Tembang macapat merupakan nuansa kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pada zaman dahulu, macapat merupakan sebuah seni dalam memaknai kehidupan, kemudian ditembangkan menjadi sebuah syair irama yang merdu sesuai titilaras.

Sederhananya, macapat merupakan sastra kuno yang memiliki pakem tertentu. Dalam sejarahnya, asal mula macapat diartikan “membaca empat- empat” sebuah syair, kidung, atau gubahan. Menurut beberapa ahli sastra jawi, tembang ini diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Sri Banjar Sari di Sigaluh sekitar tahun 1279 Masehi.

Ada yang mengatakan bahwa tembang ini dibawa oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam (Haidar, 2018) "Tembang Macapat dengan Manusia". Seluruh tembang macapat memiliki persambungan dengan kehidupan manusia, maka setiap yang terkandung di dalamnya memiliki nilai- nilai filosofis sekaligus eksistensialis, di mana tembang tersebut menjadi representasi manusia sebagai cermin untuk manusia lainya dalam menanggapi suatu fenomena.

Misalnya tembang mijil yang bermakna keluar, merupakan fase di mana manusia keluar dari rahim ibunya dan semata-mata menggenggam hakikat sebagai manusia. Mijil bersinonim dengan kata lawing, yang juga bermakna tumbuh- tumbuhan berbunga yang baunya wangi.

Maskumambang berarti emas, sesuatu yang berharga, dan kumambang yang mengapung ialah sindiran untuk manusia. Di dalam rahim merupakan sesuatu yang berharga dalam siklus hidup manusia, atau juga berasal dari kata premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumbang dari kata "Ka" dan "Ambang" atau kamwang dan kembang (Noviati, 2018).

Sinom yang berarti juga si enom adalah fase di mana manusia mengalami proses awal kehidupan, atau juga perkumpulan pemuda untuk membantu menemukan tujuannya di dunia ini. Tetapi ada juga menurut pendapat lain bahwa sinom merujuk pada upacara anak muda zaman dahulu.

Kinanthi berarti bergandengan dengan teman, nama, atau sebuah benda yang menunjukan sisi simbolis sebagai tuntunan untuk mencari suatu pelajaran yang baik. Sedangkan asmaradhana berasal dari kata asmara dan dhana yang menggambarkan dewi percintaan, manusia yang dilabuh asmara dan membakar jiwa.

Gambuh yang berasal dari kata jumbuh atau kecocokan juga berarti ronggeng, tahu, terbiasa, di mana manusia akan terbiasa dengan asmara yang sedang dijalinnya. Dhandhanggula yang bermakna kata dandang atau penanak nasi, dan gula sebagai pemberi rasa manis, memiliki nilai filosofis di mana manusia sudah berhasil membina rumah tangga. Kata ini juga diambil dari nama Raja Kediri, Prabu Dandang Gendis (Noviati, 2018).

Durma berasal dari istilah Jawa klasik yang berarti harimau atau bahasa filosofisnya “munduring tata krama”, fase di mana manusia ada kalanya mengalami keimanan yang menipis, terkadang mendorongnya untuk berbuat jahat (tergantung nafsunya).

Pangkur merupakan kata yang diambil dari piagam-piagam Jawa Kuno. Dalam Serat Purwaukara, pangkur diberi arti buntut atau ekor, juga bisa dimaknai “mungkur”. Maksudnya adalah manusia harus meninggalkan hawa nafsu negatif yang menggerogotinya.

Megatruh berawal dari awalan am, pegat, dan ruh yang berarti putus atau pisah, atau “megat-ruh”, fase di mana manusia diangkat rohnya dan kembali kepada sangkan paraning dumadi.

Yang terakhir adalah pocung yang berasal dari nama biji kepayang, dalam bahasa lain bisa dimaknai “pocong”, manusia yang sudah dibungkus kain kafan dan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah ia lakukan (Noviati, 2018).

Itulah tematik tembang macapat, semua memiliki dimensi yang berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Keberagaman itu merujuk pada suatu objektifikasi, yakni manusia sebagai homosentris, keberadaan manusia beserta perlengkapanya dalam kehidupan.

