Etnis.id - Gaukang merupakan acara adat tahunan keluarga kerajaan khususnya dan masyarakat Galesong Kabupaten Takalar pada umunya. Gaukang adalah tradisi memperingati panji kebesaran Kerajaan Galesong yang dilaksanakan setiap 27 Rajab tahun Hijriah.

Gaukang bukan memperingati hari jadi Galesong, sebab Galesong sudah ada dan menjadi imperium kekuasaan otonom sekisar tahun 1500-an, jika merujuk pada informasi dalam penanggalan Lontara Bilang kerajaan Gowa sebagai berikut.

  1. Pada 5 Juni 1633 Karaeng Galesong Wafat/27 Zulkiadah 1042 namate Kare Galesong
  2. Pada  1636 karaeng Galesong diundang Maruttaki/29 Jumadil Awal 1046 nabattu nipabiritta Kare Galesong nikana Maruttaki
  3. Pada 4 Februari I Lo’moq Ibu Karaeng Galesong (I Maninrori menikah) dengan Tumenanga ri Balla Pangkana (Sultan Hasanuddin)/15 Rabiul Awal 1064 nanibaineang I Lokmoq Anronna Kare Galesong ri Rumenanga ri Balla Pangkana
  4. 29 Maret 1655 lahir I Maninrori Karaeng Galesong/12 Jakr 1065 nananiki Kare Galesong I maninrori
  5. 1 Juli 1663 Ibunya Maninrori (I Loqmoq) melahirkan anak laki-laki bernama Sulaeman/17 Zulhijja 1073 namammanaki anronna i Maninrori burakne nikana Sulaemana
  6. 19 Agustus 1668 Galesong dikalahkan oleh Belanda/28 safar 1078 na nibeta Galesong ri Balandaya
  7. 5 Agustus 1671 Karaeng Galesong sampai di Bima mengunjungi Harunarrasyid (Tumenanga ri Lampana) untuk kembali ke Makassar/29 Rabiul Awal 1082 namanta’le ri Bima Karaeng Galesong ambuntuli Tumenanga Ri Lampanna
  8. 22 November 1680 Karaeng Galesong Wafat di Banten/18 Syawal 1090 namate Kare Galesong Ilauq ri Bantang.

Ada 8 kali penyebutan Galesong. Artinya, peradaban Galesong sebagai imperium yang mempunyai peranan penting terhadap supremasi kekuasaan Gowa, telah ada pada abad ke-16.

Jika pada tahun ini (2020) Gaukang ke-259 dilaksanakan, berarti ia sudah digelar pada tahun 1761. Masalahnya, saat itu kekuasaan Gowa telah melemah dan berada di bawah supremasi kekuasaan VOC. Banyak pula wangsa Makassar berimigrasi ke pelbagai daerah di pelosok Nusantara.

Saya menyimpulkan, saat itu terjadi huru-hara politik kekuasaan yang begitu deras antara Gowa dan Belanda. Gowa yang terus melawan, menuntut wilayah kekuasaan vasal-nya (termasuk Galesong) untuk dikembalikan. Di sisi lain, VOC bertahan lalu melepaskan daerah vasal milik Gowa sesuai Perjanjian Bongaya.

Akhirnya, kondisi tersebut membuat Galesong tidak lagi berada di bawah palili (vasal) Gowa, tetapi menjadi daerah otonom. Akan tetapi, karena waktu itu VOC memainkan peran penting terhadap lepasnya wilayah vasal Gowa yang tertuang dalam Perjanjian Bongaya, maka otomatis, supremasi kekuasaan di Galesong menjadi campur tangannya. Tidak ada yang menjadi raja di Galesong tanpa restu Gubernur VOC.

Sejarah Gaukang

Gaukang atau tammu taung berarti peringatan hari ulang tahun yang menjadi agenda tahunan panji kebesaran milik Kerajaan Galesong. Menurut Tamanggong Daeng Lira (wawancara tahun 2007), tetua asal Takalar, sejarah ini tidak diketahui dengan pasti, hanya menjadi cerita tutur orang tua kampung.

Sekisar awal abad ke-17, Datu Sawitto (Pinrang) mempunyai seorang anak bernama Mappalemba. Ia merupakan anak tunggal dari seorang permaisuri. Setelah ibunya meninggal, Datu Sawitto kawin lagi. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak lelaki.

Setelah Datu Sawitto wafat, maka dewan adat mengadakan musyawarah untuk memilih pewaris tahta kerajaan. Dalam rapat itu, ada yang berpendapat untuk mengangkat Mappalemba menjadi Datu Sawitto menggantikan ayahnya.

Dari pihak saudara tirinya, ada yang menuntut hak demokrasi dengan jalan pemilihan yang belakangan disetujui. Pasca pemilihan, saudara tiri Mappalemba terpilih dari buah kesepakatan dewan adat.

