Etnis.id - Saya sibuk mencari alternatif warung makan yang menjual mi lethek sekitar pusat kota Yogyakarta. Hampir semua warung buka mulai sore hari. Sedangkan saat itu jam masih menunjukkan pukul 10.00 dan kereta saya ke Jakarta akan berangkat pukul 14.00 siang.

Sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda menjajal kuliner khas kota pelajar selain saat itu. Dengan sedikit ragu akan rasa dan jam buka, saya mengetik sebuah tujuan di ojek online dan meluncur ke daerah Jagalan.

Harap cemas, semoga tidak tutup seperti warung sebelumnya yang sudah saya datangi. “Di sini pak,” kata saya ke pengemudi ojek sesaat setelah melihat sebuah angkringan dengan spanduk besar bertuliskan “MI LETHEK JAGALAN” di depannya.

Gerobak Mi Lethek/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Ragu-ragu, saya masuk ke tenda yang tak seberapa besar. Tempatnya berupa angkringan yang disesaki gerobak dan kursi panjang. Nasi kucing jadi pemandangan utama berdampingan dengan mi lethek yang berada di balik sekat kaca.

Tanpa buang waktu, saya langsung pesan seporsi mi lethek rebus. Sembari menunggu mi lethek dimasak, saya berbincang banyak dengan Anas, perempuan asal Imogiri yang sudah berjualan selama sekitar 9 tahun. Katanya, ia tak pernah terpikir jual mi lethek. Semua bermula dari kegemarannya makan mi lethek di daerah asal, lalu iseng coba buat sendiri di rumah dan menurut banyak rekan, rasanya lezat.

Yo dah, kamu kenapa nggak jualan mi lethek saja to?” kata Anas menirukan ucapan teman-temannya dulu.

Anas saat menuangkan mi lethek/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Alhasil, kini angkringannya tak hanya menjajakan nasi kucing saat pagi, tapi juga mi lethek sampai sekitar pukul 8 malam. Selama buka seharian, Anas bisa menghabiskan 1.5 kg mi lethek yang ia beli di Pasar Beringharjo.

Mi lethek yang masih mentah itu diolah dan menjadi 25 porsi untuk pelanggan. Memang tak begitu banyak, katanya. Sebab, mi letheknya sendiri kian sulit didapat. Mereka yang menikmati mi lethek kebanyakan orang tua, nyaris tidak ada anak muda.

Mi keruh dengan bantuan tenaga sapi

Semangkok mi lethek panas kini tersaji di hadapan saya. Begitu penuh dalam mangkok putih beralas piring oranye kecil. Perawakannya cukup menarik seperti mi rebus lain.

Mi lethek yang bening keruh berada di balik potongan kol, wortel dan telur serta ayam. Di atasnya ditaburi bawang goreng bersama acar berupa timun. Kuahnya tak begitu kental punya cita rasa gurih–seperti mi godhok umumnya. Biar semakin lezat, saya ambil beberapa cabai rawit dan mencampurnya ke mi lethek.

“Keasinan nggak, Mbak?”

“Nggak kok, Mbak,” jawab saya mantap.

Anas pedagang Mi Lethek Jagalan/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Ia melanjutkan, kadang memang ada orang yang nggak begitu suka gurih. Jadi, ia akan selalu memastikan rasa mi lethek buatannya setelah disuap sang pembeli. Walau saat masak, saya curi pandang, ia juga sempat mencicip masakannya dengan sendok.

Mi lethek punya tekstur mirip sohun setelah dimasak. Begitu pun rasanya. Bedanya adalah warna mi lethek lebih keruh terkesan kotor dan punya ketebalan sedikit lebih besar dibanding sohun.

Mi lethek yang mirip sohun/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Soal rasa kuah, saya rasa makanan ini punya bumbu standar serupa tapi tak sama dengan mi godhok lain. Tak jauh-jauh dari bawang putih, merica, kemiri, kaldu bubuk dan garam.

Nama “lethek” sendiri punya arti “kotor”. Sebutan itu merujuk pada warnanya keruh cenderung cokelat yang berasal dari bahan baku berupa singkong. Kalau dibanding mi lain, mi lethek terkesan kurang menarik.

Tidak putih bersih sebenarnya menyiratkan kalau ia bebas zat pewarna dan pengawet buatan. Meski begitu, mi ini disinyalir bisa awet disimpan sampai berbulan-bulan.

“Warnanya memang keruh gitu, Mbak. Tapi bagus buat diet loh,” kata Anas.

Anas saat mencicip mi letheknya/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Saya tersenyum dan melanjutkan makan. Menyantap mi lethek siang itu di Jagalan bikin saya ingat perjalanan pencarian mi lethek Juni lalu. Bermodal hasil tontonan serial Netflix berjudul Street Food edisi Asia yang mengulas mi lethek, Google Maps dan tanya sana-sini, saya berangkat ke Srandakan, Bantul.

Niat saya saat itu ingin mengunjungi Pabrik Mi Lethek Cap Garuda yang masih menggunakan tenaga sapi dalam pembuatan mi lethek. Usut punya usut, sekarang pabrik-pabrik mi lethek sudah lebih modern dibanding sebelumnya. Mereka kejar efektifitas dan efisiensi produksi.

Sekarang tersisa Pabrik Mi Lethek Cap Garuda yang masih bertahan dengan peralatan tradisional turun temurun. Sayangnya, penelusuran saya jauh ke Bantul itu tidak berbuah manis.

Saya gagal melihat langsung adegan-adegan yang sebelumnya saya tonton di Street Food: Sapi berjalan memutari “blender” dengan kayu di punggung; pekerja yang bermandi keringat menata mi dalam wadah khas dan pengolahan tepung menjadi mi dengan mesin press khusus.

Pun mendengar kisah langsung dari si pemilik pabrik soal pembuatan mi lethek hampir tujuh dekade lalu dari sang kakek keturunan Yaman. Sampai saat ini saya masih diam-diam menaruh harap, suatu ketika akan bisa main langsung ke pabrik mi lethek yang masih tradisional. Melihat tiap tahap pembuatan mi lethek berupa nyelender, ngebi dan lainnya.

Semoga usaha mereka tidak mandeg dan berakhir tutup seperti yang sempat terjadi bertahun-tahun lalu.

Editor: Almaliki