Suku tradisional yang masih menganut adat istiadatnya, memang selalu menarik perhatian. Masyarakat di sana masih mempertahankan budaya para leluhurnya. Nilai-nilai kebaikan yang penuh makna filosofi ini terus dipegang teguh sepanjang hayat, hingga memberikan pelajaran ke generasi penerusnya.
Serangan-serangan budaya dari luar yang begitu gencar, seakan enggan untuk mengubah kekhasannya. Kemajuan teknologi juga tentunya sangat mempengaruhi cara berpikir manusia, namun tak cukup untuk mengubah keasliannya. Demikian juga pada Suku Osing, Banyuwangi. Pandangan mereka tentang hidup sejak dulu hingga sekarang, sepertinya tidak pernah berubah.
Pesan-pesan dari leluhur terus mereka lestarikan hingga saat ini. Seperti yang ada di Dusun Dukuh, Desa Glagah yang ada di Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Desa yang dikelilingi hamparan sawah hijau ini masih terus melanjutkan tradisi nenek moyangnya.
Orang-orang di Desa Glagah dikenal sebagai Suku Osing. Mereka menyebut diri mereka sebagai Lare Osing (Orang Osing). Banyak tradisi Lare Osing yang mempunyai nilai kebaikan dan terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Dari cara mereka bercocok tanam, memaknai pagebluk, hingga tata cara berkeluarga.
Di antaranya ialah tradisi Semoyo Putu yang memiliki arti "janji seorang cucu kepada kakek dan neneknya untuk memberikan kebahagiaan". Tradisi ini dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran anak hingga cicit, sekaligus sebuah janji yang diberikan cucu kepada simbahnya.
Semoyo Putu mengambil hikmah dan manfaat dengan menunjukkan keberhasilan orang tua dalam memimpin anak dan cucu, serta menunjukkan pengabdian anak dan cucu kepada orang tuanya.
Pada tradisi Lare Osing ini, seluruh keluarga wajib menunjukkan pengabdian kepada orangtua. Karena sehebat dan seberapapun berprestasinya seorang anak, di dalamnya tentu tersisip doa orang tua.
Sang anak harus menunjukkan bakti kepada keluarganya dengan terus menjaga tali silaturahmi. Dalam Semoyo Putu, seluruh anak dan cucu yang lama tidak berjumpa kemudian dikumpulkan.
Mereka berkumpul, meski terkadang saat hari raya hanya sebagian saja yang datang. Namun, khususnya pada tradisi ini, seluruh keluarga diharuskan datang. Seluruh anggota keluarga turut berpartisipasi. Tradisi ini semacam ruwatan bagi keluarga Suku Osing. Jika tidak dilaksanakan, mitos bahwa akan ada anggota keluarga yang menderita lumpuh, dipercaya akan terjadi.
Saya menghadiri tradisi Semoyo Putu yang diadakan di halaman Sanggar Seni Othek Campursari Cempaka Putih selepas zuhur. Seluruh warga desa keluar rumah dengan pakaian rapi untuk mengikuti Semoyo Putu.
Keluarga yang melaksanakan prosesi ini adalah keluarga Pak Lasmidi. Dimulai dengan pembakaran kemenyan disertai dengan doa-doa kepada leluhur. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan risalah dari Semoyo Putu, serta makna dan filosofi dari cokbakal (uborampe) yang disajikan.
Dalam Semoyo Putu, dijelaskan oleh Pemangku Adat, bahwa seluruh makna di setiap prosesinya, berfungsi agar kebajikan yang diajarkan dari tradisi ini dapat tertanam di dalam jiwa setiap hadirin.
Seperti pujer atau tunas kelapa yang berarti setiap orang itu harus jejeg atau tegak pada pendiriannya. Lalu, kayu lirang yang juga disebut kayu cukup memiliki arti manfaat bagi masyarakat. “Wong urip iku kudu terus ngunduh kawruh”, ujar Pak Lasmidi yang memimpin upacara ini.
Lalu, juga ada beberapa makanan yang dijadikan cokbakal. Diantaranya, jenang abang sengkolo, jenang tawar, tumpeng serakat, poro bungkil yang adalah tumbuhan biji-bijian, polo pendem, dan polo gumantung, jajanan pasar, sego bolong, dan tumpeng pecel pithik. Semuanya memiliki makna dan filosofi mendalam yang hendak diajarkan dan ditanamkan lewat doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk semua yang hadir pada prosesi ini.
