Etnis.id - Beberapa waktu lalu, masyarakat pecinta seni di Solo dan sekitarnya dikagetkan dengan berita pesinden dari Sragen, yang harus rela meninggalkan rumahnya, digusur karena terlilit hutang.

Berhutang adalah sebuah pilihan untuk bertahan hidup. Hanya saja kisah tentang pesinden tua itu kemudian berkembang tidak hanya sebatas ironi tentang kehilangan rumah, namun bagaimana riskan dan rentannya profesi yang disandangnya (sebagai seorang pesinden) untuk digunakan sebagai sebuah pegangan dan laku hidup.

Sudah sejak lama, di pelbagai kesempatan, baik dalam kelas –Jurusan Karawitan--yang saya ampu di kampus maupun di forum-forum diskusi, saya menekankan bahwa pengrawit (musisi gamelan, termasuk pesinden) di Jawa adalah sebuah profesi yang sangat “riskan”.

Bermain gamelan senantiasa menuntut dan mengandalkan kemampuan fisik. Saya sering memberikan ilustasi, bagaimana jadinya jika para pesinden itu menjadi tua alias tak lagi cantik, dan seorang pengendang dan pengrebab tangannya terkilir, apa yang harus mereka perbuat?

Bukankah dengan seketika mereka akan kehilangan mata pencaharian? Ke mana pengrawit harus mengadu saat ia dibayar murah oleh seorang dalang? Ke mana mereka harus meratap saat rumahnya digusur karena tak mampu membayar hutang? Makanya, sebagai sebuah profesi, pengrawit idealnya dinaungi oleh sebuah lembaga advokasi atau asosiasi kesenimanan.

Sebatas jargon

Kita seringkali melihat kampanye atau seruan menjaga tradisi dengan
jargon-jargon bombastis. Gamelan pun digaung-gaungkan sebagai musik tradisi yang mendunia. Dengan jemawa, pelbagai lomba dan festival gamelan digelar.

Bahkan pada sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta nasional, seorang penyiar mencoba memainkan instrumen saron sambil duduk jongkok. Tangan kanannya memukul bilah-bilah nada sekenanya, tangan kirinya memegang microphone. Kata-kata yang diungkapkannya berusaha menggugah hati: kita wajib melestarikan gamelan, jika bukan kita, terus siapa lagi.

Begitulah isi pesannya, walaupun tak sebanding dengan perilakunya dalam memainkan gamelan (duduk jongkok dan memukul tanpa aturan).
Kisah tentang kemlaratan hidup pengrawit, kemudian berbanding terbalik dengan jargon-jargon politis yang terkesan bijaksana dan memukau itu.

Laku hidup yang dihadapi pengrawit di Jawa, menjadi rentetan panjang tentang problematika kehidupan musisi-seniman tradisi kita. Menjadi musisi dan seniman adalah pilihan yang mulia, walaupun pilihan itu seringkali tak diimbangi dengan kalkulasi pamrih materi. Bergamelan konon adalah keiklasan menziarahkan diri dengan kesederhanaan.

Namun, bukankah zaman telah berubah? Hal ini menuntut perubahan pula bagi lakon hidup seniman dan musisi tradisi (gamelan) di negeri ini. Dari sekian banyak profesi, pengrawit atau seniman gamelan adalah salah satu profesi yang tak memiliki organisasi atau aliansi secara resmi.

Jauh sebelumnya, sekisar 40 tahun lalu, dalang-dalang telah berorganisasi dengan membentuk Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan Senawangi. Organisasi itu bertahan hingga hari ini, bahkan cabangnya terdapat di hampir semua kabupaten-kota di Jawa dan Indonesia.

Pepadi dan Senawangi menjadi ruang bagi dalang untuk berkeluh kesah,
menyampaikan segala persoalan yang dihadapi dalam dunia pedalangan. Secara rutin, organisasi itu menggelar seminar dan membiayai penelitian tentang wayang. Sementara hal serupa belum muncul dalam dunia pengrawit di negeri ini.

Saya membayangkan, jika ada, persoalan yang dihadapi seroang pengrawit misalnya, dapat diadukan pada asosiasi pengrawit-musisi gamelan. Asosiasi itu dapat mengadvokasi atau membela serta mendampingi dan merumuskan jalan keluar yang ideal. Permasalahan yang selama ini ada dan dialami para musisi gamelan, dapat dibicarakan dan didiskusikan bersama, untuk kemudian ditemukan solusi-solusi yang baik dan bijak.

Terlebih karawitan-gamelan telah menjadi bidang ilmu yang diajarkan di kampus-kampus dan sekolah-sekolah seni. Hal ini juga sekaligus menjadi kritik terhadap institusi pendidikan itu. Bukanlah selama ini terlalu banyak menghasilkan musisi gamelan, namun tak diimbangi dengan pemikir dan perumus kebijakan tentang nasib hidup gamelan dan musisinya?

Banyak seniman karawitan dilahirkan, banyak pesinden dimunculkan,
namun tak ada ikatan dan kontrol bagi mereka. Hari ini kita melihat kisah pesinden dengan penuh ratap. Pengrawit adalah profesi yang mengandalkan kekuatan fisik. Tak ada yang terusik saat fisik sedemikian cepat berubah menua. Tubuh semata menjadi penanda eksistensi.

Pengrawit dan pesindhen menua, barangkali terlalu riskan untuk kembali eksis dan dicintai dalam panggung-panggung gamelan. Ia semata dikenang karena masa lalunya yang memukau, kala muda dan energik. Kini di usianya yang telah senja, kenangan itu menjadi penanda kepahitan.

Pesinden di zaman ini tak ubahnya penyanyi dangdut, ia seringkali dituntut untuk memoles wajahnya dengan menor, tak jarang juga bergoyang dan berjoget di atas panggung pertunjukan wayang. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh generasi yang lebih muda, dengan fisik yang lebih kuat dan cantik tentunya.

Di dalam tembok kampus-kampus seni, Jurusan Karawitan telah melembaga puluhan tahun lamanya. Misi utamanya mencetak pengrawit yang ungggul, mampu memainkan gending-gending Jawa dengan bernas. Lulusan perguruan tinggi itu bergelar sarjana seni (S.Sn), sebuah pencapaian yang monumental.

Akan tetapi hal itu tidak diikuti dengan kesadaran pentingnya memperjuangkan derajat keprofesiannya. Tak ada salahnya, beranjak dari fenomena itu dapat dibentuk sebuah asosiasi pengrawit. Bukankah pengrawit adalah salah satu penjaga benteng terakhir bagi keadaban budaya tradisi di negeri ini? Ah, jangan-jangan kata-kata itu juga terlihat layaknya jargon kampanye. Aduh!

Editor: Almaliki