Semarang dikenal dengan sebutan Kota Lumpia. Ada juga yang menyebutnya "Lunpia". Jajanan khas kota Semarang yang sudah melegenda, bahkan menjadi salah satu ikon kuliner kota Atlas. Lumpia yang biasa dieja dengan lun-pia, berasal dari pelafalan bahasa hokkian. Semacam rollade yang berisi rebung, telur, dan daging.
Namun siapa sangka, resep Lumpia yang lezat ini terlahir dari kisah cinta lelaki Tionghoa bernama Tjoa Thay Yoe dan Wasi, seorang perempuan Jawa. Keduanya adalah pedagang lumpia. Konon, asal muasal resep Lumpia Semarang adalah perpaduan resep lumpia khas Tionghoa dan lumpia khas Jawa yang mereka pasarkan. Kedua pedagang lumpia ini saling jatuh cinta, kemudian menikah. Tjoa dan Wasi akhirnya menciptakan resep baru yang kini kita kenal sebagai lumpia oleh-oleh khas Kota Semarang.
Karena kelezatannya, lumpia yang semula dikenal sebagai kuliner Tionghoa ini resmi diakui sebagai warisan budaya Nusantara Indonesia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2014 lalu.
Tampak di sepanjang jalan MT. Haryono atau yang dikenal dengan Jalan Mataram, warung-warung yang menyajikan kuliner lumpia. Begitu pula di sentra oleh-oleh Jalan Pandanaran, Jalan Gajah Mada, Jalan Pemuda, hingga pelosok-pelosok Kota Semarang.
Romansa di Balik Lumpia Semarang
Ada kisah romantis di balik sejarah terciptanya lumpia. Bermula dari kedatangan Tjoa Thay Yoe, seorang pedagang dari Provinsi Fu Kien, Tiongkok, yang datang ke Semarang berkisar tahun 1800-an.
Setibanya di Semarang, perantau ini kemudian membuka usaha dagang makanan khas Tiongkok, yakni sejenis martabak berisi rebung, dicampur dengan daging babi yang digulung dengan adonan rasa asin. Tak butuh waktu lama, dagangan Tjoa pun digemari masyarakat Semarang.
Usaha dagangnya ini diwarnai kisah persaingan, yakni dengan seorang perempuan Jawa bernama Wasi yang menjual makanan sejenis. Hanya saja, dagangan Wasi berisi daging ayam cincang, udang, dan telur dengan rasa manis kegemaran orang Jawa. Kendati bersaing, mereka tetap bersaing dengan sehat.
Seiring berjalannya waktu, keduanya bahkan menjadi sahabat dan saling bertukar resep. Mereka pun semakin dekat. Tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh di hati keduanya. Akhirnya, Tjoa dan Wasi memutuskan untuk menikah dan mengembangkan varian baru kudapan lumpia. Perpaduan antara lumpia Tionghoa dan Jawa yang kemudian menjadi cikal bakal lumpia khas Semarang.
Seiring dikenalnya resep baru ini, kemudian mereka menghilangkan semua bahan makanan yang dinilai haram dalam agama Islam, seperti daging babi dan minyak babi yang diganti dengan daging ayam dan udang.
Begitu pula dengan bumbu-bumbu. Jika semula lumpia Tjoa bercita rasa asin dan lumpia Wasi bercita rasa manis, maka resep varian lumpia baru memadukan rasa asin dan manis di dalamnya. Lumpia basah dan Lumpia goreng disajikan bersama selada dan saus khas Semarang yang kental, lengkap dengan daun bawang yang masih segar.
Kudapan lumpia Tjoa dan Wasi pun mulai dijajakan dan dikenal luas oleh masyarakat Semarang, yakni saat pelaksanaan pesta olahraga Games of the New Emerging Forces (GANEFO) yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1963.
Jangan khawatir soal cita rasa lumpia buatan Tjoa dan Wasi yang otentik, karena hingga saat ini, masih dapat ditemukan di Semarang. Bahkan, keturunan Tjoa dan Wasi membuka gerai yang menjual lumpia khas keluarga mereka, antara lain Lumpia Mbak Lien di Jalan Pemuda/Grajen dan Warung Lumpia di Gang Lombok.
Lumpia Generasi Ketiga
Konon, Warung Lunpia Gang Lombok 11 yang berada di kawasan Pecinan adalah pembuat Lumpia tertua di Semarang. Mencari warung lumpia Gang Lombok tidaklah sulit. Lokasinya bersebelahan dengan kelenteng tua Tay Kak Sie. Warung sederhana ini ialah warung penjaja Lumpia tertua di Semarang.
Uniknya, warung ini hanya menyajikan menu lumpia varian basah dan goreng, tak ada penganan lainnya. Hingga saat ini, warung lumpia Gang Lombok hanya melayani pembelian secara secara langsung, meski warung-warung lainnya sudah menggunakan pelantar digital untuk memasarkan produknya.
Konon, pemilik warung lumpia Gang Lombok adalah keturunan pembuat lumpia pertama di Semarang. Warung lumpia ini terletak di kawasan Pecinan, bersebelahan dengan klenteng tua Tay Kak Sie. Warung Lumpia tertua yang berada di antara penjual-penjual lumpia lainnya di Semarang.
Kelezatan Lumpia Gang Lombok sangatlah tersohor, baik di dalam maupun di luar kota Semarang. Kini, lumpia Gang Lombok dikelola oleh Purnomo Usodo alias Siem Swie Kiem, penerus generasi ketiga.
Menurut Purnomo Husodo, dari dua jenis lumpia yang ada, lumpia goreng paling digemari penikmat kuliner. Renyah di luar, namun gurih di dalam, membuat lumpia goreng menjadi kudapan yang istimewa. Meski begitu, lumpia basah juga tak kalah nikmat. Berisi campuran rebung, ebi atau udang, pihi, dan orak-arik telur. Dibungkus dengan kulit lumpia tanpa digoreng.
Lumpia Gang Lombok dikenal dengan ukuran yang lebih besar, serta isiannya yang lebih padat jika dibandingkan dengan lumpia pada umumnya. Lumpia yang berukuran besar, disajikan dalam keadaan sudah terpotong-potong agar lebih mudah disantap.
Dijamin, tidak ada bau amis rebung yang terasa pada gigitan pertama. Saus yang sedikit manis dan acar yang asam memberi sensasi segar, cocok untuk mengimbangi gurihnya lumpia. Boleh juga jika ingin menambahkan daun selada agar semakin lengkap. Aroma dan rasa khas bawang merah dari daun lengkio (ada juga yang menyebutnya bawang Batak) adalah elemen penting yang memperkaya cita rasa lumpia.
Sebagai pewaris generasi ketiga, Purnomo tetap menjaga keaslian rasa dan resep yang selama ini diwariskan kepadanya. Ia tidak mengotak-atik resep yang sudah turun-temurun itu. “Dari dulu resepnya, ya, seperti ini, nggak ada yang dikurangi atau ditambah. Sedangkan untuk harganya, Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) baik untuk lumpia goreng atau lumpia basah per buahnya,” ujar Purnomo belum lama ini.
Penyunting: Nadya Gadzali