Manusia-manusia agony, matinya spiritualitas

Mengapa manusia pada hari ini mengalami kejenuhan dan kelelahan yang hebat?, hidupnya terlalu diatur oleh sebuah sistem atau kumpulan manusia yang rumit, dan pada akhirnya ia kehilangan prinsip dalam berkehidupan. Manusia Agony merupakan manusia yang mengalami derita batin luar biasa disebabkan oleh tuntutan modernitas dan digitalisasi.

Pola hidup yang jauh dari kebebasan (freedom) dan terikat sebuah sistem memaksa manusia untuk mengikutinya, jika tidak ia tidak akan maju. Manusia hampir tidak dapat lepas dari penderitaan, bahkan boleh jadi peradaban itu penderitaan yang terikat di dalamnya, kebutuhan akan teknologi menjadikan manusia bergantung pada sesuatu yang manusia merasa bisa mengendalikannya, padahal manusialah yang dikendalikan.

Manusia hanya dapat merasakan upaya dari sistem itu sendiri dan tidak dapat lepas dari kendali sistem, “Argonaut Raksasa” itu adalah hasil dari ilmu pengetahuan manusia. Humanoid, artificial intelligence, dan senjata bio-kimia membuat diri manusia semakin hilang dari keotentikan manusia sebagai homo religius.

Anatomi hidup bagi Kierkegaard seharusnya tidak kehilangan spiritnya. Ia mengungkap suatu kehidupan yang berada dalam tegangan keputusasaan dan   penemuan diri. Situasi putusnya relasi terjadi sekali lagi lantaran ada hal yang mengganggu pada batin seseorang, gangguan ini disebut agony, mungkin karena manusia itu sendiri yang bergantung pada akal atau rasionalitas dan algoritma sistemik, tetapi ia tidak menyadari bahwa akal bergandengan dengan budi yang dihasilkan oleh Spiritual Quotient (Andri Fransikus, 2019).

Maka dari itu, tulisan ini akan membedah tafsir-tafsir tembang macapat lebih spesifik yakni tembang “pangkur” dengan korelasi pemikiran Soren Kierkegaard tentang manusia agony yang kehilangan dirinya sendiri diatas sebuah sistem yang rumit dalam kehidupan.

Refleksi Tembang Pangkur dengan kehidupan despair penuh algoritmik

Pangkur dikaitkan dengan makna undur diri di mana fase manusia mengalami perjalanan spiritual dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Hari ini media penuh dengan gaung narasi yang berujung ambiguitas, suatu sistem di mana dikendalikan oleh sistem algoritmik serba instan yang membawa pergolakan batin dan gejolak-gejolak hati, seperti harapan dan kekecewaan serta pengambilan keputusan eksistensial yang membutuhkan jawaban segera. Pergulatan yang bertujuan hedonisme membuat manusia terlena dan kehilangan spirit di dalam badannya, manusia tidak mengetahui bahwa di dalam dirinya ada Tuhan (Haryati, 2012).

Tembang pangkur sudah diperingatkan melalui Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV. Pupuh pertama bait 1 yang berbunyi mingkar mingkuring angkara (menjauhkan dan membelakangi sifat angkara), akarana karenan mardisiwi (karena berkehendak mendidik anak), sinawung resmining kidung (dibingkai dalam bentuk syair dan lagu), sinuba sinukarta (dihias dan diperbagus), mrih kretarta pakartining ngelmu luhung (biar menjiwai praktik ilmu luhur), kang tumrap neng tanah Jawa (yang bagi orang tanah Jawa), agama ageming aji (agama adalah pakaian bagi orang mulia).

Menurut Kierkegaard, eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yakni perpindahan dari bebas karena pilihan manusia. Dalam tembang di atas, pendidikan merupakan dasar untuk melatih manusia itu sendiri dalam menghadapi problematika yang semakin kompleks.

Agama dalam teks “ageming aji” bukanlah suatu doktrin dalam kesewenang-wenangan otoritatif, tetapi merupakan kebutuhan atas ketenangan jiwa manusia dalam menghadapi zaman yang penuh kompetisi, bersaing memperebutkan sesuatu yang semu seperti jabatan, dukungan suara, ketenaran, dan status.

Dalam proses menjadi makhluk rohani, Kierkegaard membagi ke dalam tiga tahapan. Pertama, tahapan estetik yang berorientasi kepada penghindaran dari kebosanan dan harus memiliki kehidupan menarik serta baru. Karena “kebosanan adalah akar dari kejahatan (boredom is the root of all evil) yang berkorelasi dengan paragraf pertama “mingkar mingkuring angkara” atau menjauhi sifat angkara, dengan cara menghindari kebosanan destruktif, yakni kebosanan dengan diri sendiri (Haryati, 2012).