Mappalemba kecewa, ia mengundang keluarga dan tokoh-tokoh beserta masyarakat yang memihak padanya. Ia mengadakan forum, lalu berpesan bahwa: 1.) Dirinya akan meninggalkan negerinya tanpa menyebut tempat tujuan (yang akhirnya ke Galesong). Segala ketentuan takdir yang akan terjadi padanya diserahkan kepada Tuhan. 2.) Setelah kepergiannya, ia meminta agar Sawitto diubah (Pinra) namanya.

Setelah beberapa tahun menetap di Galesong, anaknya Bau Bonsu menikah dengan Boe Janggo. Masa itu, Boe Janggo menjabat sebagai Lompo (semacam kepala desa). Setelah perkawinan itu, Bau Bonsu melahirkan dua putra. Anak pertama bernama Datu Lolo dan anak keduanya bernama Sambung Biseya. Pada masa kanak-kanak, Sambung Bisea dijadikan anak angkat oleh Somba Barombong, sehingga lebih banyak bermukim di Barombong.

Beberapa tahun kemudian, sekitar bulan Jumadil Akhir, pada masa pemerintahan I Kaseng Daeng Managara menjadi Karaeng Galesong, masyarakat Galesong gempar. Mereka berduyun-duyung ke pantai (Kampung Bayoa) karena mendengar riuh suara gendang dan pui-pui di sekitar pantai.

Dikiranya ada hajatan kerajaan. Namun setelah mereka saksikan, tidak ada orang yang menyertai bebunyian itu. Suaranya semakin jelas, sampai akhirnya yang terlihat hanyalah bakul persegi yang mengapung di tengah laut.

Ada juga cerita tutur tentang sejarah Gaukang yang mengatakan bahwa suatu ketika seorang nelayan melaporkan kejadian gaib yang dialaminya kepada tokoh masyarakat Daenta Lowa-lowa, di Kampung Ujung sekitar Pantai Galesong. Bahwa dirinya telah dua kali diperlihatkan peristiwa aneh yang berlangsung selama dua Jumat berturut-turut.

Temuan gaib itu berupa bunyi-bunyian dari suara khas gendang, royong, pui-pui, lesung, dan berbagai suara lainnya. Suara itu terkadang dirasakan sangat dekat dan ada kalanya sayup-sayup. Seiring matahari terbit, terlihat benda aneh semacam potongan bambu tiba-tiba muncul dan kemudian hilang dengan sekejap di hadapannya.

Masyarakat penasaran dan mulai ingin meraihnya. Ada yang mendayung, dan ada pula yang berenang. Namun semakin didekati, benda itu bergerak menjauh. Ketika orang kembali ke pantai, benda itu juga mendekat.

Di antara orang-orang itu, hadir juga Mappalemba, Boe Janggo, Boe Sanro dan Datu Lolo. Setelah Mappalemba melihat benda itu, ia mengatakan bahwa benda yang hanyut itu merupakan panji kebesaran Datu Sawitto. Ia bersama cucunya, Datu lolo, mendayung mengambil benda itu.

Benda itu diraihnya dan dibawa ke sebelah utara Pulau Sanrobengi dan diletakkan di gugusan karang bernama Taka Kekea. Benda itu serupa bakul persegi yang terbungkus. Isinya kancing, anak baccing, oja, dll. Setelah itu, dibawanya ke rumah Boe Janggo.

Mappalemba kemudian memberitahukan kepada menantunya, bahwa benda itu miliknya, dan menurut kebiasaan di Sawitto, dalam setiap tahun diperingati (Gaukang) disertai dengan upacara kerajaan pada akhir Jumat bulan Jumadil Akhir.

Sebab biaya pelaksanaan Gaukang sangat banyak, maka Mappalemba mengusul kepada menantunya agar Gaukang diserahkan kepada Karaeng Galesong. Sebelum itu, diadakan musyawarah dulu sebagai berikut:

  1. Panji kebesaran yang berada di rumah Boe Janggo dibawa ke Istana Balla Lompoa pada bulan Rajab dan dijadikan panji kebesaran Kerajaan Galesong.
  2. Karena upacara Gaukang yang dilaksanan setiap tahun dan memakan biaya cukup banyak, maka seluruh rakyat Galesong diminta untuk menyumbang seikhlasnya.
  3. Boe Janggo memberikan sawahnya yang terletak di Tamparang Lebbaya kepada paganrang di depan (penabuh gendang depan) 4 petak sawah; pengusung rakit-rakit 2 petak sawah; patakgalak lengu’ (pemegang lengu') 2 petak sawah; pinati (Panitia) 4 petak sawah.
  4. Karaeng Galesong memberikan sawahnya yang terletak di Kampung Malolo kepada paganrang di belakang (penabuh gendang belakang) 2 petak; papuik-puik sepetak.
  5. Upacara peringatan hari ulang tahun panji kebesaran Kerajaan Galesong dilaksanakan pada malam Jumat di akhir bulan.
  6. Boe Janggo diangkat menjadi Anrong Guru (ketua panitia) yang ditugaskan untuk mengatur kepanitiaan dan memimpin persiapan dan jalannya Gaukang.
  7. Apabila suatu waktu, Boe Janggo sakit atau telah uzur dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, maka yang berhak menggantikannya sebagai Anrong Guru harus berasal dari keturunannya atau keluarga terdekatnya. Tidak diperkenankan dikelola orang lain.

