Etnis.id - Tradisi dan kebudayaan yang dijalani masyarakat suku Dayak Kanayatn, di Kalimantan Barat, sangat beragam. Sistem kepercayaan yang dipegangnya berpengaruh dalam hidup mereka.

Akibat kepercayaannya pada nenek moyang dan roh leluhur, membuat masyarakat Dayak Kanayatn pernah menjalankan ritual tua seperti Mangkok Merah atau Mangkok Jaranang. Ritus ini berfungsi sebagai alat komunikasi antarsesama rumpun Dayak, serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang.

Mangkok Merah akan dijalankan jika kondisi orang-orang Dayak sudah terdesak. Yang melakukannya pun orang tertentu, yaitu panglima adat yang memiliki kemampuan memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa, yang nantinya dimintai bantuan dalam perang.

Masyarakat suku Dayak Kanayatn meyakini, ketika ritual Mangkok Merah sudah dilangsungkan, para dewa dan roh leluhur akan meminjamkan kekuatan magis kepada mereka, sehingga mereka memiliki tubuh “Pangkalima”, yaitu tubuh yang memiliki kekuatan magis layaknya dewa atau panglima yang kuat.

Pemain Nopeng/Alef Dasilelo/Etnis

Masyarakat Dayak yang sudah dibawah komando roh dewa, konon akan kebal terhadap senjata dan dapat menahan rasa lapar walau tidak makan selama sebulan. Selain meminjamkan kekuatan magis mereka, masyarakat Dayak Kanayatn meyakini para dewa dan roh leluhur juga ikut terlibat langsung dalam peperangan yang terjadi.

Dalam lingkungan saya, banyak yang menyaksikan, konon saat orang Dayak berperang, musuhnya tumbang secara tiba-tiba, seolah ada sosok tak terlihat yang memeranginya. Selain itu, ada juga kabar bahwa orang-orang yang punya kekuatan supranatural, bisa melihat melihat sosok tak kasat mata yang ikut berperang, mereka serupa manusia, namun sepertinya berkamuflase menyerupai dedaunan.

Dari kejadian itu, akhirnya terciptalah sebuah sebutan untuk roh yang dipercayai sebagai roh dewa atau roh leluhur orang Dayak Kanayatn, yang ikut terlibat dalam peperangan  dengan sebutan “Antu Dayak”. Antu berarti hantu.

Pemain Nopeng/Alef Dasilelo/Etnis
Pemain Nopeng/Alef Dasilelo/Etnis

Dewasa ini, dengan perkembangan zaman yang sudah pesat, kondisi kehidupan masyarakat secara luas khususnya masyarakat suku Dayak Kanayatn juga sudah mulai membaik dan jauh dari kata peperangan. Hasilnya, ritual tua mereka seperti di atas hanya menjadi cerita sejarah dan sudah tidak mungkin untuk dilangsungkan.

Lama-kelamaan, muncullah tradisi Nopeng untuk mengingat kembali sosok Antu Dayak atau roh para dewa dan leluhur suku Dayak Kanayatn. Saya melihat ritus itu di Desa Sebadu, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Masyarakat setempat melangsungkan Nopeng setiap setahun sekali pada tanggal 17 Agustus yang bertepatan dengan hari Kemerdekaan Indonesia. Walau Nopeng menghibur belaka, namun para orang-orang yang terlibat sebagai pelaku sosok
tiruan Antu Dayak ini harus melalui tahapan ritual tertentu. Pemain Nopeng ini biasanya terdiri dari 10 orang atau lebih.

Mereka akan mengenakan topeng kayu dengan berbagai jenis watak, dari lucu hingga menyeramkan. Selain itu, badan mereka akan dibalut dengan dedaunan hijau dari ujung kaki hingga badan, sehingga mirip Antu Dayak.

Dimulainya Nopeng

Ritual dimulai dengan membunyikan alat musik tradisional suku Dayak berupa dau (seperti gamelan), gong dan tabuhan beduk dengan melantunkan musik-musik magis seperti musik Bawakng, Pulo Pinang, Jubata dan masih banyak
lagi. Bebunyian itu dipercaya mampu memanggil roh-roh dewa dari kediamannya.

Sebelumnya, para pemain Nopeng akan berada di dalam hutan sekitar desa untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari pemasangan dedaunan di tubuh dan lain-lain. Saat musik mulai dikumandangkan, pertanda bahwa para pemain sudah harus mulai berjalan keluar dari dalam hutan seolah-olah sebagai roh yang benar-benar berasal dari alam gaib.

Musik pengiring Nopeng/Alef Dasilelo/Etnis

Mereka akan berjalan menuju desa tempat berlangsungnya acara tersebut. Di lokasi ritual, sudah berdiri pendoa yang disebut “Panyangahatn” atau penyampai doa. Sebelum para pemin Nopeng ini sampai ke desa, Panyangahatn sudah terlebih dahulu mempersiapkan sesajian seperti seekor ayam, beras putih, beras banyu (beras kuning), kapur, sirih, paku, telur dan pabayo (perangkat ritual yang terbuat dari bambu).

Setelah para pemain sampai di area sesajian, mereka harus menari serentak mengelilingi sesajian dan Panyangahatn dengan mengikuti alunan musik. Sambil menari berkeliling, Panyangahatn akan membaca doa sambil menaburkan baras banyu ke arah para pemain satu per satu. Usai ritual, barulah seluruh pemain Nopeng menyusuri seluruh kampung untuk menghibur masyarakat sekitar.

Dalam kunjungannya ke rumah-rumah, masyarakat diwajibkan untuk memberikan pangkaras atau tanda pemberian, baik berupa uang, barang dagangan, makanan ringan dan lain-lain kepada para pemain yang biasanya dimasukkan ke dalam tas berupa karung yang sudah dibawa masing-masing pemain Nopeng.

Panyangahatn/Alef Dasilelo/Etnis

Lalu mereka harus kembali lagi ke tempat ritual pertama dengan pola yang sama, yakni menari mengelilingi sesajian. Saat itu, Panyangahatn akan kembali berdoa dan menaburkan beras banyu, setelah itu barulah para pemain kembali lagi ke hutan lokasi tempat mereka bersiap-siap tadi.

Biasanya, dalam satu hari dapat dilangsungkan tiga kali pertunjukan Nopeng pada jam-jam yang berbeda dan tentunya dengan pemain dan jenis topeng yang berbeda. Pola pertunjukan tetap mengikuti alur sebelumnya. Begitulah.

Editor: Almaliki