Etnis.id - Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah.

Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah.

Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi.

Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasari pada analisis figur di relief candi atau patung. Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan jelas menunjukkan seorang empu tengah membuat keris.

Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.

Hal ini menjadi alasan para ahli untuk menyatakan bahwa bentuk keris yang dikenal sekarang telah mencapai perkembangan modernnya pada masa Majapahit. Meskipun sebagai pembanding, ada relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan indikasi bahwa pada waktu itu keris sudah menemukan bentuknya sebagaimana yang dikenal sekarang.

Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara. Catatan Ma Huan, anggota ekspedisi Cheng Ho, dari tahun 1416 dan Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa (Cortesao, 2005).

Keris digunakan sebagai alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian.

Teknologi

Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.

Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka. Warangka adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung.

Warangka mulanya dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Aturan pemakaiannya sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Warangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dan lainnya) dengan maksud penghormatan.

Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja). Sedangkan warangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris warangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena warangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Bentuk warangka keris berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Bahkan pada satu daerah seringkali terdapat beberapa macam bentuk warangka. Perbedaan bentuk warangka ini membuat orang mudah membedakan, sekaligus mengenali keris-keris yang berasal dari Bali, Palembang, Riau, Madura, Jawa, Bugis, Bima, atau bahkan hingga Malaysia.

Penghalusan

Dalam pandangan masyarakat Jawa, keris atau curiga, merupakan salah satu pusaka kelengkapan budaya. Kekuatan simbolik keris dipercayai masyarakat Jawa terletak pada pamor, yaitu bahan campuran pembuatan keris berupa besi meteor.

Jenis bahan ini mengandung unsur besi dan nikel. Berdasarkan bahan pembuatan keris, proses pembuatan keris peradaban Jawa secara simbolik identik dengan konsep persatuan "bapa akasa-ibu pertiwi".

Bahan besi diperoleh dari perut bumi (Ibu Pertiwi) dan bahan pamor adalah meteor jatuh dari angkasa (Bapa Akasa). Keduanya kemudian disatukan menjadi senjata keris (Timbul Haryono, 2004).

Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. "Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api.

Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup.

Keris tidak dapat terpisahkan dengan peradaban Jawa. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk warangka yang dikenal sekarang, dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.

Keris sebagai karya yang multi material dan multi skill (keahlian), keris merupakan penggabungan seni tempa logam pada bilah, seni kemasan atau perhiasan pada mendak, selut, dan pendok-nya, serta seni ukir kayu pada bagian hulu dan warangkanya.

Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori dalam berbusana, yang memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari kayu yang berserat dan bertekstur indah atau logam, diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya.

Di beberapa daerah, ada juga warangka keris yang dibuat dari gading, tanduk kerbau, dan bahkan dari fosil binatang purba. Warangka keris selalu dibuat indah dan sering kali juga mewah. Itulah sebabnya, warangka juga dapat digunakan untuk memperlihatkan status sosial ekonomi pemiliknya.

Keris menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya mulai dari hulu hingga bilah kerisnya. Bahkan kadang aspek teknologi keris kurang mendapat perhatian ketimbang aspek legenda dan magisnya. Keris menjadi bagian dari komodifikasi kultural.

Keris bisa dilihat sebagai sebuah bentuk proses kreasi, ekspresi dan representasi etika dan estetika seni, yang patut ditinjau secara kritis dan ilmiah dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya termasuk esensi, persoalan-persoalan dan landasan pemikiran yang membentuk kaidah-kaidah keindahannya.

Karena, seturut Soediro Satoto (2003), keris merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya, yang amat kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun, melalui ikonik, indeksikal, maupun simbolis.

Pengakuan keris sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO di Paris 25 November 2005 itu tentu merupakan bukti bahwa ia menjadi suatu hal yang penting dalam peradaban, suatu hal yang memang pantas kita tetap perjuangkan.

Editor: Almaliki