Tepat pukul 4 sore (10/12), suasana riuh di pendopo Omah Budaya Bambang Oemoyo berganti khidmat. Pertemuan diawali senandung tembang macapat dhandhanggula yang dilantun lirih oleh Dalang Ki Sigit Adji Soegito.

Kronik perjalanan hidup manusia, cita-cita, dan harapan yang tersarikan dalam syair macapat menjadi pembuka diskusi bertajuk "Budaya Kini, Berkreasi tanpa Merusak Tradisi".

Hadir petang itu, presenter talkshow Andy F. Noya yang menggugah peserta diskusi dengan cara-cara tidak biasa. Ia berbagi kerisauan tentang minat generasi muda terhadap tradisi.

"Ayah, kenapa saya ada di tempat ini?", tanya putra pembawa acara Kick Andy pada suatu waktu, di sela-sela pagelaran wayang kulit. Pertanyaan semacam itu memang seringkali datang dari orang terdekat. Kita dibuat resah lantaran tak punya jawaban, sembari meneguhkan hati bahwa kegemaran menyimak wayang memang tak diturunkan lewat DNA, melainkan tumbuh dalam kebiasaan.

Senada dengan Andy, Bambang Wadoro mengusulkan adanya sekolah-sekolah berbasis budaya untuk memperkenalkan dan menumbuhkan minat sejak usia dini. "Sekolah berbasis agama sudah banyak, tetapi hanya sedikit yang memperkaya pendidikan nasional dengan nilai-nilai luhur budaya", sahut sang tokoh Teater Tubuh itu penuh semangat.

Forum Diskusi di pendopo Omah Budaya Bambang Oemoyo, "Budaya Kini, Berkreasi tanpa Merusak Tradisi"/Nadya Gadzali 

Persoalan yang sama terjadi pada pementasan teater I La Galigo. "Alur yang terlampau lambat membuat penonton satu per satu meninggalkan ruang pertunjukan," ujar Andy. Audiens tak tahan menyimak repertoar penciptaan dan peradaban Bugis itu hingga selesai.

Andai kita tahu, betapa sulitnya menghimpun kembali lembaran-lembaran sureq yang terserak agar perjalanan tokoh Sawerigading dapat dipentaskan, barangkali akan muncul sedikit pemakluman, bahwa merangkum karya sastra terpanjang—bahkan lebih panjang dari epos Mahabharata dan Ramayana—ke dalam pertunjukan 12 babak, bukanlah perkara mudah.

Fenomena yang teramati oleh Andy, suka tidak suka, memang terjadi di hari ini. Produk budaya pop Korea Selatan, drama maupun musik, digandrungi lantaran pengemasannya yang ringkas, modern, dan memanfaatkan kemajuan teknologi. Sedangkan adaptasi naskah-naskah kuno yang sarat muatan tradisi, agaknya masih mencari format dan pengemasan agar dapat diterima seluruh kalangan.

Hal itu menjadi tantangan dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur budaya pada generasi muda, tanpa mengubah keaslian atau menghilangkan arkaisme budaya seperti yang terdapat dalam gelaran festival Gandrung Sewu. Tak sekedar bangga, antusiasme masyarakat Banyuwangi telah berkembang menjadi dorongan partisipatif.

1000 penari dikerahkan, tak terkecuali usia kanak-kanak yang diikutsertakan dalam festival atas keinginannya sendiri. Pemantiknya adalah kemasan yang menarik, konfigurasi pertunjukan yang lebih nge-pop, serta adanya keterlibatan aktor, sutradara, sekaligus salah satu musikus Kuaetnika, Djaduk Ferianto (alm).

Pemetaan petilasan di kawasan lereng Gunung Slamet juga menjadi salah satu siasat merawat kearifan leluhur. Kewargian adat Lemah Wangi bersama komunitas Prakarsa Garba Mataram berharap budaya Banyumas mampu bertahan di tengah industri melalui pemanfaatan media sosial dan peningkatan literasi dalam bentuk quote budaya.

Sebab banyak peninggalan, salah satunya di situs megalitik yang terletak tak jauh dari kawah, terungkap adanya struktur dan tatanan pola-pola kehidupan masa lampau yang dapat disiarkan ke publik.

Soal peradaban kuno, menurut pindaian Bagus, salah satu penggerak Desa Wisata Ciptarasa, digitalisasi sangat dibutuhkan lantaran masyarakat terus berselancar dalam arus perkembangan zaman. "Indian dan Aborigin lenyap karena mempertahankan tradisi, sedangkan Korea Selatan mendunia karena budayanya didukung oleh aneka kebaruan", ungkapnya.

