Sebagai salah satu kota tertua di Jawa Timur, tidaklah mengherankan jika di Kabupaten Tulungagung terdapat pelbagai macam peninggalan masa silam yang terdiri dari makam-makam tua, candi-candi dan goa pertapaan.

Kendati telah banyak yang rusak karena faktor usia, alam, maupun ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab, namun beberapa diantara peninggalan masa silam itu terdapat sisa-sisa keindahan yang masih dapat dinikmati hingga saat ini.

Salah satu diantaranya ialah Goa Selomangkleng yang berada di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Goa ini berada di tengah areal perkebunan jati milik Perhutani.

Dilihat dari bentuknya, Goa Selomangkleng termasuk goa buatan. Goa ini dibuat dengan cara melubangi sebuah batu besar yang terdiri dari dua ruangan berbentuk persegi panjang. Satu ruangan dihias dengan beberapa panel relief yang berkisah tentang fragmen Arjunawiwaha. Sementara ruangan lainnya, dibiarkan polos tanpa relief.

Kendati memiliki kesamaan nama dan teknik pembuatan dengan Goa Selomangkleng yang berada di Kediri, namun terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan di antara keduanya. Selain dari jenis relief yang dipahat, Goa Selomangkleng yang berada di Tulungagung ini juga mengandung maknanya sendiri.

Relief di Goa Selomangkleng yang Menunjukkan Adegan Bidadari Sedang Menggoda Arjuna/ Zuly Kristanto

Menurut Dwi Cahyono, seorang arkeolog dari Universitas Negeri Malang, panel relief berfragmen Arjunawiwaha yang dipahat pada dinding Goa Selomangkleng merupakan lambang toleransi beragama tertua yang ada di Jawa Timur, khususnya di daerah Tulungagung.

Arjunawiwaha merupakan sebuah kakawin yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga di Kahuripan pada tahun 1019 M-1042 M. Kisah ini bermula ketika Niwatakawaca, salah seorang raja raksasa sakti, mengacaukan kedamaian negeri kahyangan.

Konon, kesaktian raja raksasa ini tidak tertandingi oleh para dewa dan raksasa. Ancaman Niwatakawaca membuat para dewa resah. Ditengah keresahan itu, dewa Indra yang dianggap sebagai pucuk tertinggi para dewa, memutuskan untuk meminta bantuan kepada bangsa manusia.

Pilihan dijatuhkan kepada Arjuna yang saat itu sedang bertapa di gunung Indrakila. Guna menguji kesungguhan tapa yang dilakukan oleh Arjuna, para Dewa pun mengutus 7 bidadari untuk menggodanya.

Meskipun bidadari menggodanya sedemikian rupa, Arjuna sama sekali tidak goyah dalam pertapaannya. Tidak hanya itu saja, Batara Indra pun menguji Arjuna dengan tangannya sendiri. Ia menemui Arjuna yang sedang bertapa dengan menyamar sebagai seorang pertapa tua.

Saat berhasil membangunkan Arjuna dari tapanya, sang pertapa tua yang merupakan penjelmaan dari Dewa Indra berdiskusi perihal agama dengan Arjuna. Merasa puas dengan jawaban-jawaban Arjuna, akhirnya dewa Indra pun kembali ke wujud aslinya. Setelah menyatakan jati dirinya yang sesungguhnya, dewa Indra kembali ke kahyangan. Sedangkan Arjuna melanjutkan kembali tapanya.

Keinginan para dewa memilih Arjuna untuk melawan Niwatakawaca ini didengar oleh raja bangsa raksasa, Niwatakawaca. Maka dari itu, ia mengutus Mūka, salah satu prajuritnya yang paling sakti untuk membunuh Arjuna. Setelah mendapat tugas dari rajanya, Mūka segera berangkat menuju gunung Indrakila.

Sesampainya di gunung Indrakila, Mūka segera merubah wujudnya menjadi seekor babi hutan. Ia mengamuk dan membuat kekacauan di dalam hutan. Arjuna mendengar suara babi hutan yang sedang mengacau itu, kemudian segera bangkit dari tapanya sambil membawa panah saktinya.

Melihat babi hutan yang sedang mengacau dan membuat banyak kerusakan, tanpa ragu Arjuna pun membidik dan melesatkan anak panahnya ke arah babi hutan jelmaan dari Mūka.

Bersamaan dengan melesatnya anak panah milik Arjuna, dewa Siwa yang ketika itu sedang menyamar sebagai orang Kirata juga melepaskan anak panahnya ke arah babi hutan jelmaan dari Mūka. Dua anak panah itu bersatu dan berhasil membunuh Mūka.

