Perjalanan kali itu, mengunjungi Pulau Abang bersama teman-teman dari Batam. Sungguh menarik untuk dituliskan kembali kisahnya, yaitu mengenai sistem mata pencaharian etnis Melayu Pulau Abang.

Kami terdiri dari tujuh orang, mengunjungi Pulau Abang dari beragam latar belakang budaya. Misinya adalah bagaimana kearifan lokal benar-benar dilaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari.    

Tim yang terdiri dari tujuh orang tadi, terdiri dari Ledi yang ditunjuk sebagai ketua tim, sekaligus putra daerah yang berasal dari Pulau Abang, Ferry seorang pegiat lingkungan hutan Mangrove (bakau) Batam, Widodo seorang pegiat komunitas sosial anak-anak, Kusyanto yang aktif di kegiatan agama dan sosial, Ade seorang nelayan sekaligus karang taruna Pulau Abang, dan saya yang giat menulis tema seni dan budaya di Pulau Batam.  

Usai berkenalan, mereka memberi kesempatan dan mempercayakan pada saya untuk meneliti serta menuliskan seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat etnis Melayu Pulau Abang.

Adapun jarak tempuh dari Kota Batam menuju Pulau Abang menggunakan motor maupun mobil, berkisar tiga jam perjalanan melalui "jembatan enam" yang menghubungkan beberapa pulau kecil yang ada disekitar pulau Batam, yaitu; Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru.

Masyarakat Batam biasa menyebut Barelang, yang berarti; Batam, Rempang, Galang. Kami pun melewati jembatan enam, lalu tiba di pelabuhan Hasim. Ferry mencari posisi tempat parkir untuk mobil off road yang kami tumpangi, kemudian dilanjutkan menginap selama dua hari di pelabuhan itu.

Sementara Ledi, telah menunggu kami di pelabuhan Pulau Abang, kemudian mengajak kami menaiki perahu miliknya. Perahu itu sering juga digunakan oleh Ledi untuk membawa kebutuhan sembako masyarakat Pulau Abang, mengingat kebutuhan sembako selalu didapat dari Pulau Batam.

Selain membawa sembako, perahu juga digunakan untuk membawa penumpang umum seperti kami. Ledi menjelaskan ada dua jenis transportasi laut ke Pulau Abang. Pertama, transportasi umum yang dikelola oleh dinas perhubungan Kota Batam, transportasi ini diperuntukkan bagi para wisatawan dan masyarakat. Ke dua, ada juga transportasi umum yang dikelola oleh masyarakat Pulau Abang sendiri. Perahu itu terkadang digunakan untuk pergi melaut mencari ikan, terkadang juga digunakan untuk mengangkut penumpang yang hendak menyambangi Pulau Abang.  

Perahu yang Digunakan Para Nelayan untuk Pergi Melaut/ Rivaldi Ihsan

Biasanya, ongkos untuk satu kali perjalanan dari pelabuhan Hasyim menuju ke Pulau Abang seharga Rp 30.000. Jika pulang-pergi, maka dibandrol seharga Rp 60.000. Sedangkan jarak tempuhnya sekitar 45 hingga 60 menit.  

Transportasi Laut untuk Mengangkut Penumpang/ Rivaldi Ihsan

Setibanya di Pulau Abang, kami pun disambut baik oleh Bapak Lurah. Usai memperkenalkan diri, Ledi sang putra daerah mengajak kami ke rumahnya untuk menikmati sajian makan siang sebelum melaksanakan salat Jumat.

Ramah tamah serta jamuan hidangan dari pihak keluarga Ledi saat menyambut kami, begitu mengesankan. Usai salat jumat, kami pun berdiskusi tentang agenda apa saja yang akan kami lakukan selama dua hari di Pulau Abang.

Pada pukul tiga dini hari, Ade bergegas menuju laut untuk mencari cume’ atau sotong. Terlintas di benak saya untuk mencari tahu bagaimana proses memancing cume’. Lalu, saya menawarkan diri pada Ade agar diperbolehkan ikut mencari cume’ di tengah laut.            

Kami pun berangkat melalui pelabuhan Pulau Abang menggunakan pompong milik Ade. Sebenarnya, saya belum pernah memancing di laut menggunakan pompong. Ade sedikit ragu dan bertanya kepada saya apakah sebelumnya saya sudah pernah pergi melaut menggunakan pompong?. Saya pun menjawab belum pernah, tapi tenang saja, saya tak mabuk laut sambil tertawa.

