Jauh sebelum republik ini berdiri, gamelan telah lebih dulu ada. Hingga kini, gamelan masih lestari dengan puspawarna eksotikanya. Gamelan menjadi ansambel yang telah melintasi zaman. Lintasan itu dapat ditelusuri melalui relief-relief candi, serat, babad, kakawin, ataupun kitab-kitab.

Mulanya, gamelan hanya berbentuk ansambel mini yang dimainkan di kala prosesi upacara atau untuk menandai meletusnya peperangan. Kiwari, gamelan menjelma ansambel yang multifungsi, seperti prosesi upacara, penyambutan tamu, pernikahan, kematian, hingga pertunjukan.

Sumarsam (2017) bahkan menyebutkan bahwa gamelan menjadi ikon pertunjukan dan peradaban Jawa. Kendati ansambel ataupun instrumen selain gamelan banyak di temukan di Jawa, namun gamelan tetap menjadi primadona seni pertunjukan.

Gamelan juga memuat kisah antar zaman. Melalui gamelan, kita dapat menyimak peradaban yang berlangsung dari zaman kerajaan hingga saat ini. Salah satu serat yang memuat kisah itu ialah Serat Wedhapradangga. Sebuah kitab yang digubah oleh Pradjapangrawit pada tanggal 21 Mei 1943. Ia mengisahkan ihwal kronik gamelan di zaman lampau.

Kronik Gamelan Jawa

Gamelan pertama yang berkumandang di tanah Jawa dijuluki Gamelan Lokananta. Ia disematkan sebagai gamelan surgawi, sebab digubah oleh Sang Hyang Guru pada tahun 245-246 masehi.

Kala itu, Sang Hyang Guru masih bertahta di Kerajaan Medangkamulan. Letaknya ada di Gunung Maendra yang kini disebut Gunung Lawu. Di awal penciptaannya, Gamelan Lokananta hanya terdiri dari 5 instrumen saja: 1) gendhing atau kemanak, 2) pamatut atau kethuk, 3) sauran atau kenong, 4) teteg atau kendhang ageng, dan 5) maguru atau gong.

Dalam permainannya, Gamelan Lokananta sudah terisi oleh tembang yang berasal dari kidung sekar Kawi atau sekar ageng.  Hingga akhirnya pada tahun 365-366 masehi, Sang Hyang Endra turut membuat gamelan yang ia beri nama Gamelan Surendra.

Sama halnya dengan Gamelan Lokananta, Gamelan Surendra juga memiliki lima instrumen, terdiri dari: 1) gendhing atau rebab, 2) kala atau kendhang, 3) sangka atau gong, 4) pamatut atau kethuk, dan 5) sauran atau kenong.

Sedangkan lagu yang didendangkan dalam Gamelan Surendra masih berasal dari sekar kawi atau sekar ageng. Perbedannya, pada tembang Gamelan Surendra terdapat kumandang bunyi rebab.

Atas izin Sang Hyang Guru, Gamelan Surendra lantas diturunkan kepada Prabu Sri Mahapunggung. Pada tahun 414-415 masehi, Gamelan Surendra diterima oleh Prabu Sri Mahapunggung di Purwacarita.

Di tangan Prabu Sri Mahapunggung, Gamelan Surendra dimodifikasi. Ia menambahkan dua instrumen di dalamnya, yakni: 1) salunding atau kempul dan 2) garantang atau gambang. Penambahan itu membuat jumlah instrumen dalam Gamelan Surendra menjadi sebanyak tujuh instrumen.

Dalam perjalanannya, modifikasi yang ada tidak hanya berlaku pada instrumen saja. Dalam hal tembang atau nyanyian juga mengalami nasib yang sama. Modifikasi itu dilakukan oleh Sri Maharaja Kano (Kanwa) pada tahun 415-416 masehi. Modifikasi itu tidak jauh dari kidung sekar kawi yang sudah ada sebelumnya.

