Ketergantungan terhadap teknologi sudah menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Peran teknologi digunakan untuk menghimpun informasi hingga alat penunjang pekerjaan sehari-hari.

Semua kalangan, tua-muda, bergantung pada teknologi bernama smartphone yang dapat digunakan kapan saja dan di mana saja. Praktis, dibutuhkan peran aktif yang dapat memberi inspirasi bagi generasi muda saat ini. Di antaranya, untuk menyoroti peran dan kedudukan perempuan.

Perempuan Indonesia akhir-akhir ini mendapat perhatian sebagai sosok inspiratif. Media massa mempublikasikan perempuan dari berbagai profesi, mulai dari pegiat lingkungan hidup, komponis, hingga aktivis pembela hak perempuan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa peran perempuan sebagai aktivis, komponis, seniman kriya, dan lain sebagainya sudah mendapat dukungan, pengakuan, dan dukungan masyarakat.

Jejak rekam sosok perempuan sudah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat Etnis Samawa. Hal ini dapat ditelusuri melalui seni kriya tenun Etnis Samawa yang berasal dari di Dusun Samri Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang sudah ada sebelum era kemerdekaan Indonesia (wawancara dengan Masia, pengrajin tenun).

Pada umumnya, perempuan di Dusun Samri mahir dalam seni kriya tenun krealang yang merupakan warisan orang-orang terdahulu. Keberlangsungan seni kriya ini merupakan hasil dari konsistensi dan penggunaan kain songket dalam keseharian Etnis Samawa, terutama dalam upacara adat nyorong, barodak, dan lain sebagainya.

Masyarakat Etnis Samawa menyebutnya krealang, kain songket khas Samawa yang dibuat secara tradisional oleh kaum perempuan. Penenun krealang berasal dari kelompok usia remaja, dewasa, hingga ibu-ibu di Dusun Samri.

Krealang, kain songket khas Etnis Samawa/Rivaldi Ihsan

Seiring perkembangan zaman, masyarakat di Pulau Sumbawa sudah beralih teknologi menggunakan mesin bordir untuk menenun. Selain itu, banyak pula perempuan Etnis Samawa yang merantau untuk bekerja atau menempuh studi di luar kota, bahkan kawin silang dengan etnis lain sehingga membuat mereka kurang berminat untuk menenun lantaran tuntutan ekonomi.

Namun, saat ini masih ada satu dusun di Pulau Sumbawa di mana kaum perempuanya masih melestarikan tenun tradisional Etnis Samawa. Dusun itu bernama Dusun Samri.

Dusun itu terdiri dari 150 kepala keluarga, di mana kaum perempuannya mahir menenun secara tradisional sejak dahulu hingga saat ini. Melalui proses transmisi ilmu menenun dari kaum perempuan dewasa kepada anak perempuannya, tradisi tenun diwariskan.

Proses nesek atau menenun Etnis Samawa‌‌ biasanya membutuhkan waktu 15 hari untuk menyelesaikan satu helai kain tenun. Sebab, selama proses pembuatannya dibutuhkan konsistensi, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Apabila selama proses menenun mengalami kekeliruan maka dapat merusak benang yang sudah terjalin utuh sehingga harus mengulangnya dari awal. Jika tak diulang, maka akan berdampak pada hasil akhir kain tenun (wawancara dengan Aminah, penenun Dusun Samri).

Masiah, seorang penenun perempuan berkisah sewaktu kecil ibunya telah mengajarkan cara menenun secara autodidak, mengingat orang-orang tua dulu berpesan bahwa salah satu ciri perempuan Etnis Samawa ialah kemahirannya dalam menenun. Sebagai wujud pelestarian seni kriya tenun, pengajarannya tentu melalui aural dan praktik, ungkap Masiah.

Perlengkapan alat-alat untuk nesek antara lain tane (bambu tempat gantungan alat-alat tenun), sisir (alat untuk memasukkan benang terbuat dari bilah bambu seperti lidi), tutuk (papan yang digulung benang untuk ditenun menjadi kain), golong (tongkat  dari paralon kecil), belida (tongkat mirip pedang; ada yang kecil dan yang besar berfungsi untuk merapatkan benang yang dirajut), gurin (bambu yang berfungsi untuk membuat kain), apit (dua buah kayu yang ditengahnya bolong yang berfungsi untuk menjepit benang yang sudah menjadi kain), lekat (tempat untuk bersandar pinggang penenun yang terbuat dari kayu agar pinggang nyaman saat menenun), dan senoras (berbentuk persegi empat seperti setrika berfungsi sebagai tempat belida).