Anak panah siapakah yang telah membunuh babi hutan jelamaan Mūka?. Perdebatan tidak menemui titik terang, hingga akhirnya, keduanya pun terlibat perkelahian sengit. Arjuna yang saat itu nyaris kalah, mencoba memegang kaki orang Kirata jelmaan dari Dewa Siwa. Di saat bersamaan, Dewa Siwa kembali ke wujud aslinya. Tanpa ragu Arjuna pun melakukan sembah bakti.

Dewa Siwa yang merasa bahwa Arjuna telah lulus dari ujian, segera memberikan panah pusaka kepada Arjuna. Panah pusaka itu bernama Pasupati. Dengan senjata inilah kelak raja raksasa yang bernama Niwatakawaca berhasil dihabisi oleh Arjuna.

Keberhasilannya melakukan tugas dari dewa, serta mengembalikan kedamaian di negeri kahyangan, Arjuna pun dinikahkan dengan tujuh bidadari yang pada awal cerita, dikisahkan menggodanya saat bertapa di gunung Indrakila.

Kisah tentang Arjunawiwaha ini tertuang ke dalam bentuk beberapa fragmen relief yang dipahat di dinding Goa Selomangkleng. Sepintas, relief fragmen Arjunawiwaha yang dipahat di dinding Goa Selomangkleng, tampak serupa dengan relief fragmen Arjunawiwaha ditempat lain. Namun, jika diperhatikan dengan lebih seksama, terdapat satu adegan yang tidak dipahat di dinding Goa Selomangkleng, yakni adegan ketika Arjuna membunuh babi hutan yang merupakan jelmaan dari Mūka.

Dwi Cahyono mengatakan, membunuh binatang dilarang dalam ajaran agama Buddha. Maka, fragmen relief yang menggambarkan adegan Arjuna membunuh babi hutan jelmaan dari Mūka tidak dapat ditemukan di Goa Selomangkleng.

“Tidak adanya adegan Arjuna membunuh babi hutan dalam relief Arjunawiwaha di Goa Selomangkleng, memang sengaja dilakukan oleh pembuatnya. Tujuannya adalah untuk menghormati pemeluk agama Buddha yang saat itu, di Kabupaten Tulungagung lumayan banyak. Si pembuat relief yang tentunya beragama Hindu, lebih memilih menghilangkan salah satu bagian relief demi menjaga perasaan umat lain,” ujar Dwi Cahyono kepada saya dalam sebuah kesempatan.

Penjelasan Dwi Cahyono tentang pemeluk agama Buddha di Kabupaten Tulungagung pada masa pembuatan Goa Selomangkleng ini, bukan tanpa dasar. Jejak peninggalan bernafaskan agama Buddha yang berada tidak jauh dari Goa Selomangkleng, seperti Candi Sanggrahan dan Candi Gayatri, menunjukkan bahwa di masa lampau, pemeluk agama Buddha di kawasan Tulungagung telah hidup berdampingan dengan umat Hindu.

Candi Sanggrahan yang Berada Tidak Jauh dari Goa Selomangkleng/ Zuly Kristanto

Candi Sanggrahan dan Candi Gayatri yang dibangun berdekatan dengan Goa Selomangkleng, membuktikan bahwa toleransi di antara pemeluk agama Hindu-Buddha di Tulungagung, sudah terjalin sejak lama.

Sayangnya, belum diketahui kapan Goa Selomangkleng dibuat dan siapa yang membuatnya. Tetapi, jika dilihat dari teknik pengerjaannya, dapat diperkirakan bahwa Goa Selomangkleng yang ada di Tulungagung, dibangun sekitar tahun 1045 hingga 1222 Masehi atau pada masa Kerajaan Kediri. Jika perkiraan itu benar, maka tidaklah salah jika goa ini dianggap sebagai simbol toleransi tertua di Jawa Timur, khususnya di Tulungagung.

Kendati sudah tidak dipakai lagi untuk bertapa, namun Goa Selomangkleng masih sering digunakan untuk berbagai keperluan. Selain digunakan sebagai tempat peribadatan umat Hindu di kawasan Tulungagung dan sekitarnya, masyarakat yang hendak melaksanakan hajatan, biasa menaruh cok bakal di goa ini untuk mengawali niatnya.

Tidak hanya itu, Goa Selomangkleng juga sering dipakai untuk laku semedi oleh banyak orang dari latar belakang agama yang berbeda. Hal itulah yang membuat Goa Selomangkleng menjadi simbol toleransi beragama tertua peninggalan masa Hindu-Buddha yang tersisa di kawasan Tulungagung.

Penyunting: Nadya Gadzali