Umat Islam menjalankan ibadah puasa pada bulan ke-9 kalender Hijriah. Hari-hari menjelang Ramadan selalu menjadi hari yang sibuk dan meriah. Beberapa orang mengatakan lingkungannya seperti bernuansa perayaan: hangat dan akrab. Sebagai warga Kota Bandung, saya juga menangkap eforia munggahan. Hiruk-pikuk mulai terjadi bahkan satu minggu sebelum memasuki Ramadan.
Suasana “ngabuburit”—di mana para pemburu takjil rela mengantri di warung, restoran, kafe, hingga pusat jajanan—mulai terjadi saat munggahan. Tradisi yang dilaksanakan di penghujung bulan Syakban itu, sesuai pengertiannya, berasal dari kata “unggah” yang berarti naik atau dimaknai sebagai momen meningkatnya kualitas lahir dan batin manusia.
Pada kata munggah tersirat makna perubahan yang berkaitan erat dengan situasi abad ke-15, ketika Sunan Gunung Jati melakukan syiar Islam di Jawa Barat. Masyarakat Sunda yang ketika itu masih menganut ajaran Hindu-Buddha diperkenalkan pada Islam melalui beberapa cara.
Menelusuri sejarahnya, strategi penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga dan para pengikutnya di Nusantara mewujud ke dalam berbagai tradisi bercorak sinkretik, menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya lokal. Pada masa pra-Islam, munggahan ditengarai sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Sesi santap bersama orang-orang terdekat dan saling mengunjungi menjadi ciri khas dari munggahan. Meski diadaptasi dari kearifan lokal masyarakat Sunda, silaturahmi sebelum memasuki bulan Ramadan dapat memberi kebahagiaan tertentu bagi sebagian orang.
Selain munggahan, beberapa kesenian di Jawa Barat juga mengajarkan prinsip Islam. Salah satunya, kesenian Gembyung dari Cirebon yang menjadi media syiar Sunan Gunung Jati.
Dalam bukunya, “Peranan Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi di Kesultanan Cirebon,” (2015) Aminulllah mengutip pernyataan Brath tentang tradisi Islam di Nusantara yang diusung oleh Wali Sanga sebagai penyebar dakwah dan diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Munggahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi keramas atau kuramasan, yakni bersuci di lokasi-lokasi yang terdapat sumber air atau di tempat tinggal masing-masing, dilanjutkan dengan prosesi ziarah untuk mendoakan leluhur sebelum menjalankan ibadah puasa dan sesi santap bersama atau yang dikenal dengan istilah “botram”.
Selain munggahan, di daerah lain juga dikenal tradisi serupa, antara lain: nyorog bagi Suku Betawi, balimau bagi masyarakat Minang dan Pekanbaru, dan megengan yang dirayakan oleh masyarakat Jawa Timur. Nyorog dilaksanakan dengan membagi-bagikan bingkisan kepada kerabat atau tetangga, umumnya dilakukan oleh mereka yang berusia muda kepada yang lebih tua dalam rangka meminta doa restu dan kelancaran ibadah puasa di bulan Ramadan.
Balimau dikenal luas hingga pelosok Sumatera Barat. Meski terdapat perbedaan di setiap nagari, namun inti dari ritual balimau adalah menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Tradisi balimau diawali dengan zikir bersama di masjid. Masyarakat Minang mendatangi objek wisata air seperti sungai, danau, telaga atau air mancur. Singkarak dan Maninjau adalah dua destinasi yang ramai dikunjungi untuk melaksanakan ritual balimau.
Sedangkan di Pekanbaru, Riau, ritual mandi jelang Ramadan dikenal dengan tradisi balimau kasai. Masyarakat Kampar di Pekanbaru memaknai ritual balimau kasai sebagai metode penyucian diri dari pengaruh negatif. Begitu pula dengan megengan yang dilakukan di minggu terakhir bulan Syakban. Tradisi ini disertai ziarah dan tabur bunga di makam keluarga atau kerabat.
