Etnis.id - Tampaknya pemerintah senang menganugerahi seniman dan budayawan. Tetapi yang jadi pertanyaan, anugerah seperti apa? Apakah pemberian plakat saja tanpa serius mau mendalami ilmu budaya dan mengurus jalannya tradisi agar tidak mampus dizalimi revolusi industri?
Saya bakal membagikan satu cerita miris di facebook. Ditulis oleh Dadang Sutisna, pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage. Ia adalah lelaki yang memperhatikan sasana kebudayaan di Jawa Barat. Ia berdomisili di Bandung.
Tahu hal itu, seperti biasa, pemerintah lewat Kemendagri, datang memanggil mereka untuk hadir dalam Penganugerahan Penghargaan Ormas Tahun 2019. Melalui facebook Dadang, yayasan yang dikelolanya masuk nomine yang akan diberi hadiah.
Dadang dan timnya bahagia. Mereka dianugerahi pemerintah. Wow. Bahkan, Dadang sempat berbisik kepada temannya yang bernama Apip, untuk menyiapkan perlengkapan administrasi perjalanannya, kuitansi dan lain-lain.
Lama-kelamaan, ia datang ke Hotel Kartika Chandra, tempat penganugerahan itu akan diberikan pada Senin, 25 November 2019. Mereka menggunakan bus dari Bandung. yang ongkosnya, Rancage dulu yang talangi. Ditulis, ia menumpangi Bus Dipha Galuh Purba untuk menghemat ongkos.
Sampai di Hotel Kartika, mereka berdua duduk manis. Dadang membisiki Apip untuk duduk di kursi pemenang. Saya yang membaca kisahnya, sampai pada bagian itu, terkagum-kagum. Wih, keren, pemerintah mau beri hadiah pada Rancage
Dari paragraf itu sampai tulisan selesai, yang kubaca hanyalah kabar murung. Pemerintah kita, lewat tangan Mendagri, Tito Karnavian, hanya memberi mereka piagam. Hadiah uang dan biaya agar kas yayasan berputar, tak ada. Tahu begitu, ia langsung izin pulang. Mereka pun diizinkan.
Di akhir paragraf tulisan Dadang, tertulis bahwa Apip menenteng piagam itu. Piagamnya berakhir di rumah temannya, tak diboyong ke Bandung. Sebab jika dibawa terus-menerus, Apip mirip pedagang pigura dan tak akan jadi tontonan berarti masyarakat ibukota.
Selebihnya, kita semua tahu, penganugerahan itu diliput media mainstream dengan Mendagri sebagai sumber utamanya. Judul-judul bombastis terpampang, seakan-akan wajah pemerintah ramah dalam mengurus kebudayaan dan pendidikan.
Anda bisa bayangkan, bagaimana semangat seseorang mempertahankan nilai budaya di daerahnya, waktu mendengar bahwa ia dapat anugerah dari pemerintah, ia bahagia. Lalu di Jakarta, hanya ada piagam, makanan, dan debu Jakarta saja yang menerpa tubuhnya. Suaranya tidak didengar. Anda cobalah merasa-rasa.
Sebagai orang awam, saya merasa itu tidak layak. Mereka, orang-orang kedinasan bersama pengelola event, harusnya tak mempertontonkan kerja mereka dalam mematahkan semangat budayawan dan seniman.
Ini kasus pertama yang saya lihat, bahwa negara ini memang tidak serius saat berbicara soal budaya dan pendidikan. Menyitir ucapan Radhar Panca Dahana, pemerintah menganggap kebudayaan itu membuang cost besar, bukan investasi jangka panjang.
Tentu saja Radhar punya alasan omong begitu. Saya mengamininya, meski saya tak tahu ujung dari komentarnya akan menghasilkan apa pada seniman dan pemerintah. Pepesan kosongkah, arah politik barukah, atau kebijakan yang mengubah wajah masyarakat adat lebih semringah.
Kasus kedua
Kasus kedua adalah, penolakan Eka Kurniawan ihwal hadiah yang akan diterimanya dalam Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Eka menulis di status facebooknya, kalau ia akan menerima hadiah Rp50 juta, belum dipotong pajak.
Saya pribadi mendengar angka ini cukup banyak. Lebih membahagiakanlah dari kisah Dadang Sutisna. Jika saya Eka, hadianya bisa saya terima dan saya pakai untuk meminang kekasih, sekaligus membuat satu warung-warung kopi kecil di pinggir jalan.
Sayangnya, saya bukan Eka. Eka menolak karena punya alasan jelas. Penolakan itu menepok mata duitan saya, yang memang belum pernah memegang duit puluhan juta rupiah. Kasihan sekali saya ini. “Kok, jauh banget dengan atlet yang memperoleh medali emas di Asian Games 2018 kemarin?” tulis Eka.
Ia menambahkan lagi tentang info yang penting untuk diketahui. Peraih emas dalam helatan olahraga itu, memperoleh Rp1,5 miliar. Peraih perunggu memperoleh Rp250 juta. Pertanyaan Eka mungkin terdengar iseng, tapi jelas ada latar belakangnya.
"Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?" tanya Eka lagi. Selebihnya, kamu bisa membaca status Eka di facebook pribadinya itu. Kritiknya tajam. Satiris ala penulis yang bacaannya gila-gilaan.
Kasus ketiga
Kasus ketiga adalah, saya sendiri yang mengalami. Di Pekan Kebudayaan Nasional 2019, saya datang bersama dua fotografer. Dua fotografer. Satu siap ambil video, satunya siap foto-foto artefak. Kami semua ingin meliput kegiatan itu.
