Etnis.id - Setiap kota memiliki identitasnya masing-masing, mulai dari lambang, sejarah, wisata hingga kulinernya. Kota Malang dapat dikenali dengan lambang singa, sejarah Prabu Brawijaya, wisata Jatim Park-nya dan kuliner-kuliner legendarisnya seperti ‘Sate Gebug’.
Makanan ini sudah ada sejak 1920 (masa pra-kemerdekaan). Dari namanya saja, sudah memberikan kesan unik dan khas (gebug berarti pukul). Jika pada umumnya proses pembuatan sate (kambing, sapi atau ayam) adalah dipotong, ditusuk-tusuk, kemudian dibakar. Maka ‘Sate Gebug’, yakni daging sapi yang hendak dibakar, harus dipukuli terlebih dahulu.
Beberapa hari yang lalu, saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kota Malang dalam rangka memberikan materi kepenulisan di salah satu Perguruan Tinggi di Malang dan menikmati sendunya hujan di kota yang dijuluki sebagai Kota Bunga ini.
Ada dua tempat yang kudatangi, salah satunya warung ‘Sate Gebug’ di Jalan Basuki Rahmad 113 A, Malang. Kali pertama sampai di depan warungnya, kesan pertama yang saya tangkap adalah klasik, artistik dan asyik.
Bangunannya tidak mewah dan besar, tetapi nyaman dan menenangkan. Sesuai dengan namanya yakni Sate Gebug sejak 1920, bangunannya masih bergaya
Belanda dengan paduan cat hijau dan kuning.
Seorang perempuan, entah siapa namanya, menyapa ketika saya memasuki area dalam warung. Ia langsung menwari saya sate gebug, sop, rawon dan soto. Dari perempuan inilah saya tahu banyak ihwal Sate Gebug.
Istilah gebug digunakan sebab daging sapi yang hendak dibakar, harus dipukuli terlebih dahulu. Ritus pemukulan daging sapi dilakukan agar mendapatkan kesan juicy pada dagingnya, sehingga empuk dan nyaman ketika dimakan.
Menurut perempuan yang kutemani bercerita itu, kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah tidak memiliki gigi tetap bisa mengonsumsi sate gebug karena saking empuknya. Ukuran sate gebug tiga kali lebih besar dari ukuran sate pada umumnya.
Sementara daging sapi yang digunakan haruslah kualitas super dan bagian yang diambil adalah tenderloin atau sirloin. Uniknya, setiap bahan yang digunakan harus diperhatikan kualitasnya. Alasannya, menurut Rusni Yati, istri dari mendiang Tjipto, yang merupakan pewaris resep turun-temurun sate gebug, ia tidak boleh menggunakan bahan-bahan dengan kualitas rendah.
Jika bahan dengan kualitas yang bagus tidak ditemui di pasar, maka lebih baik tidak berjualan dulu hingga bahan dengan kualitas bagus sudah tersedia. Mendiang Tjipto Sugiono pernah menyebutkan, bahwa niat berjualan tidak boleh hanya sekadar mencari laba atau keuntungan semata.
"Kata almarhum, lewat istrinya, berjualan adalah menyenangkan pelanggan dengan cara menyajikan sate gebug yang sehat dan tidak berlemak. Sesederhana itu," beber perempuan yang kutemani ngobrol tersebut.
Saat menggigit sate gebug, pertama kali yang kurasa adalah dagingnya yang empuk dan juicy. Dia tak sama dengan sate pada umumnya yang memakai saus kacang. Yang kurasa, adalah manis kecap, rasa rempah dan gurihnya kambing bakar itu. Benar-benar lezat di mulut.
Memang tak ada saus kacang, tetapi sungguh, posisinya terganti oleh kuah sop yang sudah mengairi nasi hangat di hadapanku saat itu. Ada juga kuah rawon dan soto. Tinggal pilih. Bayangkan saja, bagaimana garam yang pas serta penyedap rasa menguasai lidah. Saat itu, kuah dari asapnya masih mengepul. Nikmat betul.
Lebih dari itu, cara pengelolaan sate gebug yang tidak tanggung-tanggung mengajarkan penikmatnya untuk memaknai ujian kehidupan dengan bijaksana. Sate dengan rasa yang di atas standard dihasilkan dari pengelolaan yang khusus dan pemilihan bahan yang tidak sembarangan.
Begitu pula dengan perjalanan hidup. Ujian yang datang silih berganti (semacam daging sapi yang dipukuli) serta memperhatikan batasan antara baik dan buruk (sejenis dengan pemilihan bahan-bahan dasar sate gebug yang berkualitas) adalah proses menuju kebahagiaan dan keberhasilan.
Kebahagiaan dan kesuksesan tidak dapat diperoleh hanya dengan duduk manis dan tersenyum memandangi gerimis yang romantis, tetapi diperoleh dengan perjuangan dan kegigihan.
Perempuan itu, yang belakang kutahu sebagai pemilik Sate Gebuk, juga menuturkan bahwa tidak hanya resep sate saja yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi pelanggan sate gebug juga diwariskan secara turun-temurun.
Beberapa pelanggan sate gebug menyebutkan, bahwa mereka telah menjadi pelanggan setia sate gebug sejak kecil ketika diajak oleh orang tuanya. Satu di antara pelanggan terdapat, dulunya masih termasuk pejuang veteran.
Dulu, kata perempuan itu, seorang pejuang veteran datang. Ia ingin mengulang kembali kenangan perjuangan dengan warung sate gebug. Ketika memasuki warung, ia tidak langsung memesan menu makanan. Ia malah duduk takzim menatap setiap sudut warung, memejamkan mata.
"Selang beberapa saat, barulah pelanggan tersebut memesan menu makanan dan bercerita tentang masa-masa penjajahan dan masa-masa kemerdekaan."
Pemantik ingatan kenangan dari warung sate gebug ini adalah struktur bangunan warung yang masih mempertahankan wujud aslinya. Jika memasuki bagian dalam warung, maka akan ditemui sebuah bangunan kokoh khas Belanda yang pada mulanya merupakan bangunan agen es zaman Belanda.
Pada tahun 1920, gedung ini sudah disewa oleh Mbah Naserin (generasi pertama sekaligus pembuat resep turun-temurun sate gebug), kemudian selang beberapa tahun, dibeli oleh Mbah Naserin. Kini, bangunan Sate Gebug telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang sebagai bangunan cagar budaya dan hanya tersisa tiga bangunan sejenis di kota Malang.
Kini, warung tersebut telah dilengkapi dengan sebuah serambi untuk memberikan kenyamanan pada pelanggan ketika menyantap makanan. Memang benar, makanan bukan sekadar suatu hal yang dinikmati kelezatannya, tapi makanan adalah penanda perubahan zaman sekaligus pengingat atas masa yang telah lewat.
Sate Gebug adalah satu di antara makanan legendaris yang menjadi saksi bisu perjalanan Kota Malang sejak tahun 1920, hingga kini. warga Kota Malang patut bangga terhadap sate gebug karena telah menjadi makanan bersejarah sekaligus menjadi identitas Kota Malang.
Semoga generasi penerus selanjutnya mampu mempertahankan kuliner sate gebug tanpa mengurangi kualitas cita rasanya dan suasana nostalgia zaman Belanda.
Editor: Almaliki