Etnis.id - Di beberapa daerah, kita mengenal ragam makanan khas. Ada yang masih diolah dengan cara-cara tradisional. Bukannya belum tersentuh cara-cara modern, tetapi itulah petunjuk leluhur yang diwariskan turun-temurun.

Di antara makanan khas itu, ada rampu. Makanan ini bisa didapatkan di masyarakat Kulisusu, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Tapi, hanya ada beberapa desa yang menyajikan makanan jenis ini. Itupun, kini hanya bisa didapatkan pada tradisi Perampu’a.

Perampu'a merupakan sejenis pesta rakyat yang digelar tiap tahun. Oleh masyarakat Kulisusu, acara tersebut lebih diakrabi dengan sebutan pesta panen. Pasalnya, penyebutan pesta panen ini dipersamai hampir semua desa. Padahal, tidak semua menghidangkan rampu. Jadi harus dibedakan. Barangkali dengan penyebutan yang benar terkait tradisi yang digelar, bisa dijadikan sebagai pengingat utuhnya
tradisi.

Tradisi harus dijaga, salah satunya perlu penyebutan yang benar soal nama tradisi yang dimaksud. Sudah banyak pergeseran-pergeseran budaya yang terjadi karena kekeliruan kecil. Ada sebagian tradisi yang tak lagi sesuai warisan leluhur.

Umumnya, Perampu’a hanya dilakukan masyarakat perkampungan pesisir laut atau dekat dengan laut. Seperti Linsowu, Kulisusu bagian selatan, Banu-banua Jaya dan Koepisino. Koepisino pernah saya kunjungi, di Kecamatan Bonegunu, pada November 2018 lalu. Saat itu, tengah digelar tradisi Perampu’a.

Hasil percakapan saya dengan masyarakat setempat, ternyata rampu memiliki makna tertentu.  Ini bertautan dengan keyakinan masyarakat yakni manifestasi dari sebentuk rasa kesyukuran terhadap kelimpahan alam semesta. Sebab rezeki dan karunia Tuhan harus disyukuri. Rasa itu digenapi dengan tradisi perampu’a.

Menurut keyakinan masyarakat setempat, rampu harus diolah dengan cara-cara  tradisional. Ini telah dilakukan turun temurun. Sudah jadi ketetapan, tidak boleh diubah. Pantang dilakukan sembarangan. Bahkan ada akibatnya bila diingkari.

Misal, pada proses pembakaran. Sebenarnya bisa saja dilakukan dengan cara-cara yang instan. Entah lewat microwave atau peralatan modern lainnya. Tentu saja memudahkan. Tidak perlu prediksi soal rampu telah matang atau belum. Tapi inilah adat yang harus dipatuhi.

Di samping itu, prosesi pembakaran harus terlebih dahulu dimulai tetua kampung dan atas petunjuk-petunjuk adat. Bila tidak, bakal ada balaa (kutukan) yang menimpa kampung. Entah ada yang meninggal secara massal, wabah penyakit dan bencana. Balaa ini sama halnya bila Perampu’a tidak digelar. Olehnya, Perampu'a harus dilakukan tiap tahun.

Proses olahan dan penyajian

Rampu terbuat dari olahan ubi-ubian. Biasanya dari jenis ketela dan singkong. Bahan ini diparut, lalu dicampur dengan kelapa parut dan bawang merah. Lalu diaduk-aduk dalam baskom, agar semua bahan benar-benar menyatu.

Ketika semua bahan-bahan berpadu, barulah dibungkus dengan daun pisang. Usai dibungkus, siap dimatangkan. Prosesnya bukan dimasak atau dikukus, melainkan dimatangkan dari bara tumpukan batu. Proses pematangan dengan cara dibakar. Pembakaran dilakukan di lapangan terbuka.