Di Istora Senayan, tempat PKN 2019 dilangsungkan, sore hari, kulihat sudah terpasang instalasi seni di berandanya. Terpampang pula properti dengan warna-warna yang mencolok. Ada merah, biru, putih dan lain-lain. Berapa warnanya, saya lupa.
Perasaan saya sudah tidak enak. "Ini pasti sekadar 'hahahihi kebudayaan.'" Dari tampakan luar, tidak ada yang membuat saya merinding seperti rapalan-rapalan mantra para masyarakat adat yang sering kudengar.
PKN 2019 tidak lebih dari budaya pop. Itu kesimpulan mutlak saya pribadi. Masuk ke pameran, saya banyak melihat instalasi-instalasi yang menyangkut kebudayaan di Nusantara. Ada yang dari Bali, Jawa, Batak dan Sulawesi. Tentu saja tidak lengkap. Beberapa daerah di Indonesia, tidak terwakili di sana.
Sebagai reporter, saya juga menganggap diriku wisatawan lokal. Dan benarlah, ruh acara itu tak kudapat. Meski riuh derap langkah orang-orang berkeliling gedung terdengar. "Pameran budaya pop kah ini? Atau pameran tradisi? Atau keduanya?"
Maka berkeliling-kelilinglah saya bersama dua orang fotografer Etnis. Mana tahu ada budaya yang menarik untuk diulas dan dipasang di situs ini, biar menjadi khazanah untuk dibaca orang-orang kota modern, perihal masa lalu negerinya. Yang peradabannya jauh meninggalkan Eropa.
Saya menemui satu panitia PKN dan bertanya, siapakah yang akan konser dan menunjukkan tajinya di panggung kebudayaan yang sudah terpasang di beberapa titik Istora Senayan. Dijawablah dengan bangga.
"Ada Danilla, Kunto Aji, Barasuara dan lain-lainnya, Mas." Heh, serius? Adakah unsur tradisi dan budaya Nusantara dalam musik mereka? Yang masih masuk akal adalah Didi Kempot.
Ucapan-ucapan Direktrur Jenderal Kebudayaan Indonesia, Hilmar Farid, masih jauh dari kenyataan. Apalagi tema buatannya, yakni Ruang Bersama Indonesia Bahagia. Benarkah Indonesia bahagia di samping suara-suara masyarakat yang masih dianggap suara masyarakat kelas dua?
Sebagai reporter sekaligus wisatawan lokal yang ingin melihat pameran, saya ingin sekali melihat musik-musik etnik tampil di sana. Seperti kecapi dari Bugis, Sape dari Kalimantan atau gondang dari Batak.
Kapan musik-musik etnik itu dapat tempat di event-event Jakarta kalau yang dominan tampil adalah band-band pensi yang sudah banyak di-endorse, yang pengikutnya di media sosial sudah jutaan bahkan ratusan ribu? Mereka berhak untuk dikenali oleh masyarakat modern.
Jujur, saya pribadi, lebih senang kelompok musik etnis yang mulai didengungkan dalam parade kebudayaan. Seharusnya, orang-orang kota macam kita ini, menyilakan produk budaya mereka untuk ambil bagian di panggung. Jangan musikus modern melulu yang diberi ruang.
Jika terus begitu, bagaimana adat dan tradisi yang beragam di Indonesia mau dapat tempat dan dikenal? Mestikah luar negeri mengklaim budaya kita lagi, lalu budaya itu dikenal setelah kita tampil garang di media dan meributkannya? Tetapi sudahlah, saya cuma bisa berharap pada stick holder untuk didengar.
Oh ya, selain musisi yang bukan dari "pinggiran", saya juga sempat dibuat murung oleh penjaga stan pameran yang saya tanyai tentang satu artefak. Waktu itu, saya melihat satu peninggal kitab berbahasa Arab gundul. Di situ tertulis tentang ilmu perbintangan orang Bugis. Namanya Kutika. Saya, orang Bugis-Makassar, malah baru tahu ada Kutika.
Saya bertanya pada penjaga peninggalan itu. "Apa arti dari tulisan Arab dalam Kutika? Bisa kasih saya contoh soal perbintangan orang Bugis, seperti waktu yang baik jika ingin turun melaut atau menggelar syukuran sebelum Indonesia merdeka?"
Ia menjawab, "tidak tahu." Saya malah dioper ke tempat lain untuk mencari jawabannya. Lalu bagaimana mereka menjelaskan hal itu jika ditanya oleh wisatawan luar negeri? Acara ini dikelola oleh siapa sih sebenarnya? EO? Kompetensinya patut dipertanyakan.
Akhirnya, tidak lagi penting pertanyaan itu, sebab perangkat negara sudah terlalu banyak memudarkan tradisi, adat dan adab leluhur Nusantara. Semuanya berganti "hahahihi kebudayaan" yang instan. Pokoknya, yang penting, tidak makan banyak anggaran negara. Biar negara yang memeras masyarakat adat saja. Negara tak boleh diperas.
Begitu saja terus, pura-pura menghargai budayawan. Semakin hari, tidak ada yang menarik dalam kebudayaan kita. Saling misuh antar kelompok dan ormas, hanya itu saja yang dikasih ruang. Miris. Jadilah tiga kasus yang saya uraikan sebagai contoh, ada lagi yang masih ingin menambahkan?