Seorang performer akan menjadi pusat perhatian saat berada di panggung pertunjukan, baik panggung terbuka maupun panggung tertutup, penonton akan memusatkan perhatian dan terkesima kepadanya sebagaimana orang yang dikagumi.

Dalam sebuah pertunjukan, mata penonton mengikuti gerak gerik penampil. Kemanapun ia bergerak dan apapun bentuk gerakannya, penonton menikmati dan terhanyut dalam pertunjukan. Panggung penari tidak hanya ruang berukuran enam kali depan meter saja, apabila diperlukan akan dibuat panggung tambahan.

Luas panggung akan membawa keterlibatan penonton untuk menjadi bagian dari tarian yang tengah berlangsung, bahkan berperan langsung pada tarian yang dibawakan. Istilah peran mungkin banyak digunakan dalam dunia teater karena audiens bersinggungan langsung dengan aksi pelakonan karakter. Peran diartikan sebagai sebuah keterlibatan pada sesuatu ketika ia harus menjadi tokoh tertentu.

Sekira pukul delapan malam lewat sedikit, pendopo yang sudah diubah menjadi panggung itu dimatikan, dibiarkan gelap tanpa lampu. Pertanda sesaat lagi acara malam itu akan dibuka oleh pembawa acara. Suasana hening siap menyambut lampu sorot yang dinyalakan persis di posisi pembawa acara.

Berjajar duduk beralaskan tikar, di dua sisi pendopo hingga teras gedung sebelah, ramai oleh penonton yang mengambil posisi duduk ternyaman mereka. Meskipun sedikit mendung bahkan gerimis, minat penonton tidak ikut surut. Para maestro tari dari beberapa daerah di Jawa Tengah yang akan tampil menjadi daya tarik bagi para penggemar, mereka bahkan rela berdesak-desakan untuk menyaksikan pertunjukan itu.

Tidak hanya yang berusia lanjut seperti para seniman senior, pengrawit, penari, dan akademisi seni berusia muda pun tidak ingin ketinggalan. Semacam sebuah penghargaan kepada para maestro yang akan menampilkan karya mereka di panggung "Tak Sekedar Tari #77".

Penonton yang rela duduk di lantai dan diguyur gerimis menandai sang maestro tampil sebagai panutan. Lampu sorot menyala dan tepat di bawahnya sang pembawa acara tampil dengan kostum yang memadukan unsur tradisi dan modern. Sejurus kemudian perhatian tertuju pada laki-laki berbahasa separuh Jawa dan separuh Indonesia, menyapa pengunjung yang hadir tanpa dipungut biaya.

Usai membuka acara, lampu sorot yang tadinya menyala perlahan redup, pembawa acara itu pun menghilang dari panggung tepat ketika cahaya kemerahan mulai menyala. Seorang penari berusia lanjut yang mengenakan jarik berjalan perlahan, menggerakkan setiap bagian tubuhnya sembari diiringi alunan musik yang diputar oleh soundman.

Umumnya sebuah pertunjukan, setiap penampil menjadi sasaran para pengambil gambar. Tidak hanya mereka yang menggunakan lensa telephoto, kamera telepon genggam juga ikut mengabadikan momen, menangkap setiap gerak tubuh sang penari. Jika diperhatikan dengan seksama, tidak semua penonton hadir karena benar-benar ingin menyaksikan pertunjukan, beberapa mulai terlihat berpindah tempat menuju kantin yang menjual makanan dan minuman.

Meskipun sedang tidak ada pertunjukan yang berlangsung, kantin di sini kerap didatangi karena biasa menjadi tempat berkumpul seniman-seniman untuk berbincang bahasan seni. Mungkin mereka suka bercengkrama disini karena lokasinya yang berada di dalam komplek Taman Budaya Jawa Tengah, sehingga dirasa tepat untuk menjadi tempat pertemuan.

Pertunjukan baru saja dimulai, di mana sang penari masih di posisi panggung agak ke belakang, konsep pertunjukannya memang seperti itu mungkin. Perlahan ia bergerak sedikit maju ke bagian tengah panggung sambil terus memainkan gelas berisi minuman berwarna merah di tangan kanannya, sementara tangan kiri memegang kain semacam sampur yang merupakan bagian dari kostum.

Pandangan matanya tetap tertuju pada gelas itu tanpa memerhatikan tangan kirinya yang asyik memainkan sampur. Usianya kira-kira sudah lebih dari 60 tahun, namun ia tetap berusaha membuat penonton terpukau melalui tariannya.

Sepanjang awal pertunjukan bunyi shutter kamera tidak berhenti terdengar dari segala sudut. Penonton yang duduk di bagian paling belakang tepatnya di teras gedung sebelah seperti merasa kehilangan haknya untuk menonton karena di sebelah depan para pengambil dokumentasi ada yang di posisi sedikit agak berdiri. Tohsama-sama gratis, tapi seperti kesalahan yang disengaja mereka memilih untuk duduk di bagian tempat duduk yang jauh, agak ke belakang.

