Aksara Gorontalo sampai hari ini belum ditemukan atau memang sejatinya tidak pernah ada dalam kebudayaan Gorontalo. Ketiadaan aksara tersebut menyebabkan pelacakan perbendaharaan bangsa Gorontalo pada masa lampau menjadi sedikit terbata-bata.

Aksara sedemikian penting bagi sebuah bangsa karena setiap garis yang membentuk huruf merepresentasikan emosi masyarakat, pandangan dunia, pengetahuan, tradisi, seni, dan lain-lain. Berbeda dengan bangsa Gowa, masyarakat Gowa memiliki aksara yang dikenal dengan sebutan aksara Lontara.

Aksara lontara terdiri atas 19 huruf (untuk penggunaan Makassar) dan 23 huruf (untuk penggunaan Bugis). Aksara lontara dimulai dari huruf ‘ka’ dan diakhiri dengan huruf ‘ha’ serta memiliki penanda (i, u, [e taling dan e pepet] dan o) yang akan mengubah bunyi huruf (Subair, dkk, 2022). Dengan demikian, meskipun bangsa Gorontalo tidak memiliki aksara sebagaimana bangsa Gowa, namun segenap lokalitasnya dapat dilacak melalui tutur kata.

Budaya tutur-menutur di Gorontalo telah sejak lama dipraktikan oleh masyarakat. Budaya tutur ini kemudian melebur menjadi beberapa tradisi, misalnya dikili, me’eraji, turunani, buruda, pandungi, tinilo, tuja’i, dan tanggomo (Thaib, 2016).

Kedelapan bentuk tradisi lisan ini menyimpan peristiwa, makna, dan kebijaksanaan masyarakat Gorontalo pada masa lalu. Teeuw (1984) mengatakan bahwa dengan tradisi lisan manusia dapat mewujudkan hakikat dirinya sendiri sehingga mempunyai nilai dan makna yang luhur. Dengan kata lain bahwa budaya tutur-menutur telah menjadi nafas kebudayaan bagi sistem kemasyarakatan bangsa Gorontalo dan telah menjadi bagian eksistensial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Gorontalo.

Selain kedelapan bentuk tutur-menutur yang telah disebutkan di atas, ternyata dalam kebudayaan masyarakat Gorontalo ada kepingan lain yang sedikit berbeda dari bentuk sebelumnya. Kepingan itu dikenal dengan istilah puwayo.

Puwayo bila merujuk kamus bahasa Gorontalo karangan ‘bapak kita’, Mansur Pateda, cetakan tahun 2001, halaman 208, memiliki dua bentuk arti. Pertama, puwayo sebagai sebuah penyakit mata (bisul kecil pada pinggir mata). Kedua, puwayo sebagai bentuk kata kasar atau makian. Dalam hal ini, puwayo yang dimaksud adalah bentuk kedua yakni puwayo sebagai tradisi makian dalam masyarakat Gorontalo.

Fenomena makian secara umum terbukti ada di dalam hampir semua kebudayaan dunia. Namun, ada diferensiasi makna makian antara kebudayaan satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat Gorontalo, puwayo mendapatkan posisi yang istimewa, keistimewaanya terdapat pada praktik pengucapannya.

Sebagai contoh, ketika si A mengetahui bahwa si B telah memaki si A dengan kata polombu’o mu atau tinggolopu mu, misalnya, maka si A tidak akan mengatakan “hepuwayomu wau” artinya “kamu memaki saya” melainkan akan mengatakan “hetadiamu wau” artinya “kamu menyumpah saya ya”.

Kata polombu’o mu dan tinggolopu mujelas merupakan kata makian dalam kebudayaan masyarakat Gorontalo, namun mereka tidak menyebutnya sebagai makian (puwayo) tetapi lebih kepada sumpah (tadiya). Hal ini berlaku sama bagi semua bentuk makian lainnya (tahedemu, huwangangamu, dan telelilamu).

Apabila kita terburu-buru dalam menarik kesimpulan dengan asumsi bahwa masyarakat Gorontalo tuna aksara, yang akan terjadi adalah kesalahpahaman. Sebab dalam budaya Gorontalo, dikenal pula sistem tulisan yang disebut dengan aksara Bonda atau aksara Suwawa-Gorontalo, meski saat ini semakin sulit ditemui. Sebuah sumber mengatakan bahwa aksara Bonda hanya digunakan oleh masyarakat Suwawa pedalaman (Aksara-aksara di Nusantara: Seri Baca Tulis: Seri Ensiklopedia, Ridwan Maulana).

Namun penarikan kesimpulan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang puwayo dan tadiya merupakan dua hal yang berbeda. Puwayo merupakan ucapan kata-kata kasar sementara tadiya merupakan ucapan sumpah, janji atau ikrar. Di sisi lain, sebelum menarik kesimpulan, penting untuk memeriksa morfologi bahasa Gorontalo atau kebiasaan bertutur dalam masyarakat Gorontalo.

