Kota Lamongan memang masyhur dengan kulinernya. Mulai dari soto, tahu campur, pecel lele, dan tentunya sego boran. Bedanya, dari tiga nama yang disebutkan, hanya sego boran yang dapat ditemui di Lamongan. Sementara yang lainnya—terutama soto dan pecel lele—tersohor sampai luar kota. Padahal, sego boran boleh dibilang makanan favorit orang Lamongan. Entah kenapa menu ini seperti tak bisa diekspor ke luar kota.
Di luar kota, sego boran hanya ditemui di acara-acara tertentu yang diadakan oleh orang-orang Lamongan saja. Bahkan beberapa bulan lalu, kedai sego boran yang ada di Surabaya juga sudah tutup. Sego borang terbilang unik lantaran hanya ada di sekitar Lamongan Kota saja. Jika kita berada jauh dari pusat kota Lamongan, kita akan sulit menemukannya.
Hal unik lainnya, makanan ini hanya dijajakan oleh perempuan. Sejauh ini, belum pernah ada penjual sego boran laki-laki. Berbeda dengan pecel lele, soto, maupun tahu campur yang mayoritas penjualnya adalah laki-laki. Jika kebetulan mampir ke Lamongan, sego boran dapat dijumpai di trotoar-trotoar di sekitar Kota Lamongan. Dijual oleh seorang perempuan yang membawa keranjang dari anyaman bambu, berisi nasi beserta sambel serta lauk pauknya. Ia membawa tikar sebagai alas untuk menjajakannya.
Dulu, sego boran dijajakan oleh “Yuk”, sebutan untuk perempuan penjual nasi boran. Yuk berjalan kaki menyusuri Kota Lamongan dengan jarik melilit tubuhnya, menggendong sego boran. Terbukti di daerah Kaotan dan Sawo, terdapat perempuan lanjut usia yang punggungnya membungkuk, sebab memikul keranjang sego boran semasa mudanya.
Namun sekarang, pemandangan seperti itu jarang sekali ditemui. Nama sego boran diambil dari keranjangnya yang dinamai boran oleh orang Lamongan. Menurut sejarahnya, boran sebenarnya bukan untuk mengangkut nasi, melainkan alat yang berfungsi sebagai timba untuk mengangkut tanah guna membuat galengan di sawah-sawah.
Dulu, daerah Lamongan masih terbatas dan belum memiliki wadah untuk membawa nasi. Maka digunakanlah keranjang terbuat dari besek bambu. Boran yang semula berfungsi untuk menimba tanah, berkembang menjadi alat untuk mengangkut nasi.
Selain itu, yang menarik dari sego boran adalah diproduksi di empat dusun di Kecamatan Lamongan, yaitu Dusun Kaotan, Sawo, Sidorukun, dan Karangmulyo. Menurut sejarahnya, dusun yang pertama berjualan adalah Dusun Sawo, lalu menyebar ke Kaotan. Keduanya pun masih dalam lingkup satu desa, yaitu Desa Sumber Rejo. Namun, pasca peristiwa G30S, ada sebuah masalah yang membuat warga daerah Kaotan dan Sawo harus berpindah tempat tinggal.
Orang-orang di Sawo dan Kaotan pun berpindah ke desa sebelahnya, yaitu Sidorukun dan Karangmulyo yang hingga sekarang masih menganggap mereka masih sedulur Sawo atau masih bersaudara dengan orang di Dusun Sawo. Sejarah lengkap soal asal-usul sego boran, memang masih simpang siur. Sulit mencari tahu bagaimana asal mula sego boran dan orang yang pertama membuatnya.
Tidak ada catatan mengenai hal ini. Bahkan, setelah bertanya pada penjualnya pun, saya yakin mereka tak tahu persis asal usulnya. Sementara resep sego boran, diperoleh secara turun temurun dari keluarga, lalu ke tetangga, hingga akhirnya menyebar ke seluruh desa.
Setiap harinya di sekitar Desa Kaotan, Sawo, Sidorukun, dan Karangmulyo, hilir mudik orang mengantarkan sego boran selama 24 jam nonstop. Banyak ditemui laki-laki yang mengantarkan perempuan untuk berjualan sego boran. Di Lamongan, makanan ini dapat dibeli kapan saja.
