Etnis.id - Indra Lesmana mengritik ihwal banyaknya festival musik di Indonesia yang memakai kata “Jazz” (Detik, 25 November 2019). Nama “jazz” digunakan semata untuk mengangkat gengsi festival musik terkait.

Padahal, sajian musiknya ternyata lebih banyak dangdut, campursari, pop dan reggae. Senada dengan Endro Priherdityo lewat tulisannya “Jazz yang Pop, atau Pop yang Jazz?” (2015), ia menganggap gelaran jazz di Indonesia yang semakin jauh dari rasa jazz. Sebagian besar penampil malah membawakan lagu-lagu di luar jazz.

Ironisnya, seringkali musisi pop-dangdut mendapat panggung prestisius, dibanding musisi jazz sesungguhnya. Setali tiga uang dengan gelaran jazz terbesar di negeri ini, Java Jazz Festival di Jakarta.

Event yang digelar pada Maret lalu itu, banyak menyisakan kritik, tidak begitu ngejazz karena artis penampilnya banyak yang tidak berlatar belakang musik jazz, seperti band lawas TOTO, grup musik H.ER. bahkan penyanyi Raveena yang ditetapkan sebagai “special show” di gelaran itu. Tentu kita masih ingat bahkan kelompok JKT-48 pun pernah tampil di gelaran Java Jazz beberapa tahun lalu.

Harus diakui, gelaran jazz di negeri ini seringkali banyak diisi oleh artis-artis ibu
kota yang justru jauh dari jazz. Siapapun seolah dapat tampil, tak peduli latar belakang musiknya. Akhirnya, batasan mana musik jazz dan tidak, menjadi abu-abu.

Jangankan musik pop, rock, musik campursari, jaranan, kendang kempul. Dangdut koplo pun dapat tampil di panggung musik jazz. Hal ini semakin menguatkan wacana jika festival jazz di negeri ini tak memiliki idealisme musik yang jelas.

Olah kreatif

Sebagai hasil olah kreatif, musik membutuhkan pelbagai stimulus seperti dari proses berlatih secara intens, memadukan satu elemen dengan lainnya, begitu pula dengan persilangan antarsatu jenis musik dengan musik lain, guna menunjukkan eksistensinya sebagai rekayasa bunyi yang indah.

Hal itu yang tampak dalam bermacam perhelatan musik jazz dewasa ini, hingga menjadikannya virus musik yang paling digemari di Indonesia, selain pop tentunya.

Jazz tak hanya mencerminkan rasa musikal, namun juga citra diri kaum urban yang modern dan kekinian. Sebabnya, forum-forum yang mengatasnamakan musik jazz digelar dari pelosok desa, gunung, sawah hingga penjuru kampus dan kota.

Sebutlah di antaranya Java Jazz Festival (Jakarta), Jazz Gunung (Magelang), Bandung World Jazz Festival (Bandung), Jazz Traffic Festival (Surabaya), Jazz Mben Senen-Ngayogjazz (Jogja), Parkiran Jazz-Solo City Jazz (Solo), Banyuwangi Jazz Festival (Banyuwangi), adalah forum-forum musik jazz yang selama ini begitu banyak menyedot animo masyarakat luas.

Tentu tanpa mengesampingkan forum musik jazz di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Ibarat makanan, semua mengguratkan cita rasa yang berbeda. Layaknya soto rasa Lamongan, Madura dan Betawi. Ada jazz rasa Jawa, Betawi, Melayu, Ambon dan lain sebagainya. Jazz adalah musik kolaboratif yang dewasa ini dianggap mampu bersinergi cukup lentur dengan musik-musik (tradisi) tanah air.

Jangan heran jika dalam suatu penyelenggaraan musik jazz, kita akan jumpai rebab, suling, ketipung dangdut, kendang jaipong, atau gamelan lengkap. Bahkan untuk kasus yang terakhir, gamelan, Josias Adriaan dalam tesisnya Penggabungan Idiom-Idiom Gamelan dalam Musik Jazz (2007), memandang dominasi gamelan cukup kental dalam musik jazz di Jawa saat ini.