Terkait fenomena pembahasaan tersebut, belum terdapat penjelasan kongkrit untuk mengungkap mengapa terjadi fenomena pembahasaan tersebut. Ketidakjelasan tersebut barangkali menjadi catatan bagi bahasawan Gorontalo untuk mengungkap disposisi penggunaan antara kata tadiya dan puwayo.

Tentu ada metode-metode alternatif yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena pembahasan tersebut. Buku Medan Makna dalam Bahasa Gorontalo, (Pulubuhu, dkk, 2002) misalnya. Dalam menjelaskan makna bahasa Gorontalo, Pulubuhu memakai teori yang digagas oleh Nida, Palmer, dan Lyons (2002: 17).

Misalnya, Palmer membagi hubungan makna menjadi delapan jenis, yakni 1) makna sinonim (synonymy); 2) makna banyak (polysemy); 3) makna homonim (homonymy); 4) perangkat makna pertelingkahan (incompatibility); 5) kehiponiman (hyponymy); 6) makna berlawanan (antonymy); 7) makna berlawanan relasional (relational opposites); dan 8) komponen (components) (2002: 15).

Dalam hal ini, kata tadiya dan puwayo tergolong bentuk kata yang bertentangan maknanya. Sisi lain kata tadiya dan puwayo digolongkan sebagai kata yang memiliki persamaan makna. Sehingga dalam pengucapannya, kata tadiya dipakai oleh masyarakat Gorontalo karena mengandung medan bahasa yang berhubungan dengan kata puwayo.

Metode lain yang dapat digunakan dalam menjelaskan fenomena pembahasan masyarakat Gorontalo tersebut dapat merujuk buku Morfologi dan Sintaksis Bahasa Gorontalo (Alitu, dkk : 1988). Dalam buku tersebut, dijelaskan secara rinci mengenai tata bahasa Gorontalo, mulai dari penggunaan prefiks, sufiks, konfiks, reduplikasi, dan seterusnya, dalam sub morfologi dan bentuk-bentuk frasa, klausa, dan seterusnya dalam sub sintaksis.

Ketika menggunakan kata tadiya, akan selalu diawali dengan kata he. Dengan kata lain bahwa prefiks he dalam bahasa Gorontalo akan selalu melekat dengan morfem dasar, he-tadia atau he-puwayo, (1998: 9). Sebagai catatan tambahan bahwa prefiks he juga dapat digabungkan dengan prefiks lain misalnya, he-lo, he-mo, he-mo-li, he-mo-tolo, dan seterusnya (1998:42-43). Namun penggunaan prefiks he yang telah digabung dengan prefiks lainnya tidak semuanya dapat lekatkan dengan kata tadiya.

Medan makna dan sintaksis yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan jalan alternatif untuk mengungkapkan struktur dan tata bahasa yang berkaitan dengan pengucapan kata tadiya dan puwayo dalam masyarakat Gorontalo. Kedua metode tersebut merupakan bagian dari kajian ilmu linguistik, maka digunakan hanya sebagai alat untuk mengungkap bentuk, makna, peristiwa, fenomena, dan sejarah dari sebuah kata dan bukan menjadi satu-satunya parameter untuk mengungkapkan fenomena pembahasaan dalam masyarakat Gorontalo.

Di sisi lain, kedua metode tersebut menjadi perekat untuk menyatukan keterpecahan sejarah Gorontalo. Jadi, penggunaan dan pemilihan sebuah metode akan sangat membantu dalam upaya mengungkap sebuah bahasa. Selain menggunakan metode linguistik, metode lain seperti ilmu sejarah, ilmu antropologi, dan ilmu filsafat juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena penggunaan kata tadiya dan puwayo.

Misalnya dalam ilmu sejarah, pada konteks ini, langkah yang diambil oleh sejarawan akan berbeda dengan langkah yang ditempuh oleh linguis. Bagi linguis, jelas langkah yang diambil seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sementara bagi sejarawan, langkah yang diambil adalah dengan melihat sejarah dibalik peristiwa penggunaan kata tadiya atau puwayo.

Di Gorontalo misalnya, peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan tadiya terjadi ketika Sultan Amai pada tahun 1495 meminta rakyat Gorontalo bersumpah untuk tidak akan mengkonsumsi babi “bolo engondie u monga boyi, lombu didu mowali”. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah mome’ati (Bakry, 2016: 192). Dengan demikian, setiap metode yang digunakan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Sebagai bagian akhir dalam tulisan ini, adalah krusial untuk lebih mengeksplorasi perbendaharaan kebudayaan bangsa Gorontalo, salah satunya melalui bahasa. Dengan melacak bahasa kita akan dihadapkan pada peristiwa-peristiwa spektakuler yang belum pernah kita temukan sebelumnya.

Meskipun bangsa Gorontalo dikenal tidak memiliki aksara—jika pun ada hanya sebatas penggunaan aksara Bonda di pedalaman Suwawa—namun itu bukan kendala dalam meneliti bahasa ibu, bahwa ada banyak metode-metode yang ditawarkan dalam melakukan penelitian bahasa. Titik porosnya terletak pada kita.

Penyunting: Nadya Gadzali