Etnis.id - Saya merasa beruntung pernah memperoleh kesempatan untuk membaca hasil liputan teman-teman jurnalis ihwal dunia tenun di wilayah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Barat. Saya senang karena hasil liputan itu menggugah hati saya, untuk merefleksikan kembali pemahamanku soal arti penting “pusaka” bagi masyarakat Suku Sasak.

Pusaka bagi masyarakat Suku Sasak tidak hanya terbatas pada senjata tajam peninggalan nenek moyang atau sejenisnya. Di Desa Sembalun Lawang, selembar kain tenun dianggap pusaka atau kekayaan yang menjadi pengikat tali kekerabatan masyarakat.

Sederhananya, jika dalam keluarga anak laki-laki mewarisi sawah ladang atau kebun, maka anak perempuan akan mewarisi sekumpulan kain tenun warisan yang telah berumur puluhan bahkan sampai ratusan tahun.

Anggapan ini berlaku juga di Desa Pringgasela, desa yang masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Timur. Di sana, berkembang kepercayaan jika beberapa kain tenun yang tidak boleh ditiru motif atau polanya, apalagi sampai diperjualbelikan. Alasannya, apabila dilakukan hal demikian, maka ahli waris akan menemui bala atau musibah.

Konon, masyarakat Pringgasela memahami bahwa ada 12 jenis motif kain tenun yang sakral. Semuanya masih disimpan dan tak dijual.  Pemahaman masyarakat Sembalun Lawang maupun masyarakat Pringgasela seperti ini, secara tersirat mengingatkan saya pada pemikiran Daoed Joesoef tentang arti “warisan”.

Mantan Menteri Pendidikan di Era Orde Baru ini memaknai harta warisan sebagai “titipan” untuk anak cucu atawa generasi bangsa berikutnya. Idealnya, barang yang dititipkan itu harus sampai kepada pemilik yang sebenarnya dalam jumlah yang sama persis, tidak kurang dan tidak lebih.

Pandangan Daoed Joesoef ini, sayangnya, tidaklah dipandang sama oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Alih-alih memaknai harta warisan sebagai pusaka, sebagian besar masyarakat menganggap warisan sebagai hak milik yang bebas digunakan atau dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang tersisa untuk generasi berikutnya.

Jika begitu, tak heran kalau tradisi yang diyakini oleh masyarakat Sembalun Lawang dan Pringgasela soal kain tenun warisan yang bisa mendatangkan mara bahaya, diberlakukan bagi ahli waris yang menelantarkan atau memperjualbelikan “kain pusaka”. Mungkin gunanya agar generasi penerusnya tidak kehilangan jati diri.

Lempot Sakral Kebon Ayu

Salah satu jenis kain tenun yang banyak diproduksi di Desa Kebon Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat adalah kain tenun jenis “Lempot” yang serba guna. Lempot bisa dimanfaatkan untuk sabuk, selimut, kain gendongan, kerudung, sebagai penutup badan bagian bawah dan lain-lain.

Beberapa jenis Lempot disakralkan oleh masyarakat setempat, sebab pembuatan dan peruntukan kain jenis ini mesti melibatkan ritual-ritual tertentu. Semisal ada orang yang berminat memperoleh lempot, maka diberlakukan syarat untuk membawa kotak kecil berbentuk persegi yang terbuat dari anyaman bambu atau andang-andang.

Andang-andang diisi dengan beras, kapur secukupnya, daun sirih, buah pinang dan sejumlah uang lembaran bernominal kecil. Lalu kotak itu diserahkan kepada penenun sambil menyebutkan motif kain tenun apa yang ia kehendaki.

Selain lempot, ada lagi kain tenun yang dianggap sakral di Desa Kebon Ayu:

(1) Kain Tenun Sabuk Menganak, yang panjangnya 7 hingga 10 meter. Sabuk ini digunakan oleh perempuan setelah melahirkan untuk menguatkan rahimnya dan mengembalikan bentuk tubuhnya seperti sedia kala.

Pada ujung sabuk akan dibuat simpul ikatan yang diartikan simbol kekuatan dan kepercayaan perempuan, bahwa rahimnya akan selalu dijaga oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

(2) Lempot Kombong Kuning Majapahit digunakan khusus untuk anak perempuan, saat mereka khataman baca Alquran sampai 30 Juz, kikir gigi atau upacara tujuh bulanan. Tenun ini akan digunakan dari kecil hingga dewasa serta dianggap teman hidup karena akan terus dibawa ke mana pun pemakaianya pergi.

(3) Lempot Penguris yang punya alur cerita sedikit berbeda. Saat prosesi ngurisan atau upacara pemotongan rambut bayi dilaksanakan, terdapat sejumlah perangkat upacara yang tersimpan dalam nampan mulai dari gunting, beras kuning, uang logam, daun sirih, buah pinang dan Lempot Penguris.

(4) Lempot Besunat khusus anak laki laki yang siap dikhitan. Model kainnya melingkar tak berujung. Lempot baru akan diputus bersamaan pada saat anak laki-laki melangsungkan prosesi sunatan.

Itulah jenis kain tenun yang dianggap sakral bagi masyarakat Kebon Ayu dan seringkali diikutsertakan sebagai bagian upacara-upacara keagamaan.

Mungkin di luar dari perdebatan apakah upacara-upacara dan kepercayaan semacam itu diperbolehkan atau tidak dalam Agama Islam, saya memilih untuk tidak ikut bagian dalam perdebatan. Sebaliknya, saya lebih cenderung mengapresiasi, sebab hal semacam ini kuanggap sebagai bentuk dialog antara agama dan budaya.

Islam sebagai agama yang membawa kebaikan universal, nilainya akan terafirmasi manakala subyek yang bersifat partikular mengekspresikannya. Tentunya dengan cara yang sesuai dengan konteks budaya mereka masing-masing.

Contoh paling konkret tentang hal tersebut dapat kita amati dari ekspresi keberislaman masyarakat di tanah Arab yang memiliki banyak perbedaan dengan ekspresi keberislaman di Nusantara. Demikian pula ekspresi keberislaman di pulau Sumatra, Jawa dan Lombok juga memiliki banyak perbedaan.

Sungguh hal ini merupakan kreativitas kultural yang amat berharga. Dengan kreativitas semacam ini, suatu sistem ajaran universal seperti Agama Islam menemukan relevansinya, sesuai dengan tuntutan khusus pemeluknya, dalam lingkup spasial dan temporal yang khusus pula.

Hingga barangkali tidak berlebihan jika saya menilai hal ini selaras dengan apa yang pernah diungkapan Gus Dur bahwa: “Keberagaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaanNya”.

Terakhir, apapun ekspresi tradisi atau budaya Suku Sasak yang masih ada hingga saat ini. Mulai dari pemaknaan lain terhadap kata “pusaka” sampai penyertaan benda-benda profan semisal kain tenun dalam upacara-upacara sakral agama.

Saya percaya, bahwa tujuannya tidak lain demi melestarikan kearifan hasil dari budi luhur nenek moyang Suku Sasak dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam sendi-sendi agama.

Editor: Almaliki