Munggah yang berarti naik, menjadi simbol peningkatan kesadaran umat Muslim. Tradisi munggahan dikenal dengan istilah yang berbeda-beda di setiap daerah di Jawa Barat, di antaranya: papajar yang dikenal di willayah Cianjur, Sukabumi, dan Purwakarta. Sedangkan istilah cucurak dikenal di daerah Bogor.
Menurut Ira Indra Wardana, dosen Universitas Padjadjaran sekaligus budayawan Sunda, munggahan adalah tradisi yang dijalankan oleh sekelompok orang yang memilliki keyakinan tentang hubungan spiritual antara kehidupan dunia dan akhirat kelak.
Menjaga silaturahmi melalui munggahan dapat mengalirkan kebajikan dan membuka jalan menuju kebahagiaan. Sebagaimana Al-Ghazali mendefiniskan kebahagiaan sebagai suatu kondisi yang dapat dicapai dengan perubahan yang bukan fisik, melainkan perubahan jiwa, pikiran, batin, dan perasaan, yang dapat mengantarkan seseorang pada kebahagiaan sejati atau mentranformasikan rohani seseorang sehingga memperoleh kebahagiaan yang hakiki (Fauzi, Filsafat Kebahagiaan menurut Al-Ghazali. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2019)
Dalam “Filsafat Kebahagiaan” (2023), Fahruddin Faiz juga mengungkap makna yang mendalam tentang kebahagiaan yang diperoleh dari hubungan dengan sesama manusia, bahwa rasionalitas reflektif dan rasionalitas akomodatif versi Ki Ageng Suryomentaram bukan hanya aktivitas berpikir yang sekedar menggunakan akal, tetapi juga menggunakan variabel rasa, intuisi, dan imajinasi. Jika memungkinkan, dikerahkan pula seluruh fakultas pemikiran untuk dapat menangkap pengetahuan termasuk akal, emosi, intuisi, dan naluri.
Sebagaimana Siddharta Gautama, setelah keluar dari istana, Ki Ageng Suryomentaram yang merupakan seorang bangsawan (anak dari Sultan Hamengkubuwono VII) mulai melakoni pengembaraan untuk mencari jawaban tentang hakikat manusia. Berbagai tarekat ia jalani, baik kebatinan maupun keagamaan. Poso mutih, poso pati geni, poso ngrowot, poso ngidang, poso nglowong, puasa Ramadan dan puasa Daud ia jalani pula satu per satu untuk mendapatkan jawaban dan memperoleh teori Kawruh Begja.
Munggahan yang di dalamnya terdapat ritual mandi, ditengarai memiliki kaitan yang erat dengan tradisi Hindu. Hal ini dapat dilacak melalui Makara Sankranti yang dirayakan pada pertengahan Januari ketika umat Hindu mandi di Sungai Gangga untuk memuja Dewa Surya, bulan Juli dan Agustus ketika umat Hindu merayakan Raksbandha, serta Vasanta Panchami yang menandai datangnya musim semi. Meski kelanjutan dari budaya yang telah ada, simbolisasi munggahan tidak mengurangi esensi dari puasa Ramadan, melainkan memperkaya keragaman budaya masyarakat Indonesia.
Munggahan kini, meski pada praktiknya mengalami perubahan, masih dipandang sebagai dinamika budaya yang mengakomodir hubungan sosial dengan cara mengunjungi tempat tinggal kerabat, memohon doa restu kepada orang tua, dan menggelar tradisi makan bersama.
Meski berbeda-beda di setiap daerah, munggahan selalu menambah semarak penghujung bulan Syakban. Umat Islam di nusantara tampak bergembira dalam silaturahmi sembari menyantap hidangan yang menggugah selera. Begitu pula dengan ritual penyucian diri yang dilakukan di berbagai tempat pemandian. Elemen air tidak hanya membasuh raga, tetapi juga membuat rohani lebih siap untuk menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan.
Keterangan gambar: "Balimau bathing tradition in Pekanbaru Riau, Indonesia", karya Agustinus Elwan