“Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, seorang ilmuwan akan mencari pola, dan seorang beriman akan mencari Tuhan” (Ayu Utami)

Gerimis membasahi langkah kami menuju sebuah bangunan suci. Sebelumnya, kami terpaksa berlindung dari hujan yang mengguyur Kota Malang nyaris seharian. Motor kami meliak-liuk di jalanan penuh liku sembari dipandu google maps, memacu kendaraan kami ke Candi Badut.

Situs bersejarah itu diduga merupakan yang tertua di Jawa Timur. Diyakini, tempat sakral itu dibangun pada masa kerajaan Kahuripan, lebih purba daripada Majapahit dan Tumapel. Di bawah rintik air yang seolah membasuh tubuh kami di ruang kudus ini, kami melangkah mengelilingi candi dan berhenti di sisi utara, berhadapan dengan sebuah arca.

Arca itu berwujud seorang perempuan dengan banyak tangan. Satu tangannya memegang ekor kerbau. Kakinya memijak mantap pada tubuh binatang yang rebah itu. Relief itu telah aus dikikis waktu. Meski parasnya kabur, masih bisa dikenali bahwa dia adalah Durga Mahisasuramardini, sosok yang pernah dipuja masyarakat Jawa kuno berabad-abad lalu sebagai pelindung dari kekuatan jahat.

Durga Mahisasuramardini berarti “Durga penakluk raksasa berwujud kerbau”. Monster (asura) yang menyerupai manusia itudigambarkan keluar dari tubuh kerbau besar (mahisa) yang takluk di tangan sang dewi. Arca ini ditemukan di banyak tempat di Jawa. Salah satu yang terindah dapat dilihat di Candi Prambanan.

Arca Durga di Candi Singasari tak kalah apik, tapi telah raib dibawa penjajah ke Belanda. Begitu memesonanya sang dewi hingga Alfred Russel Wallace merasa perlu menuliskannya dalam bukunya yang berjudul TheMalay Archipelago. Ia berdecak kagum saat melihat arca sang dewi di Mojoagung pada 1861. Sangat adiluhung karya seni itu hingga dirinya memutuskan untuk membawanya pulang ke Inggris. “Ekspresi saya terlihat sangat ingin memiliki relief itu,” tulisnya.

Dalam versi India, Durga biasanya digambarkan menunggang singa atau harimau. Akan tetapi, gambaran seperti itu tampaknya tidak ditemukan di Jawa—sekalipun pernah ada harimau di Jawa. Jumlah lengannya pun bermacam-macam, dua, empat, enam, delapan, atau sepuluh—Durga di Candi Badut berlengan delapan.

Dalam kosmologi Hindu, kemunculan Durga diawali dengan kemarahan para dewa pada raksasa yang mengacaukan alam semesta. Amarah dewata mewujud sesosok dewi yang cantik. Para dewa kemudian memberinya senjata, cakra, busur, anak panah, trisula, dan tombak. Begitulah sang dewi terjun ke medan laga menumbangkan Mahisasura—raksasa berwujud kerbau. Tetapi, di lereng Gunung Lawu, saya berjumpa dengan rupa Durga lainnya yang antitesis dan jauh dari jelita.

Langit mendung menemani lawatan saya ke Candi Sukuh. Sudah lama saya ingin berkunjung kemari, melihat arsitektur khas bangunan ini. Kata orang-orang, konstruksinya mirip piramida suku Maya di Amerika—yang nyatanya adalah konsep punden berundak. Relief-relief candi yang dibangun di masa akhir Majapahit itu menyimpan kisah Sudamala sekaligus menampilkan versi lain dari Durga.

Pada sebuah panel, terukir sesosok raksasi dengan taring mencuat. Tangannya memegang pedang, mengancam seseorang yang terikat di depannya. Dialah Ranini, rupa lain Durga yang lebih populer belakangan.

Dalam kidung Sudamala, dikisahkan, Uma, istri Batara Guru—Siwa—selingkuh dengan Batara Brahma. Sang suami begitu murka hingga tega mengutuk pasangannya sendiri menjadi monster mengerikan dan membuangnya dari kahyangan.

Diuman-umanlah Batari Huma. Kata Hyang Guru: “Oh, demikianlah terangnya!” sambil mengacungkan telunjuknya dan merobah rupa Sri Huma—Uma—menjadi Durga. Itu adalah akibat perbuatan sendiri, sama halnya dengan orang mandi tentu membasahi diri. Terlaksanalah kutuk Hyang Guru yang berbunyi: Semoga kamu menjadi Durga dan bernama Ranini.