Fantasi akan figur publik Korea Selatan sedikitnya tergambar dalam penampilan Dalang Yakut Aghib Ganta Nuraidin. Ia terlibat dalam diskusi dan membuat budaya menjadi tema yang rileks untuk diperbincangkan. Sebagai dalang muda, dorongan reflektifnya berkata bahwa berkreasi tanpa merusak tradisi artinya tak melulu bicara soal pakem, "...ada yang tugasnya memang nguri-nguri tradisi, ada yang berinovasi, ada juga yang ciptakan pakem baru", tutur dalang yang akrab disapa Dalang Jedher itu.

Di masa mendatang, inovasi dan packaging akan menjadi kompas dan peta bagi kelangsungan budaya Banyumas. Sebagaimana disampaikan oleh Ida Widyastuti, praktisi meditasi pendiri Paguyuban Hening Sambung Rasa yang mengajak peserta diskusi untuk mencerap pengalaman sadar ke tataran yang lebih tinggi, menyambung rasa dengan leluhur yang telah mewariskan budaya adiluhung secara turun temurun sambil tetap mencari kesesuaian dengan karakteristik masyarakat kini.

Ia juga sempat melontarkan adagium bengi dadio dewo, awan dadio menungso dalam perbincangan selepas diskusi. Ungkapan itu terasa relevan dengan keseharian manusia modern yang tak dapat dipisahkan dari tren dan teknologi untuk bekerja dan bersosialisasi. Sebab keseimbangan, bagi Ida, adalah sebuah keniscayaan. Cakrawala kita akan terbatas jika memandang praktisi spiritual hanya pada persoalan mistis.

Orang-orang yang punya hubungan khusus dengan tradisi ibarat berada di atas perahu yang melaju. Tak apa mengikuti arus, asalkan tak hilang kendali. Sebab ada hal-hal yang terus berubah dan tak dapat ditentang. Tetapi untuk bertahan di tengah industri, tentu ada seninya sendiri.

Pertunjukan gamelan Ricik Banyumasan oleh keluarga besar mendiang Bambang Oemoyo/Nadya Gadzali

Pukul 7 malam, tiba giliran Virna Wurihandayani selaku ketua Jagabaya Nuswantara membuka acara peresmian Omah Budaya. Diawali dengan tabuhan gong secara simbolis oleh Wakil Bupati Banyumas, Sadewo Tri Lastiono, dilanjutkan dengan pertunjukan gamelan Ricik Banyumasan oleh keluarga besar Bambang Oemoyo, dan ditutup oleh pagelaran wayang kulit 3 generasi yang secara berurutan dibawakan oleh 3 dalang Banyumas: Mas Arka, Ki Panji, dan Ki Sigit.

Pagelaran wayang kulit 3 generasi terselenggara atas gagasan Suparmin Sunjoyo yang ketika itu masih menjabat sebagai Ketua Senawangi (Sekretariat Nasional Wayang Indonesia), kemudian direalisasikan oleh Grangsang Dessi Prakosa, salah satu pendiri Jagabaya Nuswantara sekaligus Direktur Radio Dian Swara sehubungan dengan Hari Wayang Nasional yang jatuh pada 7 November lalu.

Wayang, kata Virna, ajaran kehidupan yang dikemas dalam bentuk cerita, seluruh lakonnya selalu berpijak pada satu tujuan, yaitu membasmi perbuatan jahat dan angkara murka untuk menegakkan kebenaran.  

Pementasan wayang kulit dalam acara peresmian Omah Budaya Bambang Oemoyo/Nadya Gadzali

Serupa cawan lebur yang mempertemukan masyarakat dari berbagai daerah, Omah Budaya Bambang Oemoyo hadir sebagai salah satu perwujudan lakon wayang dalam konteks menyiarkan kebajikan dengan memberi pelayanan kepada masyarakat berupa wadah untuk belajar, berkarya, dan berjejaring dengan sesama tanpa membedakan latar belakang agama maupun etnis.

Di penghujung acara, Ida sempat menyatakan bahwa ia sangat mendukung diresmikannya Omah Budaya Bambang Oemoyo sebagai pusat kegiatan seni, budaya, dan spiritual bagi masyarakat Purwokerto, bahkan bagi masyarakat luas.

"Ini adalah langkah bijak dari putra putri mendiang untuk meneruskan visi-misi beliau semasa hidup. Semoga bisa menjadi jembatan antar-generasi serta dapat memantik semangat kawula muda dalam mempelajari ajaran leluhur Nusantara melalui berbagai kegiatan," pungkasnya.