Pompong yang Digunakan untuk Memancing Cume'/ Rivaldi Ihsan

Memancing Cume’ sebagai Mata Pencaharian Etnis Melayu Pulau Abang  

Masyarakat Etnis Melayu Pulau Abang, sebelum memancing cume’, terlebih dahulu mempersiapkan peralatan dan perlengkapan yang terdiri dari perangkat memancing tradisional warisan orang-orang terdahulu. Selaras dengan Ledi yang mengatakan bahwa untuk pergi ke laut, nelayan harus memaksimalkan perlengkapan.

Memancing cume’ penuh dengan resiko, tak boleh main-main untuk urusan perlengkapan. Senada dengan Ade yang mengatakan bahwa setiap kali melaut, kami harus membawa persediaan makanan dan minuman. Sementara, jaket dan celana training berfungsi sebagai penghangat tubuh saat angin laut berhembus kencang.

Tak bisa main-main dengan angin laut. Jika hujan badai, resikonya besar, nyawa taruhannya. Begitulah pengalaman saya ketika ikut melaut bersama Ade. Namun, semua itu sudah menjadi hal biasa bagi para nelayan di sana, sebab mereka telah memahami dan menimba pengalaman di lautan.

Adapun peralatan yang perlu dipersiapkan untuk memancing cume’ ialah kapal terbuat dari kayu atau fiberglass dengan ukuran 16 feet hingga 32 feet, mesin motor berbahan bakar premium ataupun solar, alat pancing terbuat dari benang nilon yang digulung pada kayu berbentuk bulat atau lonjong, serta kerisi dan lencing berupa ikan-ikan kecil sebagai umpan cume’.  

Kebiasaan nelayan di Pulau Abang, memancing ikan kecil terlebih dahulu, dari pukul 4 hingga 6 sore. Usai mendapat dua puluh atau tiga puluh ekor ikan-ikan kecil, maka nelayan segera menghidupkan perahu lalu mencari lokasi memancing cume’ yang biasanya dilakukan pada pukul 8 malam.  

Adapun peralatan memancing cume’ ialah menggunakan pancingan khusus yaitu udang Apollo. Tak lupa lampu tembak 20-50 volt dan accu minimal 40 AH. Lampu tembak berfungsi bagi sisi belakang ujung kanan dan kiri perahu. Fungsi lampu ialah sebagai pencahayaan yang menarik perhatian cume’ untuk muncul ke permukaan laut, mengingat cume’ menyukai cahaya lampu yang terang sekali.

Tak lupa serokan atau pencedok tangkul cume’ yang berfungsi untuk mempermudah mengangkat cume’ ke atas perahu, serta melepasakan umpan dari mulut cume’.  

Alam sebagai Guru Navigasi Nelayan Pulau Abang

Para nelayan Pulau Abang berbekal pengetahuan lokal saat mencari cume’ di tengah laut. Biasanya, mereka menyebutnya dengan istilah perapat atau yang berarti navigasi.

Perapat berarti perpaduan antar pulau atau darat. Ledi mengatakan, sistem navigasi manual menggunakan perapat antar pulau ini membantu nelayan dalam menentukan tujuan para nelayan Pulau Abang ke arah lokasi memancing.

Ketika para nelayan berlayar, mereka selalu melihat arah ke belakang sebagai perapat tunda atau yang perapat yang berada di belakang kapal. Posisi ini tidak boleh bergeser hingga tiba di lokasi memancing. Biasanya, setelah titik pulau, darat, atau pohon-pohon besar dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan perapat sampai ialah kunci akhir untuk mencapai lokasi memancing yang dituju oleh para nelayan.

Melalui perapat atau navigasi perjalanan nelayan menuju ke lokasi keberadaan cume’, tentu dapat mempermudah nelayan saat berada di tengah laut. Tak heran, saat menemukan lokasi atau spot memancing, para nelayan seringkali mendapat banyak tarikan dari para cume’ di laut secara perlahan-lahan.

Rata-rata hasil dari tangkapan para nelayan Pulau Abang sekali melaut sekitar 40 hingga 100 kilogram, sementara harga 1 kilogram cume’ berkisar Rp 40.000. Nasib baik jika kita dapat banyak sekali cume’ dalam satu kali melaut, terkadang juga sepi, nelayan hanya mendapat 5 kilogram.

Setelah para nelayan pulang ke Pulau Abang pada pukul 1 malam, keesokan paginya, para istri nelayan mengantarkan cume’ ke pengepul Pulau Abang. Di perjalanan menuju lokasi pengepul, ada canda dan tawa istri-istri nelayan tentang seberapa banyak hasil tangkapan cume’ para suami di malam itu.

Penyunting: Nadya Gadzali