Layaknya Adam dan Hawa yang diusir dari taman eden oleh Tuhan lantaran dosa asali ke dunia penuh derita, Batara Guru mengasingkan permaisurinya ke Setragandamayit, tempat angker berbau mayat. Sudamala menggambarkan wujud Ranini begitu menakutkan:

Seperti kapur jatuh di atas kunyit, merembes merata tak ada selatnya, maka segera menjadi merah, beruntai-untai, bergumpal melekat rambut Sang Huma. Badannya menjadi besar dan tinggi. Matanya menyerupai matahari kembar, mulut seperti gua ternganga, panjang, tajam menonjol keluar taringnya, hidung berlubang luas seperti sepasang perigi, demikianlah perwujudan badannya, kelihatannya. Berbelang-belang warna kulitnya. Menjerit, berteriaklah ia, memohon agar dilepaskan dari keadaan yang demikian itu.

Ia kemudian menjadi penguasa Setragandamayit bersama para hantu, sampai Sadewa membebaskannya dari kutukan. Tampaknya, wujud inilah yang disembah Calon Arang sebagai Batari Bagawati. Statusnya sebagai penguasa dunia orang mati membuatnya cocok dengan gagasan tentang nama lain sang batari, yakni Candika, dewi kematian yang konon merupakan muasal istilah candi.

Dalam drama tari Calon Arang di Bali, Rangda, sosok mengerikan dengan mata melotot dan taring panjang, dianggap sebagai jelmaan sang Durga. Ni Wayan Pasek Ariati, seorang peneliti sejarah, menganggap bahwa sampai saat ini orang Bali masih rancu antara Durga dan Rangda. Padahal, Rangda tidak lain adalah Calon Arang—rangda berarti “janda”.

“Orang tidak memahami bahwa Rangda itu pemuja setia Batari Durga,” jelasnya. Dalam kisah itu, sang batari digambarkan: Rangda itu memang sangat tinggi ilmunya. Ia belajar langsung dari Batari Hyang Bagawati, dewi yang sangat jahat. Ia bahkan memuja dewi itu setiap saat.”

Selain menyebutnya sebagai dewi yang sangat jahat, dituliskan pula sang batari sebagai dewi kesesatan. Kisah pembuangan entitas adikodrati semacam ini tentu tidak asing dan mengingatkan kita pada fallen angel di Barat.

Cerita-cerita sejenis ditemukan di beberapa kebudayaan. Menurut kaum Nasrani, Lucifer didepak dari surga karena kesombongannya, begitu pula Iblis dalam tradisi Islam. Ada pula kisah dua malaikat, Harut dan Marut, yang dihukum Tuhan. Mereka dibuang ke bumi, digantung terbalik hingga akhir zaman.

Arkeolog terkemuka Indonesia, Hariani Santiko, menduga perubahan citra Durga dari bentuknya yang ayu menjadi sosok demonis disebabkan fenomena sosial dalam masyarakat Jawa kuno terkait tantrisme. Ritual-ritual suci tantra dan pemujaannya terhadap sang dewi yang dianggap aneh dan tak senonoh oleh orang-orang mengubah prasangka mereka terhadap Durga, sehingga lahirlah sosok Ranini.

Atau, boleh jadi, Ranini adalah produk imajinasi laki-laki terhadap femme fatale—wanita mematikan. Sebagai dewi utama dalam siwaisme, karakter Uma atau Durga tentunya kuat dan menggentarkan. Femme fatale juga banyak ditemukan dalam figur-figur dari berbagai kebudayaan, seperti Circe yang mengubah lelaki menjadi babi dan Siren yang ditakuti para pelaut. Kini, kita bisa menemukan pola ini dengan mudah dalam film-film populer atau bahkan fenomena di sekitar kita.

Dewi-dewi pernah berkuasa di seluruh dunia dan merupakan arketipe alam bawah sadar kolektif manusia. Tak heran, jika kita menemukan pola-pola yang sama pada berbagai dewi di seantero jagat. Ahli psikoanalisis Swiss, Carl Gustav Jung, menulis dalam bukunya yang berjudul Empat Arketipe bahwa dewi merupakan manifestasi arketipe ibu dalam maknanya yang kiasan. Simbol dari arketipe ini bermacam-macam namun merujuk pada fungsi yang sama, yakni segala sesuatu yang bersifat subur, welas asih, melindungi, dan memelihara.

Baik Durga, Uma, dan Parwati, semuanya merupakan perwujudan dari entitas yang sama. Satu lagi bentuknya yang lebih lazim di India, yakni Kali. Mereka semua adalah manifestasi aspek-aspek sang batari. Uma atau Parvati merupakan ketenangannya (santa), Durga mewakili kemarahannya (krodha), dan Kali sebagai bentuk keganasannya (krura). Dalam novel Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya, sang tokoh utama menjalani peran Uma dan Durga, lembut sekaligus kejam.

Sebagai dewi perang, ia dipuja-puja. Dianggap tameng dari musuh dan mara bahaya. Dalam bahasa Sansekerta, Durga berarti “benteng”. Konon, Batari Arcacarupa yang disembah Raja Erlangga tidak lain adalah Durga. Bahkan, dalam wujudnya sebagai Ranini yang buruk rupa, ia tak kehilangan personanya sebagai pelindung.