Sebelumnya, telah dibuat galian tanah yang digunakan sebagai wadah pembakaran. Lebar galian tergantung dari jumlah rampu yang hendak dimatangkan. Semakin banyak, tentu makin lebar pula galian tanah tersebut. Untuk kedalaman galian sekitar 20 sentimeter.

Sebelum rampu dimatangkan, lubang galian terlebih dahulu diletakkan tumpukan kayu dan batu-batu di atasnya. Umumnya batu ini merupakan batu pilihan. Yakni batu-batu berbahan keras, agar tak mudah lepuh kala dijadikan bara.

Tumpukan kayu dibakar sampai habis, yang tersisa hanya bara dari batu-batu yang dikumpulkan tadi. Untuk menghasilkan bara, butuh waktu sekisar setengah hingga satu jam.

Batu-batu itu harus benar-benar dipastikan telah menjadi bara. Sebab, inilah dasar pembakaran rampu. Ketika semua telah jadi bara, lubang galian segera dikosongkan. Bara batu dikeluarkan dan dikumpul di atas permukaan tanah. Lalu bungkusan-bungkusan daun pisang dimasukkan ke dalam galian. Tiap bungkusan ditindis bara. Harus apik dan tersusun baik, agar panas bara benar-benar menyerap ke dalam tiap bungkusan.

Usai ditindis, dimasukkan lagi batu-batu bara lainnya ke atasnya. Lalu ditutup menggunakan daun pisang. Di atas daun pisang, ditindis lagi dengan potongan-potongan kayu. Setelahnya, barulah ditimbun tanah.

Proses ini tentu saja rumit. Perlu prediksi yang akurat. Rampu harus dipastikan kematangannya. Bila salah prediksi, bisa saja hangus hingga kurang enak disantap. Atau bisa saja belum matang sama sekali.

Ketika rampu dipastikan telah matang, barulah tumpukan dibongkar. Ketika itulah aroma rampu menyembul. Wangi dan mengundang selera. Ya, rasanya juga memang nikmat kok.

Rampu itu, yang telah matang, ditaruh dalam wadah yang disiapkan. Bila tak lagi panas, disajikan dalam dulang. Untuk selanjutnya, dulang ini diantarkan pada lapangan yang sudah disiapkan sebagai arena perampu’a. Di sana, sudah banyak sekali dulang terkumpul.

Dulang adalah nampan yang biasanya berbibir pada tepinya dan berkaki, dibuat dari kayu. Yang digunakan pada pesta rakyat, berukuran tinggi dan besar. Cukup digunakan untuk menampung berbagai sajian.

Siapa pun bisa berkunjung di tradisi Perampu’a. Tak hanya masyarakat desa setempat, ada juga tamu undangan yang hadir. Baik unsur pemerintah, maupun masyarakat luar desa bisa berkunjung. Agar acara tertib berlangsung, telah dibentuk panitia.

Sebelum sajian dinikmati, masih ada rangkaian acara lainnya. Baik berupa sambutan-sambutan maupun tarian tertentu yang diperagakan. Sajian baru bisa dinikmati usai upacara lebe/haroa atau pembacaan doa oleh tetua kampung. Setelah tetua berdoa, penutup dulang dibuka. Olahan kuliner yang tersedia siap disantap.

Selain menikmati ragam olahan kuliner di Perampu’a, juga dirangkaikan hiburan malam. Biasanya diiringi musik elekton. Banyak muda-mudi yang ikut bergoyang ria, mulai lulo modern hingga joget.

Sayangnya, rampu tak lagi dipasarkan. Kemungkinan disebabkan proses pengolahan yang rumit. Padahal dulu untuk menikmati makanan olahan ini, bisa dibeli di pasar. Penelusuran saya ke sejumlah pasar di Buton Utara, tak satu pun rampu ditemukan. Sepertinya, kini hanya bisa dinikmati di acara Perampu’a. Maka, siapapun yang tertarik menikmatinya, berkunjunglah di perayaan tradisi!

Editor: Almaliki