Justru dengan adanya kidung sekar kawi, Sri Maharaja Kano mempunyai bekal untuk menciptakan tembang baru. Adapun tembang itu ialah Abusinta Salendro, Padaringan Kebak, Dhandhasewu, Dhandhagedhe, dan Dhandhasanti. Penciptaan yang dilakukan oleh Sri Maharaja Kano itu menjadi titik awal dikenalnya gendhing di tanah Jawa.

Tidak berselang lama, pada tahun 416-417 masehi, Sri Maharaja Kano juga membuat ansambel yang ditujukan sebagai tanda peperangan. Ansambel itu diberi nama Mardangga. 10 instrumen dimainkan dalam ansambel ini, yakni: 1) kala atau kendhang, 2) sangka atau gong, 3) bahiring atau gong beri, 4) gubar atau bendhe, 5) gurnang atau kenong, 6) puksur atau terbang-tambur, 7) thongthong atau kendhang, 8) grit atau terbang, 9) teteg atau bedhug, dan 10) maguru gangsa atau gong kemodhong.

Mardangga menjadi ansambel pertama di tanah Jawa yang berguna untuk menandai perang. Sejak adanya ansambel Mardangga, ansambel lainnya juga lekas diciptakan.

Pada tahun 623-624 masehi, Prabu Basukesthi dari Wiratha membuat ansambel rebana. Ansambel ini mengadaptasi ansambel yang digunakan para pertapa ketika melayani para brahmana.

Instrumen yang ada dalam ansambel rebana sebanyak enam jenis, antara lain: bendhe, gentha, kekeleng, trebang, kendhangan, dan angklung. Di tengah hadirnya ansambel-ansambel baru, gamelan masih terus hidup. Bahkan, gamelan masih mengalami modifikasi-modifikasi dalam hal penggunaan instrumennya.

Modifikasi itu dilakukan oleh Prabu Jayalengkara di Purwacarita pada tahun 1.164-1.165 masehi. Modifikasi yang dilakukan ialah dengan menambahkan instrumen gender (10 bilah), demung (5 bilah), dan saron (5 bilah).

Gamelan Surendra yang sebelumnya berjumlah tujuh instrumen, kiwari menjadi 10 instrumen. Penambahan instrumen gender juga memperkaya musikal yang ada. Tembang-tembang gubahan Sri Maharaja Kano sebelumnya lantas dimainkan dengan tambahan gender. Hasilnya, gendhing itu lebih tenang untuk didengarkan.

Kendati terdapat penambahan gender, gambang tetap dimainkan dalam Gamelan Surendra yang berfungsi untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam sajian repertoar gendhing agar terasa ramai dan rimbun. Penambahan gender dalam Gamelan Surendra tidak lantas membuat Prabu Jayalengkara puas. Ia justru ingin membuat gamelan dengan nuansa yang lain.

Mengacu pada Gamelan Surendra, Prabu Jayalengkara lantas mengolah Gamelan Surendra dengan begitu rinci. Hasilnya, ia mampu menciptakan nuansa musikal lain di luar yang ada pada Gamelan Surendra.

Nuansa musikal yang baru saja tercipta itu terasa sayu, mendayu-dayu, agung, luhur, juga menyenangkan. Lantas, untuk membedakannya, disebutlah laras salendro dan laras pelog (masih pelog panunggul atau pelog 6). Laras salendro diperuntukkan kepada Gamelan Surendra, sedangkan laras pelog diperuntukkan kepada gamelan yang baru.

Kepiawaian Prabu Jayalengkara memainkan gamelan agaknya tidak dinikmati sendiri. Ia mewariskan darah kepiawaiannya itu kepada cucu buyutnya. Salah satunya ialah Raden Panji Inokartapati.

Panji Inokartapati begitu menggandrungi gamelan. Ia   juga terpikat pada gendhing-gendhing gamelan. Hal itu membuat ia turut memodifikasi gamelan dengan cara menambahkan instrument dalam gamelan, di antaranya: bonang ageng, bonang penerus, gender penerus, demung, saron penerus, katipung, kecer, dan gambang salukat atau calempung.