Adapun tahapan proses menenun krealang adalah sebagai berikut:‌‌

Pertama, merane atau tahapan paling awal yang memakan waktu cukup lama sebelum masuk ke bagian tempat tenun. Pengrajin pada awalnya merangkai dan menggulung benang sesuai dengan kebutuhan peralatan yang terbuat dari kayu.

Selanjutnya ialah setama atau isi sisir benang setelah dirane kemudian dilanjutkan dengan proses kedua yaitu memasukkan benang ke dalam sebuah alat nesek menyerupai sisir satu persatu sesuai jumlah lubang sisir. Pada tahap ini, fokus dan kesabaran menjadi kunci para pengrajin.

Usai merane, benang tadi digulung pada papan dengan memasukkan peralatan-peralatan tenun di sela-sela benang.‌‌ Selama proses menggulung benang di papan, penenun menambahkan motif pada kain dengan cara memasukkan lantas atau lidi ke sela-sela benang yang siap ditenun dengan motif yang sudah disketsa oleh pengrajin.

Pengrajin pun memasukan semua alat-alat tenun seperti golong, belida ode, belida rea, gurin, dan sebagainya, sampai proses menenun selesai hingga menghasilkan kain songket atau krealang.

Fungsi Krealang bagi Masyarakat Etnis Samawa

Masyarakat Etnis Samawa meyakini ide penciptaan krealang bersumber dari aktivitas keseharian yang membentuk suatu kebudayaan, diterjemahkan oleh orang-orang terpilih yang ahli di bidang seni dan budaya, kemudian menjadi karya seni yang diyakini memiliki makna dan filosofi berkaitan dengan adat istiadatnya.

Senada dengan pernyataan Dinullah Rayes, seorang sastrawan sekaligus budayawan Sumbawa yang mengatakan bahwa kain tenun Sumbawa bukan hanya sekedar membuat motif dan ornamen, tetapi memiliki filosofi yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dari pola kehidupan masyarakat agraris, kondisi alam dan lingkungan, representasi bentuk-bentuk kekerabatan dan kebersamaan dalam kehidupan komunal mereka (wawancara dengan Gufron Wahyu Danni).

Dalam kehidupan sehari-hari perempuan Etnis Samawa, sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, khususnya di Dusun Samri. Tujuannya ialah untuk membantu perekonomian keluarga, sehingga jika ada pesanan kain tenun maka petani perempuan akan beralih profesi menjadi pengrajin tenun. Sementara itu, ladang atau sawah akan digarap oleh suaminya.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa perempuan di Dusun Samri menyandang tiga peran. Pertama, sebagai seorang ibu yang membesarkan anak dan mendampingi suami; kedua, sebagai seorang seniman pengrajin tenun; ketiga, sebagai petani.

Dari ketiga peran perempuan tersebut, secara filosofis tergambar melalui motif-motif tenun Etnis Samawa, seperti motif selimpat yang berarti cinta kasih dan kekeluargaan; motif lonto engal berarti simbol kemakmuran; motif kemang langit berarti kewaspadaan, kelincahan, kerja keras dan kejujuran; motif kemang kananga yaitu bunga kenanga yang berarti keluarga senantiasa mendapatkan keharuman dari para leluhur (wawancara dengan Putra Kristian Kemas).

Peran perempuan Etnis Samawa sebagai pelestari dan perawat tenun tradisional Etnis Samawa Dusun Samri perlu diapresiasi, sebab tanpa mereka tentu seni kriya tenun akan mengalami kelangkaan akibat teknologi seni tenun bordir yang semakin menguasai pasar.

Dari segi estetika, kain tenun yang dihasilkan oleh tangan pengrajin memiliki nilai lebih tinggi (handmade), sebab proses pembuatannya memakan waktu yang lebih panjang, sekitar 15 sampai 30 hari.

Seluruh peralatannya serba manual dan hanya bisa diperoleh melalui sistem prapesan, sementara tenun yang dikerjakan dengan mesin bordir tidak memakan waktu lama, dapat diproduksi secara massal dengan harga relatif lebih murah.

Dusun Samri yang terkenal dengan sentra tenun tradisional khas Etnis Samawa masih tetap mempertahankan tradisi menenun secara tradisional demi keberlanjutan eksistensi seni tenun melalui proses transfer ilmu kepada kaum perempuan muda.

Karena itu, Dusun Samri dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, serta mendapat perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menjadi desa wisata.

Berkat konsistensi masyarakat setempat, serta dukungan dari pemerintah daerah dan pemerintah Provinsi NTB, maka pada tahun 2022, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kembali menggelar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

Tercatat Sebelas desa di Kabupaten Sumbawa meraih ajang Anugerah Desa Wisata, salah satunya ialah Dusun Samri, Desa Poto Kecamatan Moyo Hilir, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.

Penyunting: Nadya Gadzali