Etnis.id - Akhir Februari 2020 ini, terjadi peristiwa pilu dari Kota Nabire, Papua, yaitu ditemukannya seorang pemuda dalam keadaan tewas dikeroyok oleh pemuda-pemuda setempat.

Identitas korban yang diketahui merupakan pendatang asal Sulawesi dan berprofesi sebagai supir truk ini, harus meregang nyawa karena dianggap telah menabrak babi saat mengendarai truknya.

Tetapi dalam artikel ini, saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai sengkarut perkara hukum, apalagi sampai membahas firasat yang dirasakan oleh keluarga dan kerabat terdekat dari korban jelang kejadian.

Peristiwa tersebut mempertegas bahwa babi memang bukan binatang sembarangan bagi masyarakat di Bumi Cendrawasih. Babi bisa menjadi pembawa suka cita, sekaligus menghadirkan perkara runyam di sana.

Bagi suku-suku di Papua, babi telah menjadi binatang yang tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial dan budaya, terlebih bagi masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan.

Jika kita mengunjungi tanah Papua, binatang yang memiliki perawakan tubuh gempal nan tambun ini dapat dengan mudah dijumpai sebagai binatang ternak dan peliharaan masyarakat. Mereka juga lazim dijumpai berkeliaran di lingkungan pemukiman, jalan-jalan kampung, pasar, hingga jalan raya yang dilalui kendaraan.

Meskipun lazim dijumpai berkeliaran di jalanan, tetapi para pengendara akan terlihat sangat berhati-hati agar jangan sampai menabraknya. Apabila seorang pengendara kedapatan menabrak seekor babi, maka masalah besar sudah pasti harus
dihadapi oleh sang pelaku.

Bagi para pelaku tabrak lari, babi akan dikenai kewajiban mengganti nominal uang sesuai dengan harga babi yang telah ditabraknya. Bukan main-main, nominal harga yang harus ditebus tersebut dapat tembus hingga puluhan juta rupiah.

Bayangkan saja, harga satu ekor babi dewasa ukuran besar bisa mencapai Rp30-50 juta rupiah, dengan harga tersebut sudah bisa membeli seekor sapi jenis limousin di pulau Jawa. Sedangkan jika yang ditabrak adalah babi betina, harga yang akan dikenakan adalah sebanyak jumlah puting susu dari babi tersebut. Satu putingnya dihargai Rp3 juta dan babi betina umumnya memiliki 10 hingga 14 puting susu, jadi dapat dihitung sendiri nominalnya.

Sebetulnya apa yang membuat babi di Papua memiliki kisaran harga yang sedemikian mahalnya? Padahal babi memiliki kemampuan berkembang biak yang jauh lebih cepat dan subur, serta pertumbuhan tubuhnya lebih lekas gemuk dibanding sapi atau kambing.

Salah satu jawabannya karena dalam sistem budaya masyarakat Papua, babi bukanlah sekadar binatang ternak biasa yang hanya dijadikan sumber pendapatan ekonomi keluarga. Mamalia omnivora ini memiliki makna simbolis yang penting di dalam adat dan tradisi masyarakat di pulau paling timur wilayah Indonesia.

Dalam sistem sosial budaya masyarakat Papua, daging babi selalu disajikan sebagai menu utama dalam jamuan di setiap acara dan pesta adat. Selain itu, babi juga dijadikan sebagai penanda status kemapanan serta kedudukan sosial dari pemiliknya (Suroto, 2014).

Dalam setiap hajatan adat dalam masyarakat pegunungan Papua, banyaknya jumlah babi yang dikurbankan, menjadi tolok ukur kemampuan sosial dan ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Tradisi menyantap daging babi bersama-sama, seperti yang dilihat dalam upacara bakar batu, menjadi simbol perekat ikatan sosial dan religi bagi masyarakat Papua secara luas. Pembagian jumlah potongan daging babi yang telah dimasak, juga menjadi penanda kedudukan suatu tokoh beserta klannya dalam sistem adat.