Raden Panji Inokartapati juga ingin membuat gamelan dengan laras surendra-salendro. Pembuatan itupun ditunaikannya. Hasilnya, instrumen yang ada dalam gamelan menjadi lebih banyak: 1) rebab, 2) bonang ageng (10 biji), 3) bonang panerus (10 biji), 4) gender ageng (11 bilah), 5) gender panerus (11 bilah), 6) gambang (15 bilah), 7) salenthem (5 bilah), 8) demung (5 bilah), 9) saron barung (5 bilah), 10) saron panerus (5 bilah), 11) kenong (2 biji), 12) kethuk (1 biji), 13) gong (2 biji), 14) kempul (2 biji), 15) suling (1 biji), 16) kendhang (1 biji), 17) ketipung (1 biji), 18) calempung (1 biji), dan 19) kecer (1 tangkap).

Instrumen-instrumen itu lantas diberi lubang sebagai perangkat untuk meletakannya. Gamelan dengan laras surendra-salendro telah dibuat. Bersamaan dengan itu, Sang Dyah Ragil Kuning memberikan permintaan kepada Raden Panji Inokartapati.

Ia meminta untuk membenahi laras pelog panunggul dengan menghadirkan laras pelog barang. Hal ini dikarenakan kedua laras memiliki nuansa yang berbeda. Siasatnya ialah dengan tidak memainkan atau mengambil nada-nada bernuansa laras pelog panunggul. Dengan demikian, akan tercipta laras pelog barang secara integral.

Sebaliknya, jika ingin memainkan laras pelog panunggul; nada yang menghasilkan nuansa musikal panunggul tinggal ditambahkan. Permintaan itu lantas dikabulkan. Dengan demikian, terciptalah laras pelog barang dengan gaya Jenggala.

Pada tahun 1.209-1.210 masehi, Raden Panji Inokarpati berkeinginan untuk membakukan laras-laras yang ada. Ia ingin membuat sebuah standar atau pakem laras. Hal ini ditujukan agar nada-nada yang ada dalam gamelan tepat, tidak terlalu tinggi, rendah, ataupun sangat rendah.

Lantas, ia membuat batasan-batasan tertentu sebagai standar pelarasannya. Selain dari sisi instrumen, adanya standar pelarasan tersebut memudahkan sinden dalam mengumandangkan tembang.

Pakem laras tersebut menjadi standar suara sinden juga. Tindakan pembakuan laras itu kemudian disebut dengan pathet. Dalam laras salendro, terdapat tiga penggolongan pathet: 1) laras salendro pathet nem, 2) laras salendro pathet sanga, dan 3) laras salendro pathet manyura. Dalam laras pelog juga demikian. Ia dibagi menjadi tiga golongan: 1) laras pelog pathet lima, 2) laras pelog pathet nem, dan 3) laras pelog pathet barang. Seusai pathet ini lahir, Raden Panji Inokarpati membuat gendhing-gendhing sesuai dengan aturan-aturan dalam pathet tersebut.

Gendhing-gendhing yang diciptakan begitu puspawarna. Selain itu, ia juga mengembangkan garap dalam gamelan, lekas dari hadirnya lancaran, ketawang, ladrang, dan lain sebagainya. Di tangan dinginnya, gendhing-gendhing gamelan menjadi kaya.

Kekayaan gendhing-gendhing gamelan ini dipertebal dengan lahirnya gendhing pakurmatan atau kehormatan. Gendhing ini digubah oleh Prabu Suryawisesa yang juga dari Jenggala. Ia menggubah gendhing itu untuk dibawakan ketika hari Senin, Kamis, serta ketika ada pertemuan.

Gendhing kehormatan itu diberi tajuk “Surya Sumirat”. Gendhing ini bahkan menjadi gendhing kebangsaan. Masyhurnya gendhing pakurmatan menuntun Prabu Suryawisesa untuk membuat gamelan pakurmatan.

