Etnis.id- Masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan pada mulanya bukanlah penganut ajaran Islam. Para penyebar Islam baru datang antara abad 16 dan 17 atau sekira tahun 1600-an, berdasarkan catatan sejarah islamisasi Sulawesi Selatan di beberapa literatur.

Saya menggugatnya dengan alasan, apakah benar Islam datang seterlambat itu, sebab jika melihat hari ini, hampir seluruh masyarakat Sulawesi Selatan telah beragama Islam? Di manuskrip La Galigo saja, yang terdapat aroma Islam di dalamnya, diterjemahkan pertama kali pada abad ke-14.

Gugatan ini juga sempat disinggung oleh Akhmar (2018) dalam tulisannya Islamisasi Bugis. Ia mengungkapkan kecakapan dan kehebatan para penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan pada masa itu, sebab ia berhasil menembus suatu tatanan masyarakat yang dikenal keras dan memegang teguh ajaran leluhur.

Sebagai salah satu masyarakat Bugis, saya cukup dapat menginternalisasi maksud dari Akhmar. Sebagian besar masyarakat suku Bugis, entah itu yang tinggal di daerah urban, semi urban atau perkampungan sekali pun itu terpencil, telah menganut agama Islam.

Mudah dicermati. Dalam beberapa perjalanan menelusuri beberapa wilayah di Sulawesi Selatan, kita tidak akan sulit menemukan masjid-masjid. Bahkan di daerah Pangkep yang masih memiliki banyak bissu (pemangku adat dalam suku Bugis) dikenal sebagai daerah seribu masjid.

Penamaan itu jelas saja karena Pangkep memiliki banyak masjid dengan bangunan yang cukup megah. Karakter manusia-manusia Bugis yang kokoh memegang kepercayaan leluhur dan keberhasilan Islamisasi Bugis, menimbulkan satu kejanggalan.

Bisa saja, Islam datang di Sulawesi Selatan, jauh sebelum abad ke-16. Bisa pula berpuluh abad sebelumnya. Logikanya, masyarakat Bugis tidak akan semudah itu menerima Islam. Apalagi mereka waktu itu, masih memegang teguh kepercayaan to riolo (orang dulu). Mereka kemungkinan besar membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengerti, memahami, hingga membuka hati pada ajaran baru.

Masyarakat Bugis sejak awal menjadikan seluruh aspek kehidupannya, mulai dari kelahiran hingga kematian, harus melalui ritual adat dan itu menjadikan mereka tidak mudah mengubah kepercayaan dan pola hidupnya yang sarat dengan ritual.

Hari ini, pelaksanaan ritual menjadi sangat jarang didapatkan. Keberhasilan islamisasi Bugis dapat ditelisik melalui panngaderreng. Sebuah sistem, norma dan aturan-aturan adat dalam suku Bugis. Di dalamnya, seluruh sendi kehidupan masyarakat Bugis diatur.

Pada fase kedatangan Islam, aspek panngaderreng ditambah dengan unsur Islam. Mattulada dalam bukunya, Latoa (1985), menulis bahwa orang Bugis menyebut pranata Islam menggenapkan keempat aspek panngaderreng mereka, menjadi lima. Sehingga, tersusunlah sendi-sendi kehidupan masyarakat Bugis atas ade', bicara, rapang, wari dan sara'.

Hal itu menunjukkan bahwa Islam semakin diterima dan secara langsung telah menjadi bagian dari jati diri manusia Bugis (panngaderreng). Ade' jika diartikan ke Bahasa Indonesia bermakna adat. Ada juga yang menyebut ade’ berasal dari Bahasa Arab, yakni adat yang berarti aturan. Jika demikian, maka istilah ade’ hadir pada masa kedatangan Islam.

Anggapan demikian menurut Mattulada, niscaya salah, karena pengaturan hidup orang Bugis dengan pranata-pranatannya selalu ada, mendahului adanya kontak dengan pemakai bahasa Arab atau kebudayaan Islam.

Dalam aspek panngaderreng, ade' mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis. Dalam perspektif barat, ade’ bisa mewakili istilah common custom.

Bicara dalam Bahasa Indonesia berarti berbicara dan dalam aspek panngaderreng dapat dimaknai sebagai semua keadaan yang bersangkut-paut dengan masalah peradilan. Bicara membicarakan setiap persoalan yang terkait hak dan kewajiban dalam interaksinya dengan masyarakat dan badan hukum.

Rapang dalam Bahasa Indonesia memiliki arti contoh, ibarat, perumpamaan. Menurut fungsinya, rapang berarti undang-undang yang pada dasarnya melindungi, menjaga ketetapan, keseragaman dan keberlangsungan suatu tindakan berlaku konsisten dari waktu yang lalu sampai masa kini dan masa depan. Jika ditarik dari fungsinya yang melindungi, maka rapang memilki bentuk pemali. Hampir seluruh bentuk pemali di Tana Ugi (Tanah Bugis) bertujuan melindungi dan secara sistem dapat digolongkan dalam rapang.

Wari dalam Latoa merupakan perbuatan yang mappallaisange (yang tahu membedakan). Wari berfungsi sebagai tata-negara. Sementara pranata kelima adalah sara’ yang mengatur tentang syariat Islam. Lalu melalui pranata sara’, berlangsunglah penerimaan Islam yang lambat laun seolah menegaskan bahwa Islam identik dengan kebudayaan Bugis dan segala aspek-aspeknya.

Sara' menurut Mattulada, menjelaskan kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah ada, tidak meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal kepercayaan terdahulu.

Dalam pertemuan dua budaya baru, jika dipikir lebih dalam, mampu membuat ketegangan. Tetapi dalam kasus pertemuan agama Islam dan budaya Bugis, justru yang terjadi adalah perpaduan yang saling menguntungkan pada masa itu.

Hadirnya sara' seolah ingin menegaskan bahwa suku Bugis dan ajaran Islam cukup identik. Kita patut bercuriga bahwa masuknya sara' ke dalam aspek panngaderreng, tidak lain sebagai strategi dakwah yang dilakukan para penyebar Islam dan ketika itu cara demikian cukup tepat, karena pendekatan melalui pemahaman atas struktur sosial dan adaptasi kultural (bukan adaptasi iman) dengan mudah mencapai sasaran penyiarannya.

Selain panngaderreng, dalam La Galigo versi Bottinna I La Dewata Sibawa We Attaweq, ternyata terdapat unsur Islam juga dalam kisahnya. Masih dalam penelitian Akhmar, ia mengulas komposisi-komposisi La Galigo yang di barisnya terdapat doa bahasa Arab, ayat Alquran dan nama-nama Allah. Kesimpulannya, Islam dan budaya serta tradisi Bugis berhubungan dekat sejak lama.

Lebih dari itu, Gibson (2009) salah satu peneliti kebudayaan Bugis, melihat bahwa negosiasi adat Bugis dan Islam sangat bekerja. Baginya, walaupun Islam telah berkembang dan menggeser pemikiran mengenai animisme, namun raja-raja yang berkuasa tidak pernah benar-benar meninggalkan mitos, ritual dan benda-benda keramat yang melegitimasi kekuasaan mereka. Makanya, peranan pemangku adat sangat dibutuhkan dari masa ke masa.

Seiring perkembangannya, Islam semakin tersebar dan masuknya Islam dalam aspek panngaderreng menegaskan, sejak awal Islam telah menancapkan pengaruhnya dalam kebudayaan Bugis dan tentu saja, jauh dari abad ke-16 maupun ke 17.

Editor: Almaliki