Bagi masyarakat Jawa, makam bukan hanya sekedar peristirahatan terakhir, tetapi juga diibaratkan sebuah kompas dalam ikatan persaudaraan. Karena itulah orang-orang merawat dan menjaga makam-makam agar tidak hilang. Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk menjaga makam. Salah satunya adalah dengan menggelar sebuah tradisi yang bernama ruwahan, atau yang dikenal dengan istilah nyadran.

Tradisi ini bertujuan untuk mengirim doa kepada sanak saudara dan leluhur yang telah pulang ke alam keabadian. Sampai saat ini, masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang melestarikan tradisi ini. Namun, tradisi ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat lereng gunung Merapi boleh dikatakan paling unik.

Dikatakan demikian lantaran pelaksanaan ruwahan di sana dilaksanakan dengan meriah. Saking meriahnya, sampai-sampai kerap disebut bahwa tradisi ruwahan menjadi lebaran ketiga bagi masyarakat lereng Merapi.

Tradisi ini dihelat di area pemakaman desa. Sebelum mencapai puncak acara, masyarakat bahu-membahu membersihkan area pemakaman, dilanjutkan dengan melaksanakan tahlil, meliputi doa bersama.

Sesudahnya, warga melakukan silaturahmi dari satu rumah ke rumah lain, bercengkrama dan saling menanyakan kabar masing-masing. Uniknya, tradisi semacam ini hanya berlangsung satu hari saja. Sebab, keesokan harinya seluruh warga sudah beraktifitas normal sebagaimana biasanya. Tradisi berkunjung dari satu rumah ke rumah lain disebut dengan tradisi pajupat.

“Acara pajupat hanya berlangsung satu hari saja. Acaranya dimulai sejak pagi, sesudah mengirim doa dan membersihkan makam. Pajupat akan selesai jika semua tamu sudah pulang. Biasanya, pajupat selesai sekitar pukul 10 atau 11 malam. Saat itu, semua warga yang tinggal dan melaksanakan ruwahan akan saling mengungjungi. Tidak hanya warga sini saja yang ikut melakukan pajupat. Warga luar pun banyak yang datang ke sini,” ujar Fuad, salah seorang tokoh pemuda Tumang.

Ditambahkan oleh Fuad, bahwa pajupat dijadikan sarana untuk berinstropeksi diri. Sebab, banyak sedikitnya tamu yang datang ke rumah adalah tolok ukur bagaimana seseorang bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Banyaknya jumlah tamu yang berkunjung ke sebuah rumah, menandai bahwa sang tuan rumah adalah sosok yang pandai bersosialisasi. Sebaliknya, jika sebuah rumah hanya dikunjungi sedikit tamu, maka hal itu menjadi pertanda bahwa tuan rumah jarang berinteraksi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Acara ruwahan dilaksanakan untuk memohon ampunan bagi sanak saudara atau leluhur yang telah berpulang, sekaligus menjadi momen untuk memperbaiki hubungan dengan tetangga yang kemungkinan mengalami keretakan karena suatu hal.

“Selepas saling mengunjungi, diharapkan dapat kembali merekatkan kembali persaudaraan yang sempat renggang. Selain itu, acara ini dapat merekatkan kembali balung pisah dari keluarga segaris keturunan yang tinggal di wilayah lain,” tambahnya.

Tradisi ruwahan yang hampir sama juga dilaksanakan di wilayah Sumur, Musuk, Boyolali. Di tempat ini, acara ruwahan baru dimulai selepas salat zuhur atau sekitar pukul 1 siang. Saat acara berlangsung, kompleks pemakaman desa dipadati oleh ratusan warga. Mereka datang dengan berbagai jenis makanan. Sedangkan acara dimulai dengan pembacaan tahlil.

Selepas tahlil, acara dilanjutkan dengan doa bersama dan makan bersama. Setelah menghadiri acara, mereka pulang ke rumah masing-masing dan saling mengunjungi satu sama lain. Kedua acara ini dilangsungkan pada hari yang sama, yakni setiap tanggal 20 ruwah (sya’ban) setiap tahunnya.

Namun, belum ada catatan resmi yang menyatakan kapan acara ini diadakan untuk pertama kalinya. Sementara itu, tradisi ruwahan yang dilakukan di daerah Sumur memiliki keunikan tersendiri. Mereka yang berhak mengikuti tradisi ruwahan adalah ahli waris orang yang dimakamkan di desa tersebut.

“Untuk yang ikut dalam acara ruwahan di sini, ada sekitar tujuh dusun, yakni Sumur Kulon, Jambean, Magersari, Gondang, Semadeh, Badranrejo, dan Sumur Bandung. Ketujuh dusun inilah yang warganya melaksanakan ruwahan di pemakaman sumur kulon. Sedangkan warga yang berasal dari kampung lain namun termasuk ke dalam desa yang sama, melakukan ruwahan di pemakaman lain, jika sanak keluarganya yang meninggal dimakamkan di pemakaman lain,” jelas Mitro Supriyanto, salah seorang sesepuh desa.

Ia menambahkan bahwa acara semacam ini memang rutin diadakan oleh warga dan tidak pernah sekalipun ditinggalkan. Dalam kesempatan ini, yang dilakukan bukan saja berdoa dan silaturahmi, melainkan juga bermusyawarah untuk pembangunan atau perbaikan makam yang mengalami kerusakan. Di sisi lain, ruwahan yang ada di daerah Sumur ini juga hampir sama dengan ruwahan yang ada di daerah Tumang. Di setiap rumah warga, selalu tersedia sejumlah jajanan dan makanan yang disuguhkan bagi para tamu yang mengunjungi rumah mereka.

Jajanan dan makanan yang disuguhkan di setiap rumah warga yang menggelar tradisi ini, sedikit berbeda dengan jajanan dan makanan yang disuguhkan saat lebaran. Jika pada hari raya Idul Fitri jajanan dan makanan yang disuguhkan berumur panjang atau awet hingga beberapa hari, pada tradisi ruwahan justru berusia pendek, umumnya hanya bertahan satu hari saja. Tujuannya, agar sajian langsung habis dalam satu hari.

Penyunting: Nadya Gadzali