Masyarakat Jawa Kuna meyakini air merupakan titik awal kehidupan. Di air pulalah bersemayam kekuatan dewa-dewa. Keyakinan itu yang kemudian membuat orang-orang Jawa Kuna sangat menghormati tempat-tempat yang dekat dengan sumber mata air. Salah satu cara yang dilakukan untuk melakukan penghormatan itu adalah dengan membangun bangunan suci di dekat sumber mata air.
Keberadaan bangunan-bangunan suci ini bukan semata-mata untuk keperluan ibadat, tetapi juga sebagai upaya menjaga kelestarian sumber air itu sendiri. Sebab, selama bangunan suci itu berdiri dan difungsikan sebagai tempat ibadat, biasanya orang akan segan untuk melakukan pencemaran atau perusakan terhadap sumber mata air. Dengan demikian, sumber mata air akan tetap terjaga kelestariannya.
Kendati era Hindu-Buddha di Jawa telah lama surut, namun upaya untuk menghormati dan melindungi sumber-sumber air masih terus dilakukan oleh sebagian orang Jawa hingga kini. Salah satunya adalah tradisi Wiwitan yang digelar masyarakat Kebakan, Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah, setiap bulan Sapar atau bulan kedua dalam sistem penanggalan Jawa.
Tradisi ini bernama Wiwit, yang dalam bahasa Jawa bermakna awal, namun bukan berarti tradisi ini digelar di awal bulan Sapar. Tradisi ini justru digelar pada hari Kamis atau Jumat Pahing yang biasanya jatuh pada pertengahan bulan Sapar, yakni antara tanggal 14 atau 15 bulan Sapar.
Menurut Tomo, selaku juru kunci sendang (kolam yang airnya bersumber dari mata air), pengambilan nama Wiwit dikaitkan dengan kemunculan kelima sendang itu sendiri. Nama kelima sendang itu antara lain Sendang Wedokan, Sendang Elo, Sendang Waluyo Jati (Sendang Lanang), Sendang Lumpit dan Sendang Cuwilan.
“Menurut cerita yang sampai ke saya, air yang ada di sendang-sendang ini pertama kali muncul pada pertengahan bulan Sapar. Sayangnya, untuk tahun pastinya saya lupa. Yang jelas sudah lama sekali. Setelah kemunculannya, masyarakat sini memperingatinya dengan menggelar tradisi Wiwit Saparan. Selain untuk mengenang, tradisi ini juga merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi sumber mata air yang tak ternilai harganya”, ujar Tomo.
Sekilas, tradisi Wiwit Saparan di Kebakan ini hampir mirip dengan tradisi-tradisi di Jawa pada umumnya. Tetapi terdapat perbedaan mencolok yang membuat tradisi Wiwit Saparan di Boyolali ini berbeda dengan tradisi lainnya di Jawa.
Jika pada tradisi lain yang bertugas memasak makanan yang akan dihidangkan dalam sebuah acara ialah perempuan, maka berbeda halnya dengan tradisi Wiwit Saparan di Boyolali. Semua tugas memasak mulai dari menyiapkan bumbu-bumbu, menyiapkan bahan, prosesi memasak, hingga proses membagikan hasil masakan kepada semua warga, seluruhnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Tak ada seorang perempuan yang dilibatkan dalam proses ini. Hidangan yang disajikan dalam tradisi ini adalah gulai kambing kendhit. Dinamakan demikian karena kambing yang dipakai dalam tradisi ini haruslah kambing kendhit.
Kambing kendhit ialah kambing yang seluruh bulu di bagian di tubuhnya berwarna hitam dengan sedikit bulu berwarna putih di bagian perut, berbentuk melingkar seperti ikat pinggang.
Bagi sebagian orang, kambing dengan ciri seperti ini biasanya dianggap memiliki khasiat atau memiliki daya magis tertentu. Maka, tak mengherankan jika harga kambing jenis ini dapat berkali-kali lipat lebih mahal, jika dibandingkan dengan harga kambing biasa pada umumnya.
