Tradisi memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw (12 Rabiul Awal) bagi suku Makassar disebut Maudu’ Lompoa, artinya maulid besar. Namun tradisi tersebut dirayakan setiap tanggal 29 Rabiul Awal sebagai penutup dan puncak perayaan.

Bagi orang di Sulawesi Selatan, maudu’ lompoa bukan lagi sesuatu yang asing di telinga mereka. Sebab, setiap tahun dirayakan oleh masyarakat di Desa Cikoang, Kabupaten Takalar. Bagi orang di Kabupaten Takalar, perayaan maudu’ lompoa juga dirayakan di sejumlah titik di wilayah yang bersuku Makassar, namun pusatnya berada di Desa Cikoang.

Beberapa literatur sejarah dan penelitian yang dilakukan Abrian A. Kusuma (2022) mengungkapkan bahwa perayaan tradisi maudu’ lompoa diperkirakan sudah ada sejak tahun 1621. Tradisi tersebut diperkenalkan oleh seorang ulama yang berasal dari Aceh bernama Sayyid Jalaluddin Al-Aidid.

Kedatangan beliau di Pulau Sulawesi adalah dalam rangka menyebarkan agama Islam dan menetap di Desa Cikoang Kabupaten Takalar, kemudian ia diyakini merupakan keturunan Rasulullah SAW yang ke-27.

Menyusul penelitian Husnul Fahima (2022) yang menemukan bahwa Syech Yusuf Al-Makassary (tuanta salamaka) juga belajar banyak tentang agama Islam di Sayyid Jalaluddin Al-Aidid. Kedatangan ulama tersebut berada pada periode kepemimpinan Sultan Alauddin di kerajaan Gowa, namun pengaruhnya dianggap belum terlalu kuat.

Belakangan, pengaruh keislaman Sayyid Jalaluddin Al-Aidid menguat di wilayah Suku Makassar, ketika dirinya menikah dengan putri Kesultanan Gowa, I Acara’ Daeng Tamami bin Sulthan Abdul Kadir Karaengta ri Bura’ne bin Sultan Alauddin.

Menguatnya pengaruh keislaman Sayyid Jalaluddin Al-Aidid di Suku Makassar sampai saat ini dapat kita temui dalam peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (maudu’ lompoa) sebagai warisan budaya keberislaman yang setiap tahun dirayakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan.

Menariknya, terdapat beberapa makna yang menggambarkan spiritualitas dan kemanusian Suku Makassar dalam setiap unsur perayaan maudu’ lompoa. Hal ini didasarkan pada hasil interpretasi kumpulan literatur dan wawancara ketika penelitian berlangsung di daerah Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, tahun 2022 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan maudu’ lompoa di Desa Cikoang sebagai pusatnya.

Suku Makassar yang masih merayakan maudu’ lompoa, mendefenisikan persandingan agama dan kebudayaan sebagai panjarreki (penguatan). Mereka meyakini bahwa agama menguat karena bersanding dengan kebudayaan. Agama tanpa budaya bagaikan telur di ujung tanduk, orang mudah goyah bahkan berpindah keyakinan. Dengan begitu, maudu’ lompoa dianggap sebagai tradisi penguatan keislaman mereka.

Maudu’ yang bermakna “kedirian Muhammad” atau maulid tersurat di sebuah kitab bertulisan arab, namun ketika dibaca ternyata berbahasa Makassar. Orang di Takalar mengatakan kitab tersebut bersumber dari Syech Yusuf Al-Makassary, yang mengisahkan sosok Baginda Ali sebagai sahabat yang pertama melakukan maudu’ dalam rangka memperkuat keyakinan umat Islam, pasca kematian Rasulullah SAW yang dirayakan tepat di hari kelahirannya.

Beberapa kutipan dari kitab tersebut mengisahkan bahwa Baginda Ali pernah berkata: “jika ingin menghidupkan kembali nabi atau melihat wajahnya maka dirikanlah maudu’ atau mauduki kalengnu (maulid untuk diri sendiri atau Muhammad)”.

Menghadirkan makna kedirian Muhammad dalam terminologi Makassar yang berarti mendirikan kita sendiri sebagai manusia. Pasalnya, semua manusia memiliki satu nama yakni Muhammad. Begitulah orang Makassar mendefenisikan kedirian Muhammad yang saling terkait dengan unsur-unsur di dalam tradisi maudu’ seperti  beras, telur, gambar manusia, bakul, telur yang ditusuk bambu, ayam, sarung, waje atau dodoro, a’rate’ atau barasanji.

Berikut makna dari beberapa unsur yang disediakan dalam acara maudu’ lompoa untuk tubuh nabi atau kedirian manusia yang berhasil dirampungkan:

1) beras, simbol makanan di kemudian hari;

2) telur, rahasia atau jiwa manusia;

3) gambar manusia, bermakna gambaran diri sendiri;

4) bakul, perwujudan tubuh;

5) telur yang ditusuk bambu, lambang persatuan jiwa manusia, saling menghargai, dan mencintai;

6) ayam, representasi nyawa;

7) sarung, penutup tubuh;

8) waje atau dodoro, persatuan suku yang saling menabur kebahagiaan dalam kehidupan;

8) a’rate atau barasanji, yang berarti mengenang atau merenungi kembali kisah-kisah Rasulullah SAW ketika dilahirkan.

Makna maudu’ lompoa dari beberapa unsur yang disediakan, menyiratkan bahwa manusia dilahirkan di atas perbedaan untuk memperkuat solidaritas antar sesama manusia dengan sikap saling menghargai, menyayangi, serta kebahagiaan dalam kehidupan.

Menghadirkan kembali makna maudu’ lompoa di dalam masyarakat Suku Makassar sendiri sangat penting. Sebab, hubungan sosial yang carut-marut dapat diupayakan agar membaik dan harmonis kembali dengan memahami makna-makna yang terkandung dalam maudu’ lompoa.

Menggali makna dan memahami setiap unsur dalam perayaan maudu’ lompoa merupakan upaya yang dilakukan oleh para tokoh adat agar masyarakat Suku Makassar ikut merayakan hari kelahiran Rasulullah SAW dan tidak keliru dalam memaknainya.

Para tokoh adat khawatir jika masyarakat keliru mendefenisikan setiap unsur dalam perayaan maudu’ lompoa yang hanya dijadikan sebagai ajang tontonan untuk memperlihatkan strata sosial yang digambarkan dengan semakin besar bakul dan pernak-pernik dalam maudu’-nya, semakin bangga dan puas atas pencapaiannya.

Praktik keagamaan yang berbudaya dalam perayaan maudu’ lompoa dapat kita tarik garis besarnya, bahwa tradisi tersebut adalah upaya merawat ingatan tentang nilai spiritualitas manusia Makassar untuk menjaga sikap toleransi dan solidaritas sesama manusia.

Melalui maudu’ lompoa, upaya untuk menghadirkan kembali nilai-nilai kemanusian yang pernah dipegang erat oleh leluhur Suku Makassar di masa lampau menjadi sesuatu yang masuk akal.

Penyunting: Nadya Gadzali