Maka resmilah Gaukang menjadi milik Kerajaan Galesong. Upacara penyerahannya dilaksanakan dengan meriah, disaksikan banyak masyarakat. Sebagai apresiasi kepada Mappalemba dan keluarganya, Karaeng Galesong menghadiahkan 19 petak sawah dan perkampungan yang dinamai La Bottoe atawa Kampung Lambatowa pada kemudian hari. Demikian juga Kampung Sawakong Towa.

Adapun makam Mappalemba atau Lembaya kini berada di Kampung Pa’la’lakkang, sekitar 300 meter dari Balla Lompoa Galesong. Makam Boe Janggo terletak di Kampung Lanna sektar 200 meter dari Balla Lompoa dan makam Datu Lolo terletak di Manjalling, Galesong Selatan.

Hubungan Galesong dan Sawitto

Penulis menduga, peraih Gaukang yakni Mappalemba, bukanlah nama aslinya. Mappalemba atau Lembayya, mengandung arti berpindah, menyeberang, menyingkir. Hal ini sesuai dengan konsisi yang dialaminya di Sawitto yakni mengasingkan diri. Akhirnya, ia hanya dikenal sebagai orang dari seberang yang menyingkir (Tu Nipalemba).

Mappalemba meninggalkan Sawitto bersama dengan putrinya Bau Bonsu disertai beberapa keluarganya. Mereka berlayar ke selatan sampai akhirnya tiba di pesisir Galesong, menetap, hingga wafat di sana.

Sejarah Gaukang ada hubungannya dengan Sawitto (Pinrang). Maka dirasa perlu dikaji dan diteliti hubungan dua kerajaan ini. Salah satu versi sejarah Pinrang (anonim) menyebutkan, pada waktu Pemerintahan La Paleteang Raja IV, di Kerajaan Sawitto, terjadi peperangan antara Sawitto dan Gowa.

Perang ini terjadi karena Gowa sebagai kerajaan besar, berusaha menguasai Sawitto karena kondisi dan potensinya menjanjikan setumpuk harapan. Pelbagai upaya telah digunakan Gowa untuk menguasai Sawitto. Melalui agresi, terjadilah perang antara Sawitto dan Gowa sekira tahun 1540.

Prajurit-prajurit Sawitto melawan dengan gigih hingga akhirnya kalah. Hasilnya, Raja La Paleteang dan isterinya dibawa ke Gowa sebagai tanda kemenangan Gowa atas Sawitto.

Kemudian, berubahnya Sawitto menjadi Pinrang disebabkan oleh Raja Sawitto yang bernama La Paleteang, bebas dari pengasingan dari Kerajaan Gowa berkat bantuan To Barani Pole' Kassa dan disambut gembira oleh rakyatnya.

Saat disimaknya wajah La Palateang, rakyat heran dan berkata, "pinra bawangngi tappana puatta pole Gowa," yang artinya berubah saja mukanya Tuan Kita dari Gowa. Akhirnya rakyat mulai menyebut daerah tersebut sebagai Pinra yang artinya berubah. Di kemudian hari masyarakat setempat mengubah penyebutan Sawitto menjadi Pinrang.

Cerita di atas bisa didekati kemurniannya dengan kajian kritis historiografi dengan hipotesis sebagai berikut. Pertama, tempat pengasingan itu bisa saja berada di Galesong, sebab Galesong waktu itu adalah bagian dari kerjaan Gowa.

Kedua, secara logis, tidak mungkin wajah mengalami perubahan signifikan dan jauh dari wujud aslinya. Ini bisa saja dijadikan sebagai bentuk pengalihan isu, agar masyarakat percaya bahwa raja yang datang itu benar Raja Lapaleteang yang kembali dari Gowa, tetapi wujud yang berbeda, meski pada kenyataannya bukan.

Hal ini memungkikan sebagai upaya melanjutkan kembali supremasi hukum dalam pemerintahan Sawitto yang mengalami kekosongan setelah La paleteang diasingkan ke Gowa.

Ketiga, secara semiotik, kata Mappalemba atau Lembaya (Makassar) dan Paleteang (Bugis) menunjukkan indikasi kemiripan makna kata yang sama yang berarti berpidah, menyeberang, menyingkir, terasingkan.