Penari terus bergerak membawakan tariannya, segelas minuman entah itu wine atau hanya sirup berwarna merah dibawa olehnya sejak ia memasuki panggung. Pada beberapa bagian ia meminum isi gelas tersebut seteguk kecil. Entah representasi darah atau kekuatan, ia terus memegangi gelas berkaki tinggi itu menggunakan tiga jarinya dengan kokoh. Di sisi lain, ia berusaha meyakinkan penonton bahwa di umur yang sudah tidak muda lagi ia masih mampu menggunakan jemarinya yang mungkin dikira tidak begitu kuat.

Hampir setengah tarian berlalu di panggung, dan penonton masih cukup banyak yang bertahan. Kuasa penuh si penari terhadap perhatian penonton membuatnya menjadi pemenang dan penguasa panggung. Hanya sedikit dari mereka yang beranjak, entah itu hanya sekedar merubah posisi duduk ataupun bergerak untuk mengambil minuman. Memang, dalam acara malam itu setiap yang hadir bisa mengudap beberapa makanan tradisional secara cuma-cuma.

Panggung yang semula hanya berukuran enam kali enam meter saja mengalami ekspansi diluar dugaan. Penari tunggal itu sekarang sudah berada di bagian sudut kiri depan panggung dan gelas yang sedari awal berada di tangan kanannya masih di posisi yang sama. Artinya, ruang panggung yang digunakan penari sudah berubah dan ruang penonton kini menjadi ruang gerak penari.

Seorang penonton yang berada tepat di sisi kiri panggung didatangi oleh penari yang mengarahkan gelas itu ke hadapan wajahnya. Seolah memahami maksud dari sang penari, ia mengambil gelas tersebut sebagai bentuk aksi dan reaksi yang cukup interaktif. Disangsikan sebenarnya, apakah ini hanya bentuk apresiasi kepada si penari untuk menghindar dari pandangan sebelah mata dari penonton, atau si penonton terpilih memanglah merasa sudah menjadi bagian dari tari tersebut?

Hanya seteguk kecil, gelas itu pun dikembalikan kepada pemilik aslinya. Beberapa penonton bertepuk tangan dan si penonton terpilih spontan melihat ke sekeliling tempat ia duduk untuk membuktikan bahwa benarlah ia sudah menjadi bagian dari pertunjukan.

Laki-laki berusia 60 tahunan itu kembali ke tengah panggung dan meletakkan gelas, properti tari yang berisi minuman berwarna merah. Ya, itu merupakan minuman berwarna merah, karena penonton sudah melihat minuman itu benar-benar diminum oleh si penonton terpilih dan tidak ada efek apapun yang terjadi.

Gelas itu kini terletak begitu saja di lantai namun tidak diabaikan, karena begitulah settinganyang dirancang untuk kebutuhan pertunjukannya. Penari itu sibuk menggerakkan tanggannya ke sana kemari, memainkan tali yang terlihat seperti rantai yang ada di tubuhnya, sedangkan gelas itu berada tepat di hadapannya.

Penonton kembali terfokus pada pertunjukan yang masih berlangsung, mengamati penari yang bergerak, menyimak setiap gerakan yang tampak seakan-akan bisa memahami maksud dari semua gerakan-gerakan itu. Pemaknaan gerak akan memberikan arti yang berbeda bagi setiap orang, terutama jika mereka baru pertama kali menyaksikan pertunjukan sejenis.

Makna dan nilai akan selalu bersfiat subjektif berdasarkan pemahaman dan penafsiran masing-masing. Penonton terpilih yang tadi terlibat mungkin akan berfikir bahwa suguhan minuman yang ia minum tadi merupakan sebuah prasyarat yang harus dilakukan untuk pertunjukan ini, namun penonton lain mungkin berpikir itu hanya akal-akalan si penari supaya tarian yang ia bawakan terlihat lebih menarik fokus penonton agar tertuju pada tariannya.

Akan ada makna dan nilai lainnya yang bermunculan sebagai bentuk pemahaman dari rangsangan visual yang diterima oleh indra penglihatan dan rangsangan audio yang dinikmati oleh telinga. Mungkin tidak sedikit yang berpikir bahwa minuman yang dibawa laki-laki usia senja itu merupakan simbol kesakralan dari pertunjukan. Tidak sekali dua kali ia meninggikan posisi gelas itu sambil terus-menerus menatap ke arah gelas tersebut.

Agak terabaikan sepertinya, tangan kiri si penari ternyata memegang simbol kesakralan lainnya, sebuah dupa. Umat Islam akan mengikuti sunah nabi Muhammad dalam penggunaan dupa untuk wewangian. Umat Hindu mengikuti ajaran agama mereka yang mengatakan bahwa dupa itu berfungsi sebagai media penghantar doa kepada dewa.

