Etnis.id - “Tidak ada keterangan pasti yang menyebutkan sejak kapan kegiatan menenun di Sukarare bermula. Satu hal yang pasti, bahwa menenun adalah aktivitas yang identik dengan perempuan Sasak. Bagi perempuan Sasak, menenun merupakan kegiatan utama–-setelah bertani-–yang diwarisi secara turun temurun," ujar Mariam, salah seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai penenun di Desa Sukarara, padaku.

Di Desa Sukarare, desa sentra kain tenun terbesar, setidaknya di Kabupaten Lombok Tengah, penenun tidak hanya berasal dari kalangan perempuan yang tengah berada dalam usia produktif saja. Anak-anak, remaja dan perempuan lanjut usia pun turut menenun.

Kuatnya pengaruh tradisi menenun di kalangan masyarakat Sukarare, melahirkan ungkapan-ungkapan satire yang ditujukan kepada perempuan yang tak bisa menenun. Seperti, “perempuan tidak bisa disebut perempuan Sasak jika tidak bisa menenun” dan “ gadis Sukarare belum pantas menikah jika tidak bisa menenun”.

Mulanya perempuan Sasak memproduksi kain tenun untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat di lingkungannya sebagai sandang pribadi, saat mengikuti upacara adat, semisal nyongkolan (arak-arakan pengantin dalam pernikahan Suku Sasak).

Gambaran umum yang bisa saya paparkan terkait penggunaan pakaian adat Suku
Sasak, sederhananya seperti ini: Untuk laki-laki, paling mencolok penggunaan capu’ atau ikat kepala nyaris mirip dengan ikat kepala di daerah Bali, kemudian pinggangnya dililit dengan kain tenun bermotif kembang komak dan terakhir bawahan berupa kain belacu hitam polos atau kain batik.

Jika lelaki tersebut merupakan orang terpandang, maka ia memiliki beberapa pilihan atau tambahan variasi pakaian. Misalnya, baju pigon atau godek nungkek, kemudian menyelempangkan syal dengan kain tenun bermotif gedogan ke pundaknya, lalu mengulur leang (kain tenun bermotif subhanale atau motif lainnya) dari dada sampai atas lutut.

Sedang perempuan tidak memiliki banyak pilihan. Setelah baju lambung (baju yang hanya sampai perut) berwarna hitam, mereka lalu menutupi perutnya dengan membebatkan sabuk anteng, sekaligus sebagai ikat pinggang. Terakhir, melengkapinya dengan kain songket motif tapo kemalo sebagai bawahan.

Mengingat kain tenun merupakan perlengkapan yang harus--untuk tidak mengatakan wajib--disandang saat pelaksanaan upacara adat. Maka, di luar penggunaan kain tenun sebagai perlengkapan upacara adat, motif dan jenisnya itu sangat identik dengan Suku Sasak. Paling anyar misalnya, motif subhanale dan kembang komak.

Tenun sebagai komuditas unggulan

Wilayah-wilayah sentra pengrajin kain tenun yang masih ada sampai saat ini di Kabupaten Lombok Tengah seperti Desa Rembitan, Sukarare dan Batu Jai, pada dasarnya sangat terbuka agar pihak luar mengetahui kearifan lokal yang mereka miliki. Alasannya, jalan yang paling rasional agar kearifan lokal Suku Sasak bisa “hidup dan menghidupi” mereka yakni dengan mempromosikan kebudayaannya.

Kurang lebih, empat atau lima dasawarsa terakhir, jenis industri rumahan di bidang kerajinan tangan ini berkembang pesat. Syukurlah, sebab itu mengindikasikan pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil ke arah yang lebih menjanjikan. Namun hal yang lebih penting untuk dicermati bersama barangkali adalah strategi pemasaran seperti apa yang diupayakan oleh masyakat tradisional, sehingga mampu beradaptasi dengan sistem ekonomi modern yang kompleks.

Rupanya, selain mempertahankan motif-motif tenun yang dianggap “tua” seperti motif alang, subhanale, keker, ragi genap, kembang komok, tapokemalo dan lain-lain. Masyarakat juga menghidupkan kembali mitos-mitos yang dulu pernah berkembang di lingkungannya, yakni mitos yang terkait langsung pun tidak langsung dengan dunia tenun.

Di samping itu, para penenun juga melakukan pengayaan motif dengan jalan mengombinasikan motif-motif yang sudah ada dengan motif-motif dari luar, semisal motif dari Bugis dan motif rang-rang dari Bali. Hingga hal yang mungkin sulit dipercaya bahwa beberapa penenun Sasak mengklaim bisa menenun semua motif tenun yang ada di Pulau Lombok atau di luar Lombok dengan mudah.

