Etnis.id - Lumpur yang kerap diidentikkan dengan sesuatu yang kotor ini ternyata memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Jawa. Tepatnya di Desa Sendang, Semarang. Lumpur menjadi salah elemen yang digunakan untuk melaksanakan tradisi Popokan.

Popokan adalah tradisi yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan, karena masih diberikan keselamatan hidup sampai sekarang. Secara garis besar, ritual ini dibagi dalam empat bagian. Pertama, bersih sendang atau mata air.

Para laki-laki dewasa akan hadir dengan membawa peralatan sederhana untuk membersihkan dedaunan serta rerumputan yang mengotori sumber mata air tersebut. Ritual ini dilakukan pada Kamis sore sekisar jam 13.00 hingga jam 16.00 WIB. Tepat satu hari sebelum tradiis Popokan dilakukan.

Sendang memiliki fungsi yang sangat vital. Hampir sebagian masyarakat menggunakan air sendang untuk memenuhi kebutuhannya seperti mandi sepulang dari sawah. Selain itu, sendang juga digunakan sebagai tempat mencuci pakaian.

Masyarakat berkeyakinan jika air merupakan sumber kehidupan. Untuk itu, maka perlu dijaga. Saat sumber air bersih, maka akan terhindar dari kotoran dan marabahaya. Selanjutnya, masyarakat akan melakukan tumpengan.

Sebuah nasi yang berbentuk gunungan hadir untuk melengkapi tradisi Popokan. Terdapat lauk pauk khusus yang digunakan sebagai pelengkap. Klubanan, rebusan sayur mayur yang sudah dicampur dengan sambal kelapa menjadi pelengkap wajib dalam nasi tumpeng.

Bayam, kluwih, kacang pacang, daun sawi, daun singkong dan kecambah yang diletakkan di atasnya, semakin membuat tumpeng semakin menarik. Selain itu, nasi tumpeng juga dilengkapi dengan ikan pethek, telur rebus, tahu tempe dan juga daging ayam.

Semua keluarga yang tinggal di Dusun Sendang, membuat nasi tumpeng. Ritual tumpengan akan dilaksanakan di rumah modin atau pemuka agama. Saat itu, bapak-bapak akan datang dengan membawa nasi tumpeng dari rumah. Mereka duduk berjajar dan berhadap-hadapan.

Lalu nasi tumpeng akan diletakkan di tengah-tengah mereka. Setelah dirasa lengkap, modin akan membacakan doa. Seusai berdoa, semua warga makan nasi tumpeng secara bersamaan. Setelah itu, masyarakat melakukan kirab. Sajian kesenian mewarnai kirab.

Satu hal yang cukup menyita perhatian yaitu keberadaan boneka macan yang di dalamnya berisikan orang. Di samping itu, warga juga mengarak nasi tumpeng lengkap dengan ingkung, ikan wader, udang dan juga belut. Semua itu merupakan hasil tangkapan warga di sungai dan juga sawah mereka.

Sesampainya di balai desa, modin akan membacakan doa lagi batas nasi tumpeng yang di arak tersebut. Setelahnya, tumpeng akan dihidangkan di tengah-tengah balai desa. Semua warga akan berebut untuk bisa menikmatinya.

Yang terakhhir, Popokan atau perang lumpur. Ini merupakan puncak acaranya. Perang lumpur berlangsung sangat meriah. Hampir semua warga mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua turut andil dalam perang lumpur.

Tradisi ini tidak serta-merta dilakukan bergitu saja, ada peraturan unik yang harus ditaati.  Semua peserta tidak boleh emosi ketika terkena lemparan lumpur dari peserta lainnya. Bahkan, penonton yang menyaksikan juga tidak diperkanankan marah apabila terkena lemparan lumpur. Mereka meyakini, semakin banyak lumpur yang mengenai badannya, semakin banyak juga berkah yang kelak didapatkannya.

Lumpur memiliki makna tersendiri. Dari perspektif historis, tradisi ini berawal ketika munculnya seekor harimau yang merusak tanaman warga Desa Sendang serta mengancam warga desa. Warga Desa Sendang berusaha mengusir binatang buas tersebut dengan menggunakan senjata, namun nihil hasilnya.

Hingga suatu ketika, sesepuh Desa Sendang menyaranakan untuk tidak mengusir dengan menggunakan kekerasan, namun usirlah dengan lumpur sawah. Benar. Atas petuah tersebut, harimau tersebut pergi dari Desa Sendang. Alhasil, lempar lumpur ini masih dilakukan sampai sekarang.

Piranti popokan juga menyimpan berbagai makna simbol. Nasi tumpeng berbentuk kerucut pada puncaknya ini memiliki makna, jika tujuan semua mahkluk hidup adalah menuju ke Sang Pencipta. Posisi manusia berada di bawahnya. Pada bagian paling bawah, akan dijumpai pelbagai daging baik dari ikan, sapi serta aneka lauk pauk lainnya. Hal ini merupakan lambang jika tumbuhan serta hewan berada di bawah manusia.

Nasi Tumpeng yang dibuat dengan bentuk tertentu tersebut melambangkan harmonisasi kehidupan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan hewan dan tumbuhan serta manusia dengan sesamanya. Selanjutnya klubanan. Kumpulan lauk pauk ini melambangkan variasai rasa dalam kehidupan. Saat manusia bisa menikmati berbagai variasai rasa yang ada, tentu akan memberikan kenikmatan hidup tersendiri.

Ingkung juga tidak alpa dari simbol tertentu. Ingkung merupakan kelanjutan dari nasi tumpengan serta klubanan. Hakikatnya, ingkung memiliki makna kesucian dan fitrah, layaknya ayam ingkung yang hadir telanjang tanpa bulu. Ini merupakan tujuan akhir dari kehidupan. Mencapai kesucian setelah menjalani kehidupan dengan rasa serasi dan juga harmonis.

Dengan demikian, maka popokan ini menyimpan pelbagai makna. Pertama, popokan merupakan ungkapan masyarakat untuk menerima realitas kehidupan lengkap dengan berbagai rasanya. Kedua, popokan merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan nikmat dan berkah dalam hidup.

Bentuk syukur tersebut terekspresikan melalui berbagai prosesi di dalam tradisi popokan. Dimulai dari bersih sendang, kirab, tumpengan dan popokan itu sendiri. Selain itu, mereka juga bersyukur karena terjauhkan dari segala marabahaya yang mengancamnya atau menghilangkan kejahatan melalui cara yang santun, tanpa kekerasan.

Editor: Almaliki