Pelaksanaan tradisi ini dilakukan pada pagi hari. Ditandai dengan penyembelihan kambing kendhit di dekat sendang. Kambing yang sudah disembelih kemudian diproses sedemikan rupa sampai pada akhirnya siap untuk dimasak menjadi gulai kambing.
Uniknya, selama proses memasak, mereka yang bertugas memasak dilarang untuk mencicipi rasa masakan yang tengah dimasaknya. Ada semacam kepercayaan yang menyebutkan jika selama proses memasak ada yang mencicipi rasa makanan yang tengah dimasaknya, orang yang melakukannya akan ditimpa sesuatu yang kurang menyenangkan.
Maka dari itu, selama proses memasak, ketajaman insting dari mereka yang bertugas memasak daging kambing sangatlah penting. Kendati tidak dicicipi, namun hampir tidak pernah terjadi rasa masakan menjadi hambar atau keasinan. Rasa gulai kambing yang dihasilkan selalu pas dan nikmat.
Selagi menunggu gulai kambing matang, sebagian lainnya membersihkan lokasi sendang. Ketika jam menunjukkan pukul 10 siang, gulai kambing pun matang. Aktivitas membersihkan sendang pun selesai.
Setelah itu, beberapa terpal digelar, kemudian di atasnya dilapisi dengan beberapa lembar plastik bening yang cukup lebar. Sesudah itu, daging gulai yang sudah masak diambil lalu ditaruh di atas terpal yang sudah dilapisi dengan plastik bening.
Nantinya, daging kambing ini akan dibagikan kepada mereka yang hadir pada pelaksanaan tradisi Wiwit. Jika masih tersisa, daging kambing pun dibagikan kepada warga sekitar sendang yang berhalangan hadir di hari itu.
Sebelum dibagikan, terlebih dahulu sesaji disiapkan dan ditaruh di atas jodang berisi nasi gurih. Aneka lauk-pauk disandingkan dengan dagung gulai tadi. Setelah itu, barulah doa disertai tahlil dipanjatkan secara bersama-sama. Barulah proses pembagian daging kambing dan sesaji yang diwadahi jodang tadi dilakukan. Jodang ialah benda berbentuk seperti tandu yang biasanya dipakai untuk mewadahi sesaji yang digelar oleh orang Jawa.
“Apa yang kami lakukan ini adalah wujud rasa syukur kami atas nikmat dari Tuhan yang berupa sumber mata air yang airnya tak pernah kering, sekalipun di waktu kemarau panjang. Di sisi lain, tujuan digelarnya acara ini juga untuk menjaga hubungan kami dengan alam dan hubungan kami dengan sesama manusia. Dengan terjaganya hubungan kami dengan alam dan sesama manusia. Kami berharap ke depannya, kehidupan kami akan menjadi lebih baik,” ujar Tomo.
Jika pelaksanaan tradisi ini jatuh pada hari Jumat, maka sebisa mungkin prosesinya dipercepat, agar dapat selesai sebelum salat Jumat. Pada malam harinya, tak jauh dari lokasi sendang, digelar pagelaran wayang yang merupakan bagian dari pelaksanaan tradisi Wiwitan.
Keberadaan sendang yang airnya sangat membantu masyarakat ini membuat pembersihan sendang tidak hanya dilakukan pada saat pelaksanaan tradisi Wiwitan saja. Di hari-hari lain, pembersihan sendang juga tetap dilakukan.
“Tuhan telah begitu baik kepada kami dengan menganugerahkan sendang-sendang ini. Sudah sepantasnya jika kami merawatnya dengan baik. Barangkali, hanya dengan cara ini sendang-sendang akan memberi manfaat baik bagi kami,” pungkas Tomo.
Penyunting: Nadya Gadzali