Mengandung nilai sakral

Dalam sistem adat masyarakat Papua, peran penting dari binatang bernama latin umum Sus Scrofa ini tidak terlepas dari nilai sakral yang telah dilekatkan padanya. Contohnya pada masyarakat Suku Dani yang akan menyembelih babi secara besar-besaran sebagai prasyarat upacara adat dan penyambutan tamu.

Pada pesta jamuan tersebut, tetua adat akan mengajak tamunya untuk bersama-sama menyantap bagian hati babi. Prosesi jamuan menyantap hati babi tersebut sekaligus menyimbolkan pengakuan telah terjalinnya hubungan persaudaraan dari hati ke hati antara masyarakat adat Suku Dani dengan tamunya. Selanjutnya, tamu tersebut akan dicipratkan darah babi oleh para tetua adat untuk memperteguh persaudaraan yang telah terjalin.

Bagi masyarakat Suku Yali, babi mempunyai arti dan nilai secara mitologis yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam sistem barter adat. Babi menjadi satu-satunya sumber pokok pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Yali dan menjadi binatang peliharaan yang dikenal selain anjing.

Semakin banyak babi yang dimiliki oleh seorang pria, menggambarkan seberapa besar kekayaan dan tingginya status sosial dari pria tersebut. Hubungan persahabatan dan kekerabatan, hingga perihal mendapatkan istri, juga dapat dibeli
dengan pembayaran berupa tukar babi.

Dikarenakan seorang istri dapat dibeli dengan pertukaran babi, masyarakat Yali menyerahkan urusan perihal memelihara dan mengurus babi-babi tersebut kepada kaum perempuan. Kandang babi umumnya diletakkan di belakang pondokan tempat
kaum perempuan tinggal. Bahkan para perempuan suku Yali yang dengan senang hati dan tulus ikhlas untuk menimang-nimang bayi-bayi babi layaknya anak kandung sendiri, agar si babi dapat tumbuh lebih sehat.

Masyarakat suku Yali dan suku-suku di pegunungan Papua lainnya, lazim berbagi makanan pokok berupa ubi jalar kepada babi-babi peliharaan mereka. Hal tersebut membentuk pola Pig Centered (Golson & Gardner, dalam Suroto 2014), di mana babi menjadi binatang inti dalam kebudayaan mereka.

Lain lagi dengan masyarakat suku Arfak yang menjadikan babi sebagai simbol untuk mendamaikan kubu yang bersengketa secara adat. Menurut Mulyadi (2012), ‘babi perdamaian’ lazim digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait dengan perzinahan. Laki-laki yang berzinah dan berselingkuh akan menaruh serta mengikat
seekor babi di halaman rumahnya sebagai syarat untuk melakukan perdamaian.

Nantinya, suami dari perempuan yang telah dizinahi akan datang untuk membunuh dan memotong-motong babi tersebut. Perlakuan demikian memiliki simbol bahwa emosi dan amarah dari korban kepada si pelaku zinah, telah dilampiaskan kepada babi tersebut. Hal itu juga dilakukan agar tidak terjadi korban jiwa dari pihak manusia.

Berbeda dari masyarakat di pegunungan yang memelihara langsung babi-babi mereka, masyarakat di pesisir selatan Papua umumnya hanya berburu babi-babi liar dan kadangkala memelihara anak babi ketika induknya terbunuh.

Hal tersebut dapat dilihat dalam tradisi masyarakat suku Kamoro yang menjadikan ritual berburu babi sebagai simbol kedewasan saat berlangsungnya ritual inisiasi (Müller, 2011). Saat ritual inisiasi berlangsung, sekelompok lelaki yang mulai memasuki usia dewasa akan keluar kampung untuk memburu babi-babi liar di lokasi mereka menanam dan memanen pohon sagu.

Ukiran-ukiran kayu khas suku Kamoro juga dipersiapkan sebagai daya tarik magis untuk mengundang babi-babi liar mendekat. Apabila kelompok tersebut berhasil memburu babi dalam jumlah banyak, maka para perempuan akan menyambut mereka dengan riang gembira dan menyantapnya bersama-sama.