Tahap etik di mana Kierkegaard melihat sejauh mana manusia mengalami kebosanan akan pengalaman duniawi dan lebih memfokuskan diri untuk menyadari hal yang bathin.Seperti yang tersirat dalam Bait ke-5 Serat Wedhatama yang berbunyi: mangkono ngelmu kang nyata (demikianlah ilmu yang sejati), sanyatane mung weruh reseping ati (sebenarnya hanya menyenangkan hati), bungah ingaranan cubluk (gembira bila dianggap bodoh), sukeng tyas yen denina (senang hati bila dihina), nora kaya si punggung anggung gumrunggung (tidak seperti si dungu yang sombong dan banyak suara), ugungan sadina- dina (ingin dipuja sehari- hari), aja mangkono wong urip (jangan seperti itu dalam pergaulan).

Dalam hal ini manusia mulai bergerak dari jurang ketidakbermaknaan, sampai ke eksistensi etis dan berorientasi pada hal- hal yang bersifat substantif. “Mangkono ngelmu kang nyata, sanyatane mung weruh reseping ati”, kehidupan bathiniyah merupakan aspek terpenting dalam manusia memahami hakikat suatu pengalaman, dirinya yang memegang prinsip hedonisme.

“Ugungan sadina-dina'', dibuangnya jauh- jauh dan mulai menghayati nilai- nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan kata lain, ia sudah passion dalam menghadapi hidup dan mulai melawan penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam dirinya maupun orang lain yang tidak sesuai suara hati dan kepribadianya.

Kemudian tahap religius menurut Kierkegaard adalah tahapan manusia yang mengalami penegasan ketundukan orang lain dan bergantung kepada hal yang transeden (Tuhan) sebagai bentuk sumber eksistensi personal. Menurutnya juga manusia adalah individu bagi dirinya sendiri, tetapi manusia juga individu dihadap Tuhan.

Hubungan keduanya adalah suatu hal yang unik, Seperti yang dijelaskan pada bait ke-12 pangkur yang berbunyi: sapantuk wahyuning Allah (siapa yang dapat wahyu Tuhan-Nya), gya dumilah mangulah ilmu bangkit (lalu segera mampu menguasai ilmu), bangkit mikat reh mangukut (mampu menguasai ilmu kasampurnan), kukuting jiwangga (kasampurnan diri pribadi), yen mangkono kena sinebut wong sepuh (orang yang demikian yang pantas disebut orang tua), lire sepuh sepi hawa (arti tua adalah jauh dari hawa nafsu), awas roroning atunggil (tajam dalam melihat dwi tunggal).

Dalam tafsiran di atas, orang yang mendekati kesempurnaan akan disebut tua dalam artian dewasa menjalani dan memahami kehidupan. Pada tahapan ini, manusia tidak lagi mengalami despair atau keletihan yang akut dan mendapat wahyu dari Tuhan untuk memahami “Manunggaling Kawulo Gusti”.

Dalam hal ini, Allah menyatakan diriNya di dalam kesadaran manusia. Artinya, orang dapat menjadi sadar akan dosanya karena di bawah naungan Tuhan-Nya. Maka dari itu, tembang macapat merupakan tembang yang menyajikan nuansa spiritualitas dalam rangka menjaga keseimbangan emosi manusia atas dunia yang penuh keterbukaan hari ini. Manusia seolah dituntut untuk menjadi suatu hal yang menghasilkan status, bukan menghasilkan karakter yang otentik.

Kesimpulannya, Tembang Macapat merupakan tembang yang menyajikan tuntunan dalam menghadapi zaman sekaligus bahan untuk bermuhasabah agar lebih mencintai diri sendiri, berfokus pada kendali diri, dan menjadi pribadi yang unik sekaligus otentik.

Penderitaan adalah suatu keniscayaan. Melalui metode yang digagas Soren Kierkegaard, diharapkan kita mampu untuk mencapai tahapan religius tanpa doktrin maupun dogma, melainkan yang murni diperoleh dari kesadaran dan hal yang bersifat transenden, sebab manusia memiliki god spot (tempat Tuhan) di dalam dirinya.

Penyunting: Nadya Gadzali