Pada tahun 1.223-1.224 masehi, ia lekas membuat gamelan itu. Gamelan pakurmatan pertama yang ia buat ialah Gamelan Kodhok Ngorek. Gamelan Kodhok Ngorek ialah manifestasi dari kodrat alam. Kodrat alam itu dijelmakan oleh Prabu Suryawisesa menjadi sebuah instrumen bernama rijal.

Rijal menjadi instrumen krusial dalam Gamelan Kodhok Ngorek. Ia dijadikan episentrum dari sajian repertoar gendhing. Selanjutnya, Prabu Suryawisesa membuat gamelan pakurmatan untuk yang ke dua kalinya. Gamelan itu ia beri nama Gamelan Monggang yang memiliki laras pelog.

Laiknya Gamelan Kodhok Ngorek, Gamelan Monggang juga merupakan suara kodrat alam, yakni suara dari hujan yang turun dari langit. Di tahun yang sama, Prabu Suryawisesa kembali membuat gamelan pakurmatan yang ke tiga. Gamelan pakurmatan ke tiga itu ia beri nama Gamelan Carabalen.

Nama carabalen mengandung arti bola-bali atau bolak-balik. Hal ini dituangkan dalam pola permainan bolak-balik. Selain itu, nama Carabalen juga mengandung makna bahwa manusia harus selalu ingat bahwa ia akan kembali ke asalnya.

Perkembangan gamelan tidak hanya terjadi pada jenis pakurmatan. Gamelan untuk keperluan keprajuritan pun dibuat. Gamelan keprajuritan itu dibuat oleh Prabu Bratana di Majapahit pada tahun 1.361-1.362 masehi.

Gamelan itu ia beri nama Gamelan Srunen. Adapun instrumen yang ada di dalamnya ialah: suling, kendhang ageng, bendhe, kethuk, kenong, gong, dan kemong. Pada waktu itu, gamelan Srunen digunakan untuk mengiringi latihan perang oleh para prajurit.

Pada tahun 1.511-1.512 masehi, gamelan di Majapahit bersama dengan wayang beber dibawa ke Demak. Raden Patah berkeinginan menggunakan gamelan dan wayang beber itu untuk keperluan keraton. Raden Patah pun meminta pendapat para wali. Sebelum memberikan jawaban, para wali melakukan diskusi terlebih dahulu.

Para wali menganggap bahwa gamelan dan wayang beber saling bertaut dengan agama Buddha, sehingga ketika gamelan dan wayang beber itu dimainkan di keraton; orang-orang tentu akan ingat dengan agamanya dan tidak akan masuk Islam.

Untuk mencegah itu, para wali kemudian memodifikasi gamelan dan wayang beber agar nuansa yang dihasilkan tidak identik dengan nuansa Buddha. Alhasil, gamelan yang dibawa dari Majapahit itu dimodifikasi oleh Sunan Giri.

Adapun hasil modifikasi tersebut ialah: 1) bonang ageng ditambah 2 biji menjadi 12, 2) bonang penerus ditambah 2 buah menjadi 12, 3) gender ditambah 1 menjadi 12 bilah, 4) gender penerus ditambah 1 menjadi 12 bilah, 5) gambang ditambah 3 menjadi 18 bilah, dan 3) demung ditambah 1 menjadi 6 bilah.

Selain mengubah nuansa musikal gamelan yang identik dengan Buddha, para wali juga melakukan pertemuan di Masjid Agung Demak untuk menyusun siasat agar orang Jawa mau masuk Islam. Saat itu, Sunan Kalijaga berpendapat bahwa untuk menarik orang Jawa agar mau masuk Islam harus melalui budaya Jawa. Salah satu wujudnya dengan gamelan.

Teknisnya, gamelan diletakkan di depan masjid, kemudian dibunyikan dengan kencang agar terdengar dari kejauhan. Dengan begitu, orang-orang Jawa akan datang ke masjid. Pasalnya, orang Jawa begitu menyukai gamelan.