Saat menyantapnya, kamu akan tahu betapa sego boran memang berbeda dengan sego sambel pada umumnya. Jika sego sambel pada umumnya berwarna merah, maka sambal sego boran berwarna jingga. Sambal ini terbuat dari lengkuas, jahe, terasi, jeruk purut, cabe rawit yang direbus, dan beras mentah yang direndam sebagai pengental.
Selain itu, ada pula tambahan parutan kelapa, bawang merah, bawang putih, daun bawang goreng, merica, gula, serta garam. Kuah sambal yang pedas dan asin inilah yang paling khas dari sego boran. Dalam satu porsi sego boran, nasi putih disajikan dengan ragam lauk yang dapat dipilih oleh pembeli. Mulai dari ayam goreng, udang, tempe, tahu, telur asin, telur dadar, sate uretan (bakal calon telur), jerohan hati, ikan bandeng, ikan kuthuk, rempeyek kacang, serta empuk.
Yang disebutkan terakhir adalah yang paling istimewa dan sulit untuk ditiru orang. Empuk merupakan gorengan tepung yang dicampur dengan kunir hingga membentuk bulatan. Disebut empuk karena teksturnya yang memang empuk. Jika beruntung, kita bisa mendapatkan ikan sili yang mahal harganya, mengingat betapa sulitnya mendapatkan ikan sili di pasar.
Sego boran biasa disajikan dengan urap-urap. Urap-urap merupakan campuran sayur segar seperti yang biasa dijumpai saat menyantap hidangan nasi pecel. Ciri khasnya adalah tambahan urapan parutan kelapa yang dicampur dengan cabe. Urap-urap sering disebut dengan krawu. Krawu di Lamongan memang berbeda dengan krawu yang ada di Gresik yang menggunakan daging. Sebab di Lamongan menggunakan sayur.
Jika doyan, kita juga akan diberi pletuk, yang merupakan remahan peyek dan kacang goreng, kemudian dilumuri bumbu kuah pedas berwarna jingga yang bernama sambal boran. Sayangnya, akhir-akhir ini sego boran rasanya tak seenak dulu. Ditengarai banyaknya orang non-Kaotan, Sawo, Karangmulyo, Sidorukun yang mulai menjual sego boran, namun tak sesuai pakem.
Tak diketahui mengapa sego boran terasa berbeda jika tak dibuat dan dijajakan oleh orang-orang dari desa asalnya. Sego boran yang dibuat oleh perempuan-perempuan Kaotan, Sawo, Karangmulyo, dan Sidorukun memang istimewa. Meski begitu, eksistensi sego boran dan makanan khas Lamongan lainnya, sudah membuktikan bahwa Lamongan adalah kota dengan kuliner yang beragam.
Diperkuat oleh tradisi lisan orang-orang Lamongan yang konon menyebut bahwa Mbah Lamong—pendiri Kabupaten Lamongan—dulunya merupakan juru masak Sunan Giri. Di beberapa daerah sekitar Lamongan (termasuk Desa Sumberrejo, Desa pembuat sego boran), jika mengadakan sedekah bumi, yang dibuat menjadi uborampe sesajen adalah semua bumbu dapur.
Bumbu dapur komplit dibawa ke tempat yang disakralkan untuk dipersembahkan kepada Danyang leluhur desa tersebut. Upacara Sedekah Bumi di Lamongan, biasa diadakan sekitar bulan Agustus hingga Oktober, ketentuan harinya menunggu panen ke-3 dalam setahun.
Upacara ini biasa diadakan dengan menggelar wayang kulit, pengajian, reyog Ponorogo, ludruk, dan lain sebagainya. Mitos yang melatarinya memang perlu diteliti lebih dalam oleh para sejarawan. Benar tidaknya, yang jelas masyarakat Lamongan masih meyakini hal ini. Seperti saya yang percaya bahwa rasa otentik sego boran Lamongan memang tiada duanya. Rugi rasanya jika mengunjungi Kota Lamongan namun tak mencicipi sego boran.
Penyunting: Nadya Gadzali