Tak ada usia yang terlampau muda untuk mendengarkan lagu-lagu Sirkus Barock. Konser bertajuk "Bicaralah dengan Cinta" yang digelar tiga pekan lalu (21/1) di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat berhasil membangkitkan nostalgia dan sisi sentimental para penggemar Sirkus Barock dari berbagai kalangan dan usia.

Penampilan ansambel musik kontemporer Sirkus Barock yang kaya akan idiom tradisi dalam balutan genre rock kali ini beranggotakan Joel Tampeng (akustik elektrik gitar), Ucok Hutabarat (biola), Bagus Mazasupa (keyboard), Denny Dumbo (perkusi, suling) Ruben Panging Kayon (gitar akustik), Hasnan Hasibuan (cello), Wasis Tanata (drum), dan Tauhid Subarkah (bass).

Turut melengkapi formasi, tiga orang vokal latar terdiri dari Alfred Mailoa, Bonita Adi, dan Suzan Piper, serta maestro gitar elektrik, Totok Tewel, yang sudah bersama Sawung Jabo sejak Swami, Dalbo, Kantata Takwa, dan saat ini Sirkus Barock.

Musisi balada legendaris, Iwan Abdulrachman, membuka konser Sawung Jabo dengan gaya bertuturnya yang khas. Perkenalan mereka, kata pencipta lagu Burung Camar itu, berawal dari keikutsertaan Jabo di Sekolah Pendaki Gunung Wanadri empat dekade silam.

Ciri budaya, spiritual, dan penghayatan terhadap alam selalu melatari proses kreatif Sawung Jabo sehingga karya-karyanya menjadi sarat akan penggalian makna hidup dan penyadaran.

"Karya-karya Jabo adalah ekspresi pengalaman batinnya", ungkap Iwan. Di dalamnya terpancar kejujuran, kedisiplinan, dan kepekaan Jabo dalam mengamati berbagai fenomena.

Budi Cilok, Baruna, dan seniman perkusi asal negeri kangguru, Ron Reeves, tampil bergantian sebagai musisi kolaborator pada konser Sirkus Barock kali ini. Begitu pula dengan Hari Pochang yang pernah selingkup pergaulan dengan Jabo saat grup musik "BalladNa" terbentuk di Kota Bandung.

Sawung Jabo, Sirkus Barock, dan musisi kolaborator dalam konser "Bicaralah dengan Cinta"/Nadya Gadzali

Meski kondisi kesehatannya menurun beberapa tahun terakhir, Jabo tetap tampil memukau di atas panggung. Ia masih seperti dulu, yang memetik gitar, bersenandung, dan berseloroh dengan sesama musisi di atas pentas.

Mochamad Djohansyah alias Sawung Jabo memang dikenal pandai mengundang gelak tawa penonton dan membuat musisi yang membersamainya di atas panggung tak berkutik menanggapi humornya, di samping ia juga seniman yang serius berkomitmen dalam melahirkan karya-karya yang sarat akan renungan.

Tema ketuhanan, alam, dan kemanusiaan menjadi nafas kekaryaan Sawung Jabo. Lirik dan aransemennya merefleksikan relung terdalam sang kreator yang kritis menyikapi berbagai persoalan di negeri ini, bahkan di dunia yang kini tengah dirundung kebencian, perselisihan, dan permusuhan.

Tajuk konser Bicaralah dengan Cinta yang dipetik dari salah satu judul lagu dalam album Anak Angin (2012) kemudian hadir sebagai antitesis. Diangkat ke permukaan untuk menyingkap tabir harmoni melalui empati, welas asih, dan bahasa cinta dalam format musik folk yang dikonfigurasi dalam lirik dan aransemen lagu yang sedekat mungkin dengan realitas kehidupan masyarakat.

Pendengar yang mengakrabi lagu-lagu Sirkus Barock sejak album pertama tentu menangkap adanya kerisauan, perasaan tergugah, dan penjiwaan manusia tatkala dihadapkan pada berbagai fenomena. Penari Jalanan yang dirilis tahun 1986 bersama Penjelajah Alam, mengisyaratkan gumam batin Sawung Jabo akan pergulatan hidup rakyat jelata.

Memadukan unsur Timur dan Barat, atmosfer yang terbangun malam itu semakin menguatkan anggapan bahwa konser Sawung Jabo bukan hanya sebuah estetika melainkan peristiwa budaya, sebagaimana diungkap Bens Leo 10 tahun lalu tatkala Sirkus Barock menggelar konser "Cerita dari Jalanan". Di dalamnya tergambar kecintaan Jabo terhadap alam, budaya, dan pengisahan dirinya tentang kehidupan fana yang berlumuran waktu.