Arti kata ini memungkinkan lahirnya hipotesis bahwa Lapaletang Datu Sawitto adalah orang yang sama dengan Lembaya yang berada di Galesong sebagai pemilik Gaukang.

Keempat, jika peristiwa sejarah ini terjadi terjadi pada masa pemerintahan La Paleteang menjadi Datu Sawitto yang diasingkan oleh Gowa sekitar tahun 1540, maka dipastikan usia Gaukang saat ini telah berusia sekitar 450-an tahun.

Kemudian merujuk dokumen milik Balla Lompoa, Galesong yang memuat periodesasi pemerintahan raja-raja Galesong, tidak ditemukan nama I Kaseng Daeng Managara sebagai Karaeng Galesong. Kemungkinan besar, jauh sebelumnya, ia sudah menjadi raja di Galesong, akan tetapi tidak tercatat pada lontara.

Namun segala sesuatunya perlu diteliti lagi. Informasi dari Galesong dan Pinrang harus dipertemukan untuk meraih fakta sejarah. Jika memang benar adanya, maka hubungan Galesong dan Pinrang adalah suatu babak baru dimulainya hubungan kekeluargaan yang lebih erat.

Gaukang, dulu dan sekarang

Sebelum Gaukang dilaksanakan. Setiap Senin, Kamis, dan Jumat banyak masyarakat yang datang secara ikhlas ke rumah adat membawa pisang, lilin, gula, kemenyan dan sirih. Mereka menyadari Gaukang menjadi bagian penting dalam kehidupan berbudayanya.

Sebelum puncak hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan Tunrung Pabballe (irama gendang ini sebagai pra pelaksanaan yang berfungsi menyemangati para bangsawan) selama 3 hari berturut-turut.

Upacara ini dipusatkan di Balla Lompoa dan dihadiri oleh para pemangku adat Karaeng Galesong, para sesepuh, tokoh adat, pejabat pemerintahan dan warga setempat.

Gaukang diawali dengan ritual Appalili yakni mengelilingi kampung-kampung, dimulai dari kompleks rumah adat menuju ke Bungung Barania yang diiringi gendang khas Makassar.

Selama Appalili, tiga anak gadis kecil diusung di dalam keranda serta seekor sapi yang berada di barisan paling depan rombongan. Setelah sampai di sumur keramat (Bungung Barania), airnya lalu diambil oleh pemangku adat dan dibawa ke Balla Lompoa untuk mencuci benda-benda pusaka kerajaan. Saat ke Balla Lompoa, rombongan melewati jalan yang berbeda.

Sesampai di istana, rombongan tidak langsung masuk, tetapi mengelilingi Balla Lompoa sebanyak tujuh kali. Setelah itu sapi yang ikut dalam arak-arakan, disembelih di halaman Balla Lompoa.

Sesudahnya, pemangku adat Karaeng Galesong, di hadapan para tamu undangan, memberi sambutan, mengutarakan sejarah dan ungkapan rasa syukur terkait Gaukang yang telah berlangsung ratusan tahun. Begitu pula tamu kehormatan, dipersilakan untuk memberi sambutan. Setelah itu, tarian dan hiburan menyertai di sela-sela istirahat.

Kini, kemeriahan Gaukang semakin berkurang, apalagi ketika sistem kerajaan diubah ke sistem pemerintahan mengikuti aturan konstitusi UUD 45. Kerajaan tidak lagi memainkan perannya sebagai pemimpin rakyat. Akhirnya, raja hanya berfungsi sebagai kepala adat dan tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengatur dan memerintah rakyat.

Kesakralan Gaukang semakin berkurang menyusul kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat polarisasi masyarakat semakin beragam dan generasi baru lebih percaya pada fakta dan rasionalitas kejadian.

Jika dahulu masyarakat bersatu padu menyukseskan upara adat ini, tidak demikian sekarang. Kini Gaukang sebatas menjadi tradisi seremonial belaka di Galesong. Ia hanya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga kerabat kerajaan dan sebagian kecil masyarakat Galesong.

Baiknya, dari Gaukang, rumpun keluarga Karaeng Galesong bersatu dalam lingkaran persaudaraan dan ikatan emosi yang sama demi ikut dalam ritus Gaukang. Mereka kembali bertemu setelah masing-masing terpisah jauh dan kemungkinan besar tidak lagi saling mengenal. Mereka menyeru tentang adat dan budaya mereka.

Kini Gaukang menjadi wujud harmonisasi keluarga dan masyarakat, menjadi tempat bersilaturahimnya keluarga besar Karaeng Galesong. Tempat memadukan kembali ide dan gagasan untuk kelestarian budaya dan kemajuan daerah dan generasi.

Ditulis dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Gaukang Karaeng Galesong, Makassar, 12 Maret 2020.

Editor: Almaliki