Kisah Sudamala menceritakan ibu para Pandawa, Kunti, memohon pada Durga Ranini untuk membantu anak-anaknya menjelang pertempuran melawan Kurawa. Karakter serupa dimiliki Athena, dewi perang dan pelindung Yunani, serta Minerva di Romawi. Akan tetapi, peran sang batari tak hanya sebatas petarung dalam medan tempur.

Dalam tradisi India, Durga juga berfungsi sebagai dewi bagi para petani. Vana Durga yang disembah di kawasan Benggala dianggap sebagai penguasa tumbuhan. Korelasinya dengan kesuburan tampaknya merupakan sifat Uma yang seringkali disimbolkan sebagai yoni dalam candi-candi siwa di Jawa. Lambang energi feminin sekaligus fertilitas, layaknya Demeter bagi orang Yunani.

Dalam hal ini, eksistensi sang batari juga bisa dikaitkan dengan kultus Dewi Ibu di masa lalu, seperti Isis di Mesir. Fungsi tersebut tentunya sangat vital bagi kehidupan masyarakat agraris kuno. Dalam bukunya, Alfred Russel Wallace menyebut sang dewi sebagai perawan agung. Barangkali, ia teringat pada sosok Maria dalam teologi kristen.

Selain kesuburan, Durga juga dianggap sebagai pelindung dari penyakit, begitu pula sebaliknya. Ia akan menebar wabah saat marah. Riwayat sang batari sebagai biang wabah bisa kita lihat dalam kisah Calon Arang. Dalam ritualnya, Calon Arang memuja Durga, memohon padanya guna membantu sang janda menyebar teluh ke seluruh negeri.

Mayat-mayat bergelimpangan terkena epidemi mengerikan hingga Mpu Baradah menghentikannya. Dalam kisah tersebut, malapetaka yang melanda digambarkan sangat apokaliptik: Seluruh kerajaan terserang penyakit, sakit semalam dua malam, tidak lain panas dingin sakitnya. Orang-orang itu meninggal. Mayat bertumpuk-tumpuk tindih-menindih di kuburan. Tidak ada selanya di kuburan dengan batas lubang pembuangan air, karena banyaknya mayat itu. Yang lain di ladang ataupun di jalan, ada pula membusuk di rumahnya. Anjing melolong makan mayat. Burung gagak terbang berkeliaran, ikut bersama-sama mematuk-matuk bangkai. Lalat berdengung bergemuruh di dalam rumah.

Meskipun demikian, Durga tetap menjadi panutan dan junjungan bagi perempuan-perempuan India masa kini. Ia menjadi patron ideal mereka, sebagai lambang kesuburan, keberanian, dan kekuatan perempuan. Perayaan Durga Puja masih diperingati di India hingga saat ini. Lalu, bagaimana korelasi antara Durga dan perempuan modern Indonesia? Barangkali, kita bisa membacanya dari sampul sebuah majalah.

Majalah perempuan Indonesia, Femina, terbitan pertama pada 1972 menggunakan gambar perempuan bertangan sepuluh di sampulnya, Layaknya Durga. Setiap tangannya memegang benda-benda berbeda. Keranjang belanja, wajan, cermin, mesin tik, buku, gunting dan beberapa benda lainnya. Sebuah ilustrasi ruang ekspresi perempuan modern yang tak hanya dalam tataran domestik.

Buku dan mesin tik mengisyaratkan pendidikan dan pekerjaan. Seorang perempuan modern tak hanya lihai menangani urusan rumah tangga, tapi juga berkarir. Meskipun demikian, tampaknya gambar tersebut masih berat sebelah. Benda-benda yang dipegang lebih banyak melambangkan peran privat perempuan dalam kultur masyarakat patriarki.

Sebenarnya, eksistensi Durga sendiri juga tak bisa lepas dari diskursus patriarki. Bagaimanapun, ia adalah shakti Siwa, tercipta dari energi maskulin, dan diciptakan untuk menyelesaikan tugas para dewa. Tak seperti Lilith, Durga belum cukup subversif dan tidak cocok menjadi simbol feminisme.

Kini, kultus Durga boleh jadi memang sudah tidak ditemukan lagi di Jawa. Akan tetapi keberadaannya masih bisa dilihat dalam karya sastra dan seni, seperti novel, tari, serta wayang. Lagipula, sang dewi adalah sifat-sifat arketipal yang sampai sekarang masih bisa kita rasakan dalam diri seorang ibu yang menyayangi dan melindungi anaknya, wanita yang berjuang demi karir dan keluarga, serta tokoh-tokoh perempuan berpengaruh di dunia. Ia masih ada dalam diri ibu, pasangan, dan perempuan-perempuan terdekat kita.

Penyunting: Nadya Gadzali