Setiap orang yang datang untuk menonton harus diberikan syarat, yakni wudhu dan mengucap syahadat. Dengan begitu, orang-orang Jawa akan masuk ke agama Islam. Lantas, dibuatlah gamelan yang dimaksudkan. Gamelan ini mempunyai ukuran yang lebih besar dari gamelan pada umumnya. Bahannya juga lebih tebal dari gamelan pada umumnya.

Ukuran dan ketebalan itu menjadi penyokong dalam mengumandangkan suara yang lantang. Syahdan, gamelan itu dibuat dan diberi nama Gamelan Syahadatain-Sekaten. Sedangkan instrumen yang ada dalam Gamelan Sekaten ialah: 1) bonang, 2) kempyang, 3) saron barung (4 pangkon), 4) saron penerus (2 pangkon), 5) bedhug, dan 6) gong (2 buah).

Dalam Gamelan Ageng, modifikasi gamelan juga masih terjadi di Kerajaan Demak. Modifikasi itu terjadi pada tahun 1.567-1.568 masehi. Kala itu, Sinuhun Ratu Tunggul ing Giri (mewakili Kerajaan Demak) akan membuat gamelan. Namun, dalam pembuatannya itu ada penambahan nada pada instrumen-instrumen tertentu, di antaranya: 1) bonang ageng pelog ditambah dua buah menjadi 14 buah, 2) bonang panerus pelog ditambah 2 buah menjadi 14 buah, 3) gender ditambah 1 menjadi 13 bilah, 4) gender panerus ditambah 1 menjadi 13 bilah, 5) demung ditambah 1 menjadi 7 bilah, 6) slenthem ditambah 1 menjadi 7 bilah, 7) saron barung ditambah 1 menjadi 7 bilah, dan 8) saron panerus ditambah 1 menjadi 7 bilah.

Pada tahun 1.595-1.596 masehi, Prabu Hadiwijaya dari Pajang berkeinginan membuat rebab dan calempung. Calempung laras salendro mempunyai 12 dawai, sedangkan laras pelog mempunyai 14 dawai. Selain itu, Prabu Hadiwijaya juga menggubah beberapa gendhing untuk dimainkan.

Saat ini, instrumen dalam ansambel gamelan begitu kaya. Bahkan, gamelan dijuluki sebagai orkestra terbesar ke dua di dunia. Sebenarnya, instrumen dalam gamelan masih sering dimodifikasi. Seringkali pengrawit-pengrawit di era ini menambahi instrumen-instrumen lainnya.

Kronik gamelan Jawa dalam Serat Wedhapradangga ini kiranya mampu   memberikan pembelajaran. Bukan hanya kisahnya dari masa ke masa, melainkan dinamisnya gamelan dari masa ke masa. Salah satu faktor gamelan dapat bertahan hingga kini ialah karena mampu menerima kebaruan.

Selain itu, sosok-sosok yang memberikan kebaruan itu tidak lalu menanggalkan nilai-nilai estetis ataupun bentuk yang ada pada gamelan sebelum-sebelumnya. Barangkali, nilai itu layak untuk diaktualkan. Pelestarian sebuah tradisi bukanlah untuk mengungkung tradisi itu. Ia harus diserahkan pada zaman dengan syarat tetap memegang teguh nilai-nilai krusialnya. Dengan begitu, tradisi dapat lestari tanpa meninggalkan esensi dan pakem-pakem yang seharusnya tetap ada.

Banyak sekali tradisi yang usang dan uzur akibat idealisme yang mengungkung tradisi itu. Sikap terbuka adalah sebuah kunci. Kesadaran atas nilai tradisi adalah sikapnya. Kendati tradisi diserahkan pada zaman, namun wujud pelestariannya tidak akan asal-asalan. Memang suatu hal yang rumit, namun gamelan sudah membuktikannya.

Penyunting: Nadya Gadzali