Konser "Bicaralah dengan Cinta" yang digelar di gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat dibawakan selama dua jam penuh, nyaris tanpa jeda dengan setlist sebagai berikut: Burung Kecil, Kemarin dan Esok, Dihatimu Aku Berlindung, Anak Angin, Sudah Merenungkah Kau Tuan, Mengejar Bayangan, dan Petualangan Awan, Bicaralah Dengan Cinta, Bukan Debu Jalanan, Penjelajah Alam, dan Menjadi Matahari.

Dilanjutkan dengan Burung Putih, Kalau Batas Tak Lagi Jelas, Bisikan Langit, Penari Goyang, Hio, termasuk di antaranya trilogi Senandung Anak Wayang, Anak Wayang, dan Satu Langkah Sejuta Cakrawala yang lekat dengan unsur tradisi namun tetap relevan dengan keadaan saat ini.

Lingkaran Aku Cinta Padamu dipilih sebagai lagu penutup. Di saat bersamaan, Jabo menyeru penonton untuk meninggalkan tempat duduk dan mendekat ke arah panggung. Dengan segera, keriuhan pun terjadi. Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat semakin intens seiring irama lagu terakhir yang memberi kesan energik.

Membaca gairah Jabo dalam semesta pertunjukan, tak berbeda dengan dirinya di luar pentas. Kejujuran, kedisiplinan, dan semangat persaudaraan Jabo, menurut pindaian Iwan Abdulrachman, ditempa di berbagai organisasi yang ia ikuti, baik Wanadri, Bangau Putih, maupun Bengkel Teater bentukan Rendra.

Musisi balada legendaris Iwan Abdulrachman memberi pengantar dan opening act pada konser Sirkus Barock, Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat (21/1)/Nadya Gadzali 

"Kita yang mendengarkan lagu-lagu Jabo, keprok we hungkul (hanya bisa tepuk tangan), padahal latihanna edun (padahal proses latihannya luar biasa)", Iwan menyoal proses dan kerja keras di balik pengkaryaan Jabo ketika mempersiapkan garapan musik.

Repertoar 20 lagu dalam konser Sirkus Barock dikemas secara teatrikal. Tata panggung berlatar kayon (gunungan wayang) menjadi perwujudan jagad pakeliran dengan pesan damai sebagai lakonnya.

Pengaruh beragam sumber bunyi dari instrumen musik tradisional, terutama Jawa, dipadukan dengan unsur pembentuk estetika dari dunia Barat—seperti gitar elektrik, drum, bass, keyboard, dan harmonika—menghasilkan corak dan konsep musik yang unik.

Dualitas itu menjadi sungkup identitas dalam aransemen musik Jabo yang notabene merupakan Arek Suroboyo. Namun di saat bersamaan, ia juga tampak ingin membebaskan musik dari beban kulturalnya, sehingga lahirlah orkestra Sirkus Barock. Keduanya merefleksikan sosok Jabo yang luas dalam pemikiran dan pergaulan.

Setengah abad bukan waktu yang sebentar bagi Jabo berkiprah di skena musik yang tak mengarus utama, yang tak ada jaminan bagi karya-karyanya akan terus bertahan di panggung pertunjukan, atau mungkin hanya segelintir penikmat musik saja yang kelak meromantisir kejujuran dan keluguannya dalam berkarya.

Tetapi sebagai seorang pengkarya yang terilhami oleh banyak peristiwa, ingar bingar panggung festival tentu bukan satu-satunya capaian. Ia dibesarkan oleh proses, maka tak menjadi soal jika sewaktu-waktu harus melesap ke ruang wacana dan pada kesempatan lainnya kembali menyalak di atas pentas.

Di penghujung malam, Jabo dan Sirkus Barock berpamitan seraya membawakan lagu bertajuk Lingkaran Aku Cinta Padamu. Sampai di sni, tak ada yang lebih berkesan daripada perjumpaan yang meski sesaat, namun memantik rasa persaudaraan dan menggugah perenungan.

Kini kami berkumpul
Esok kami berpencar

Berbicara tentang kehidupan
Berbicara tentang kebudayaan
Berbicara tentang ombak lautan
Berbicara tentang bintang di langit
Kami berbicara tentang Tuhan
Berbicara tentang kesejatian
Tentang apa saja