Selain upaya penguatan basis tersebut, para penenun juga menyesuaikan beberapa hal yang dianggap perlu untuk menarik minat konsumen. Pertama, sesekali para penenun mengganti warna benang pakan (dasar) dengan warna-wana cerah atau yang sedang tren, semisal warna-warna pastel, putih tulang, coklat, merah jambu, biru toska dan warna lainnya.

Kedua, memanfaatkan pewarna alam dan benang-benang berkualitas tinggi, semisal benang marsis dan benang katun. Ketiga, mengkreasikan kain tenun dalam bentuk produk lain, semisal tas, baju kemeja, rok, taplak meja, hiasan dinding dan sebagainya. Keempat, menyediakan variasi harga sesuai dengan kualitas kain tenun.

Saya kira hal ini merupakan sebuah konsep pemasaran yang cukup baik. Karena landasan produksi yang berbasis kultural di dunia usaha kain tenun, telah mampu melewati badai krisis ekonomi era-98 dan bersaing dengan produk-produk modern lainnya dengan baik.

Usaha kain tenun sanggup menjadi penyangga struktur perekonomian masyarakat, ketika kegiatan ekonomi di sektor lain tak mampu bertahan, tanpa harus khawatir tercerabut dari akar tradisi kebudayaannya.

Tenun dan cerita kearifan

Tanpa bermaksud mengglorifikasi capaian peradaban Suku Sasak sejak dulu hingga saat ini. Sebagai sebuah produk dari kebudayaan yang adiluhung, sehelai kain tenun mengandung unsur-unsur filosofis, estetis dan nilai-nilai kearifan yang lain di dalamnya.

Unsur-unsur itu menjadi penting ditelusuri sejarahnya, untuk mendapatkan gambaran tentang cara berpikir tetua masyarakat Suku Sasak dengan segala keterbatasannya, tetapi sanggup melahirkan karya yang bermutu tinggi.

Umumnya, penamaan motif kain tenun Sasak terinspirasi dari hasil hubungan yang bersifat dialektis antara masyarakat dengan benda-benda yang akrab di lingkungan sekitar mereka. Semisal motif kembang gerodak, yang konon diambil dari nama bunga perdu di musim semi yang didominasi oleh warna merah jambu.

Kemudian motif kembang komak yang diambil dari nama salah satu bunga pala rambat, kacang komak (kacang kara). Hubungannya, konon setiap kali kacang komak berbunga, bersamaan dengan itu, cuaca di wilayah Lombok bagian Selatan menjadi dingin. Dan kain yang lazim digunakan oleh masyarakat sebagai selimut adalah kain bermotif kembang komak yang dikenal sekarang. Karena mereka meyakini, bahwa kain tenun kembang komak adalah selimut yang paling nyaman jika cuaca dingin melanda.

Lain kembang komak lain subhanale. Kisah tentang motif subhanale lahir dari hasil keunggulan perempuan Sasak yang diberi tugas oleh Raden yang berkuasa pada saat itu, untuk menenun kain dengan motif yang paling indah dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Konon sebelum menenun, perempuan yang diberi tugas itu berpuasa mutih selama enam hari dan merenung dengan dalam di mihrabnya sembari memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa. Setelahnya, kira-kira kurang lebih dua pekan, ia menjalankan tugas menenunnya dan menghasilkan sebuah motif dengan dominasi pola heksagonal yang berwarna-warni.

Ketika hasil tenunan itu dihaturkan ke duli Sang Raden. Sang Raden takjub dan tak henti-hentinya melafalkan kalimat tasbih, memuji-muji keindahan hasil tenunan itu: Subhanallah! Subhanallah! Subhanallah! Maka, sejak itulah, moif kain tenun itu dinamai dengan nama Subhanale.

Gambaran singkat ini tentu tidak bisa menguak nilai-nilai kebijaksanaan yang terkandung dalam sehelai kain tenun secara utuh. Tetapi setidaknya, saya bisa menyimpulkan bahwa budaya pada dasarnya adalah olah budi yang sebelumnya dilatih dengan menajamkan cipta, rasa dan karsa lalu akhirnya menjadi karya.

Saya kira dalam konteks ini, produk budaya memiliki visi-misi yang selaras dengan agama. Sama-sama membimbing potensi kemanusiaan untuk memaksimalkan setiap fakultas ruhaninya ke arah yang lebih baik lagi, sejauh batas terjauh yang bisa digapai oleh maluk Tuhan yang konon disebut paling purna bernama manusia.

Editor: Almaliki