Selepas berdoa, acara dilanjutkan dengan makan-makan. Hidangan yang disajikan adalah pecel pithik dan ayam godhog yang diberi bumbu kelapa istimewa. Pecel pithik ini hanya disajikan saat prosesi adat suku Osing saja. Pada sesi bersantap bersama, hadirin dihibur dengan Seni Othek Cempaka Putih.
Ibu-ibu dari Desa Glagah ini menabuh lesung-lesung padi hingga memunculkan irama yang ritmis. Gendhing yang dimainkan diantaranya adalah selawat Nabi dan lantunan lagu Lir-ilir.
Setelah prosesi itu, dalam formasi duduk bersila, prosesi dilanjutkan dengan mandi jamas. Anak, cucu, beserta seluruh keluarga memandikan kakek dan neneknya. Mandi jamas adat asli di Dusun Dukuh ini juga memiliki makna mendalam tersendiri.
Seperti adanya cengkir (kelapa muda) dan benciri (labu kecil). Cengkir bermakna kenceng pikire (kencang dalam berpikir) dan benciri memiliki arti ngilangi roso benci lan iri (menghilangkan rasa benci dan iri). Air yang sudah dicampur bermacam-macam bunga dan uborampe itu pun langsung dimandikan oleh seluruh anggota keluarga kepada kakek dan nenek.
Mereka, secara bergantian memandikan simbahnya sebagai ritual pamungkas dari tradisi Semoyo Putu. Tradisi yang sarat akan filosofi dari Suku Osing ini terus dipertahankan dan tidak pernah tergerus oleh laju zaman.
Menjumpai Kepala Adat Suku Osing
Kunjungan saya ke Banyuwangi kali ini, sepertinya memang diberkati semesta. Selain karena dapat mencicipi pecel pithik yang merupakan makanan adat Suku Osing dan tidak dijual di sembarang tempat, saya pun dapat bertemu langsung dengan Kepala Suku Osing.
Beliau adalah Pak Usik, kakek berusia 62 tahun yang sangat ramah menyambut kedatangan saya dan kawan-kawan saya. Saya disambut dengan sego duren, yang adalah beras ketan dicampur dengan kuah santan durian.
Di rumahnya yang sederhana itu, kami banyak belajar tentang Suku Osing, suku asli dari Bumi Blambangan yang sedang mengalami proses alamiah dengan modernisasi. Lare Osing begitu menarik. Jika ada yang akan meninggal dunia, maka akan ada gejala alam yang dirasakan.
"Orang-orang itu seakan berpamitan, burung-burung bernyanyi dan pohon-pohon akan bergoyang. Karena itu, barangkali orang Osing tidak bertambah lantaran ketika ada yang lahir, juga ada yang mati", ujar Kepala Adat kepada kami.
Ia pun berkisah tentang sejarah Bumi Blambangan. Dari legenda Sri Tanjung, Saridin, hingga keadaan Desa Kemiren sekarang yang dijadikan Desa Wisata Adat oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Semua berbaur hangat dalam suguhan kopi nangka dan juga cemilan buah rambutan yang langsung dipetik dari pohon di depan rumah.
Diceritakan juga oleh Pak Usik, bahwa seluruh aktivitas kesehariannya masih memanfaatkan alam. Untuk air kali misalnya, masih digunakan untuk mandi, mencuci baju dan juga buang hajat. Oleh karena itu, sudah jarang masyarakat di desa itu yang memiliki kamar mandi.
Untuk pengobatan, masyarakat Osing juga masih menggunakan tanaman herbal yang ditanam oleh penduduk. Resepnya pun didapat secara turun menurun lewat penuturan tradisi lisan. Benalu kopi misalnya, digunakan sebagai bahan ajaib untuk mengobati kanker.
Begitu pula dengan padi. Mereka menggunakan lesung dari kayu nangka. Bagian menarik dari itu semua ialah bahwa Suku Osing sangat menyukai pesta. Banyak ritual yang diadakan oleh masyarakat dan melibatkan banyak orang, musik, tarian, dan tentunya hidangan.
Ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Osing pun tentunya diawali dengan membakar kemenyan. Selepas Isya, masyarakat pun kembali ke halaman Cempaka Putih untuk menonton pertunjukan Seni Othek Campursari hingga tengah malam.
Suara lesung yang berpadu dengan gamelan pun berbunyi kencang ke seluruh penjuru desa. Tidak ada yang terganggu. Mereka semua guyub (rukun) dalam kebersamaan, seperti yang telah disabdakan oleh leluhurnya. Kesenian itu berlangsung hingga larut malam dan masih terasa hikmat menontonnya, sedari dulu hingga sekarang.
Penyunting: Nadya Gadzali