Tindakan si penari dengan menggunakan dupa merupakan sebuah bentuk tindakan rasional instrumental yang ditujukan untuk pencapaian tujuan-tujuan yang rasional yang diupayakan dan diperhitungkan sendiri oleh orang yang bersangkutan (Alih Muhlis dan Nurkholis, 2016:49). Tindakan tersebut juga dilakukan oleh penari laki-laki ini jika dilihat dari bentuk aksi yang ia lakukan meskipun kita tidak mengetahui fakta sebenarnya.

Setelah bergerak cukup lama tanpa memegang gelas yang sebelumnya digunakan, penari menggeser posisi ke level bawah untuk melakukan gerakan seperti membumi, sambil tetap memainkan dupa yang ada di tangan kiri untuk kemudian kembali mengangkat gelas. Berjalan santai menuju sisi lain panggung, ia kembali menyuguhkan minuman yang hanya bersisa separuh kepada penonton terpilih lainnya.

Mengacu kepada penonton terpilih sebelumnya, kandidat berikutnya pun tanpa ragu melakukan hal yang sama, tindakan imitasi tanpa berpikir panjang seakan semuanya sudah benar. Tidak hanya sampai disitu, ekspansi panggung masih diteruskan hingga penari berjalan menuju penonton yang berada jauh di sebelah kiri pentas, tepatnya di bangunan yang sebelah kiri.

Secara otomatis, kerumunan penonton yang cukup rapat spontan memberikan jalan agar penari dapat melintas hingga sampai di tujuannya. Pandangan mereka mengikuti arah berjalannya si penari. Sambil berjalan mengitari semua tempat di mana penonton duduk dan berdiri ia terus mengangkat tinggi-tinggi gelas yang ia genggam.

Untuk kesekian kalinya muncul pertanyaan di benak setiap orang yang hadir malam itu. Tidak bisa dipungkiri, untuk apa gelas itu? Simbol apa yang dimaksudka? Kepada siapa dupa itu dihaturkan? Penghambaan dan pemujaan seperti apa yang ingin dilakukan?. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab begitu saja dengan penalaran umum, terkecuali penari itu sendiri yang mengutarakan maksudnya secara gamblang dan penuh kejelasan.

Beberapa visual gerak dapat memberi kejelasan ketika dipentaskan, sedangkan beberapa lainnya tidak begitu saja bisa dijelaskan karena mungkin saja bersifat abstrak. Jika merunut pada penjelasan diatas, makna dan nilai yang dikandung oleh suatu kesenian, dalam hal ini tari, akan berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Benar, karena keduanya bersifat subjektif dan setiap orang akan mengiterpertasikannya dengan cara dan kesimpulan yang berbeda.

Dirasa sudah cukup dan mungkin sudah waktunya kembali, panggung yang masih disinari cahaya lampu sorot kuning pun kembali digunakan sebagai panggung utama. Mengitari panggung sebanyak tiga kali putaran, penari itu berdiri diam di bagian sentral panggung. Penonton spontan bertepuk tangan saat tubuh seniman itu condong berbungkuk memberi penghormatan. Tidak hanya itu, riuh rendah bersahutan hingga tepuk tangan berhenti dan ia menghilang dari panggung.

Beberapa saat setelahnya, penari itu kembali memasuki arena panggung setelah pembawa acara menyerunya untuk kembali. Ia muncul lagi di panggung dengan sorot lampu. Tentunya, pembawa acara tidak lupa melontarkan pertanyaan kepada si penari ihwal tarian yang baru saja ia tampilkan. Pembicaraan singkat yang akhirnya memberikan sedikit pemahaman kepada mereka yang tidak begitu mengerti dengan maksud dari tarian ini, sebelum ia kembali lenyap ke belakang panggung.

Sebuah pertunjukan yang memberikan tanggung jawab lebih kepada mereka yang menonton untuk memahami maksud dan pesan apa yang disampaikan oleh tarian ini. Tidak mudah memang, karena begitu banyak simbol yang dihadirkan si penari selama menari di panggung. Baik itu simbol yang jelas-jelas dapat dipahami secara langsung maupun simbol yang menggambarkan sesuatu yang lain.

Sekali lagi disebutkan disini bahwa pemaknaan dan penilaian akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya karena bersifat subjektif berdasarkan objek yang tampak. Entah karena pertunjukan malam ini tidak dikenakan biaya apapun atau karena mereka yang menonton memang tertarik untuk datang, sehingga cukup banyak yang menonton dan bertahan hingga akhir pertunjukan.

Daryono Darmorejo, penari yang membawakan karya Nglaras Ndriyo malam itu berhasil menjadi penguasa panggung dan memukau penonton yang hadir di pendopo Wisma Seni malam itu. Pada tanggal 7 Desember 2022, ia membuktikan bahwa tidak ada yang membatasi, termasuk usia, dalam berkesenian.

Penyunting: Nadya Gadzali