Hal itu dipelopori oleh kelompok Krakatau dan Karimata. Bahkan boleh dikata jazz di Jawa terprediksikan akan menjadi musik “campursari” berikutnya ke depan. Agaknya, prediksi itu telah semakin menemukan pembenarannya.

Jazz telah menjelma sebagai musik arus utama di negeri ini. Ironisnya, segala jenis musik digelar mengatasnamakan jazz walau terkadang hanya sekedar jazzy, jazz beneran, sok nge-jazz, atau bahkan sekadar menggunakan nama “jazz” saja.

Bahkan yang menarik, David Bayu Danangjaya (vokalis Band Naif), salah satu pengisi pada Java Jazz Festival 2016, dengan lantang mengungkapkan tak memiliki lagu-lagu jazz. Ia heran kenapa bisa diundang dalam acara bertajuk jazz.

Artinya, batasan dan ukuran sebuah musik untuk disebut sebagai jazz menjadi bias atau samar. Wajar kemudian jika banyak kritikan muncul kalau gelaran musik jazz hanya menjadi “sampah penampungan” bagi genre musik-musik lain.

Dengan serta-merta seorang musisi menyebut dirinya sebagai pemain musik jazz hanya karena pernah tampil di gelaran musik jazz, walau musik yang dibawanya adalah dangdut koplo atau pop.

Dalih yang kemudian sering digunakan adalah, kemampuan musisi untuk melakukan improvisasi musikal, meliak-liukan suara vokalnya agar lebih terlihat agak nge-jazz. Atau yang penting ada sedikit bumbu-bumbu rasa jazznya, tidak peduli musisi itu berhaluan musik apa.

Terlebih jika musisi atau artis tersebut terkenal atau populis (entah karena kontroversi atau kemampuannya), penonton dipastikan membeludak, tiket terjual habis dan panitia mendapat untung berlipat.

Bukankah fenomena ini yang terjadi di negeri ini? Keberhasilan suatu pertunjukan musik jazz tak diukur dari seberapa ketat kuratorial, namun seberapa banyak penonton yang datang.

Semakin banyak yang datang, dianggap pertunjukan sukses, jika sedikit, dikatakan gagal. Padahal seringkali penonton datang karena ingin melihat artis-artis idola mereka, yang tak lain adalah penyanyi pop dan dangdut itu, bukan menyaksikan gelaran jazz.

Secara musikal, jazz cenderung kompleks, terstruktur sehingga butuh kepekaan intuisi yang tinggi untuk memainkannya. Pemain jazz ditempa dengan proses yang lama untuk mampu meraih “daya improvisasi” atau rasa musikal yang nge-jazz.

Bukan sekadar tampilan fisik, namun mengutamakan kecakapan musikal yang tinggi. Jazz apapun itu bentuknya seperti Ragtime, New New Orleans, Swing, Bebop, Dixieland, Cool jazz, Hard bop, Jazz funk bahkan yang paling populis jazz fusion senantiasa memberikan kesempatan pada tiap musisi untuk mempertontonkan keahliannya berolah musikal secara personal.

Mereduksi dan menyederhanakan musik jazz kemudian menjadi hal yang jamak dalam forum-forum musik di negeri ini. Nama “jazz” dianggap begitu menjual sebagai sebuah barang dagangan.

Forum-forum serupa akan lahir di banyak kota dan kampung, mengundang artis-artis ibu kota yang saban hari nongol di layar kaca. Lalu kita memandang panggung jazz tak lebih dari sekadar ajang musik meraih pamrih kapitalis, tentang
kalkulasi untung dan rugi. Padahal sejatinya, mereka itu sok nge-jazz saja.

Editor: Almaliki