfaat ekonominya.

Selain itu, komunitas tenun juga berperan dalam peningkatan kreativitas anggotanya dalam menjawab tantangan pariwisata hari ini, salah satunya dengan diversifikasi produk tenun. Tak hanya memproduksi kain tenun, berkat berbagai pelatihan yang dilakukan, kini produk tenun Pajam semakin beragam. Syal, ikat kepala, tas dengan beragam model dan fungsi, serta aksesoris dari tenun lainnya.

Selain kelompok tenun, beberapa tahun belakangan, Mul juga membentuk kelompok remaja di desa ini. Kelompok remaja Desa Pajam menjadi wadah untuk memberdayakan remaja-remaja yang putus sekolah. Kegiatan kelompok ini beragam, di antaranya, pelestarian budaya seperti tari tradisional dan aktivitas pengelolaan barang bekas, seperti mengumpulkan sisa-sisa kain tenun dari penenun-penenun lalu diolah menjadi gantungan kunci ataupun gelang dengan menggunakan media gulungan benang jahit yang dibungkus dengan kain tenun lalu dijadikan gantungan kunci.

Perempuan dan Tenun Pajam

Berbeda dengan tenun ataupun kerajinan kain di beberapa daerah yang mulai menggunakan mesin konveksi untuk menekan harga jual dan menambah volume produksi, saat bertemu di Wangi-wangi, Hasyim selaku ketua kelompok tenun saat ini menolak bantuan mesin konveksi yang pernah masuk beberapa tahun lalu.

Alasannya, ia menilai bahwa aktivitas tenun tradisional merupakan sesuatu yang autentik dan menjadi pondasi kualitas tenun Pajam. Selain itu, berdasarkan pengamatan dan hasil berbincang dengan beberapa penenun perempuan di desa ini, saya menyadari bahwa tenun bukan sebatas penghasil pundi-pundi bagi rumah tangga mereka.

Tenun sebagai identitas budaya Pajam merupakan aktivitas yang sama akrabnya dengan memasak, merapikan rumah, ataupun mencuci pakaian bagi perempuan Pajam. Sejak kecil, anak perempuan sudah diajari menenun. Ketika tangan dan tenaga mereka dianggap belum mampu membuat tenun, anak-anak itu akan membantu proses penenunan atau kae ni homoru selain menenun seperti oluri atau perentangan benang sebelum ditenun. Proses ini memang cukup rumit, mengingat melakukan oluri memerlukan kerja sama minimal dua orang.

Pandemi yang mengakibatan keterlambatan pasokan benang dan penumpukkan stok tenun tidak menghentikan aktivitas menenun para perempuan Pajam, sebab menenun tidak dipandang sebagai pekerjaan yang berorientasi pada uang semata, melainkan aktivitas yang akrab dengan keseharian mereka.

Dulu, ketika listrik belum sampai ke kampung ini, para penenun hanya menenun sampai petang, sebelum matahari terbenam. Tetapi sekarang, suara alat tenun Pajam yang khas dapat didengar bahkan hingga malam hari.

Penyunting: Nadya Gadzali