Secara garis besar, baik masyarakat yang tinggal di pegunungan maupun di pesisir, umumnya mereka tidak memotong dan menyantap daging babi secara reguler. Masyarakat suku-suku adat Papua jarang menyembelih babi hanya karena alasan ingin menikmati dagingnya dan membuat perut kenyang.

Babi hanya akan dipotong saat ada peristiwa tertentu atau saat berlangsungnya ritual adat penting, sehingga menyantap daging babi lebih terikat pada aspek sosial dan budaya ketimbang pemenuhan hasrat. Terkecuali jika babinya mengidap penyakit atau merupakan hasil curian yang mengharuskan dagingnya untuk disantap sesegera mungkin.

Berdasarkan pemaparan di atas, cukup dimaklumi bahwasanya binatang yang memiliki moncong paling panjang di antara binatang dari ordo Artiodactyla ini, dihargai sangat mahal di Bumi Cendrawasih. Terlebih bagi masyarakat adat tradisional Papua, babi menjadi satu-satunya mamalia ternak yang dikenal di sana.

Upaya pemerintah pusat untuk memperkenalkan alternatif binatang ternak lain seperti sapi dan kambing, masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sehingga babi masih memonopoli konsep pengetahuan akan binatang ternak bagi masyarakat
adat di sana.

Asal-usul yang belum pasti

Sedemikian lekatnya kebudayaan masyarakat tradisional Papua dengan babi menimbulkan pertanyaan lanjutan, yaitu sejak kapan binatang tersebut mulai mendiami dan menyebar di seluruh tanah pulau Papua?

Tanah Papua yang dahulu tergabung dalam paparan Sahul, bergabung dengan benua Australia, umumnya hanya ditinggali oleh mamalia jenis marsupialia seperti kangguru pohon (wallaby) dan aneka kuskus.

Makanya para arkeolog banyak menggali asal-usul kehadiran mereka di Bumi Cendrawasih. Meski begitu, sampai saat ini para ahli masih belum satu kata menyoal asal-usul kehadiran babi di sana.

Arkeolog Hari Suroto menuturkan bahwa kehadiran manusia di tanah Papua sudah ada sejak 50.000 tahun lalu, akan tetapi binatang mamalia baru diintroduksi puluhan ribu tahun kemudian.

Teori mengenai waktu kehadiran babi di Papua juga beragam, ada yang menyebut 10.000 tahun lalu namun teori dengan bukti lain menyebut 6000 tahun yang lalu. Kesemuanya masih belum dapat dipastikan dan masih jadi bahan kajian lanjutan.
Akan tetapi, untuk saat ini para ilmuwan masih bersepakat mengenai asal-usul kehadiran babi yang dibagi ke dalam dua fase.

Pertama yaitu sekisar 6000 tahun lalu yang berarti babi telah hadir sebelum manusia Austronesia mendiami tanah Papua. Jenis babi di Papua sendiri disinyalir berasal dari hasil introduksi babi-babi hutan Sulawesi atau Sus Scrofa Celebensis, meskipun saat ini babi di Papua telah dianggap sebagai spesies indigenous dengan nama latin Sus Scrofa Papuensis.

Kemungkinan besar babi-babi dari pulau lain dahulu kala berhasil merintangi lautan dan sampai ke tanah Papua. Atau kemungkinan yang lain yaitu babi-babi tersebut dibawa oleh manusia-manusia penghuni tanah Papua, tetapi bukan manusia dari rumpun penutur Austronesia seperti yang kita kenal saat ini.

Fase kedua adalah persebaran babi secara besar-besaran sebagai binatang yang sudah didomestifikasi. Teori tersebut mengungkapkan bahwa kemungkinan besar babi-babi tersebut dibawa sendiri oleh orang-orang Papua, yang kita kenal saat ini, namun tempo waktunya masih belum terlampau lama.

Barangkali dahulu ada orang-orang Papua yang melakukan perjalan migrasi ke pulau-pulau lain seperti Halmahera, Alor, dan Timor, yang saat kembali ke Papua membawa serta babi-babi tersebut.

Editor: Almaliki