Etnis.id - Abdul Karim Karaeng Tutu masih menyimpan naskah kuno yang berharga dalam peradaban suku Bugis-Makassar. Banyak yang sudah lapuk. Barangkali digigiti rayap. Selebihnya, ada yang tak bisa lagi dibaca karena huruf demi huruf memudar.

Karaeng Tutu telah menyalin sebagian besar arsip itu ke dalam bukunya. Beberapa skrip tulisan lontara, telah ia terjemahkan dalam bahasa Indonesia, sehingga kami tidak kesulitan membacanya.

Diakuinya, manuskrip tua itu ia peroleh dari leluhurnya. Sebagian dari para tetua kampung di Galesong, Takalar. Sewaktu muda, Karaeng Tutu memang sudah menaruh perhatian dan gemar mempelajari naskah-naskah kuno.

Ia punya Lontara Kutika, semacam astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam sekumpulan teks itu disebutkan tentang penanggalan yang menunjukkan hari baik. Waktu-waktu yang jadi pantangan dan dipersyaratkan ketika ingin melakukan sesuatu.

Omong-omong, di kampungnya, Karaeng Tutu dikenal sebagai tokoh masyarakat adat. Beberapa warga di sana, masih mengambil nasihat darinya serta meminta petunjuknya dalam menentukan waktu hajatan. Kenalan Karaeng Tutu itu tentunya berharap mereguk baik dan berkah, apabila mengikuti perhitungan buku "Paccini Allo".

Ambil misal, ketika ingin membangun rumah, seorang tokoh didaulat sebagai panrita, semacam tetua yang ditunjuk meletakkan batu pertama. Tradisi ini dimulai dengan mengisyaratkan hari, tanggal dan waktu pelaksanaan. Ketika pemilik rumah menyetujui syarat dari panrita, maka ia harus mengundang sanak famili dan tetangga terdekat.

Segala macam penganan khas tradisional juga mesti disajikan, tentu kudapan yang tersaji sarat makna dan simbol spiritual. Semua itu akan disantap bersama usai ritus, sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Sebelumnya, santapan tersebut diletakkan tidak jauh dari lahan pembangunan.

Sudah selesaikah? Belum. Seseorang yang akan menggali pondasi, harus ditentukan arah dan doanya oleh panrita, kemudian secara bersama-sama dikerjakan. Begitu pula dengan hajatan-hajatan lain seperti pernikahan, karena pertalian itu sakral dalam kehidupan, sehingga segala harapan dan pencapaian perlu diperhitungkan agar kedua mempelai dapat menjalani rumah tangga dengan bahagia.

Sejarah teks

Kutika berisi petunjuk tentang penanggalan hari. Ditulis menggunakan dua aksara, lontara dan jawi berbahasa Makassar atau Bugis. Kutika termasuk kategori nujum. Secara garis besar, teks Kutika mengandung pokok-pokok ramalan tentang hari, tanggal, dan bulan nahas.

Masuk pula saat yang baik untuk menyerang musuh, tetirah, mendirikan rumah baru, membuka lahan pertanian, menikah, mencari barang yang hilang, persiapan kelahiran anak dan penataan perang.

Kemungkinan besar, penulisan manuskrip ini dimulai saat Daeng Pamatte mulai memperkenalkan aksara lontara sebagai bacaan resmi kerajaan Gowa yang mulai masyhur sebagai imperium besar di kawasan timur di abad XV, serta peran Karaeng Pattingalloang sebagai tokoh intelektual yang menaruh perhatian lebih terhadap dunia sains. Soal penggunaan aksara arab jawi dalam Kutika, ternyata tak terlepas dari pengaruh unsur Islam saat masuk ke Gowa.

Lalu bagaimana sejarah munculnya penanggalan hari baik dan buruk? Menurut Karaeng Tutu, mengacu kepada catatan peristiwa, leluhurnya selalu mencatat kejadian-kejadian secara berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama.

Hasil pencatatan itu dianalisis. Apabila pada hari atau waktu itu sering terjadi kebaikan, maka dicatat hari baik. "Begitu pula sebaliknya, jika pada hari dan waktu itu sering terjadi kecelakaan, maka dicatat larangan beraktivitas."

Apabila dalam pencatatan terdapat peristiwa yang sama dan terus berulang, maka para tetua barulah ambil kesimpulan. Didasari hal tersebut, Paccini Allo kemudian jadi rujukan.

Isi Kutika/Zulkifli Mappasomba/Etnis

Isi manuskrip

Berikut ini adalah isi manuskrip yang menunjukkan penanggalan hari di tahun hijriah.

Iyaminne Pappasanna Tau Towata Massing Nijarreki.

Tallasa'na Allo Tujua:

Sanneng: Itimboro Irayai Katallassannai Anginga
Salasa: Iraya Lebbaki Katallassannai Bintoenga
Araba: Iyara' Lebbaki Katallasannai Pepeka
Kammisi: Iraya Lebbaki Katallasannai Bulanga
Juma': Ilau Lebbaki Katallassannai Alloa
Sattu: Ilau Iyaraki Katallasannai Buttaya
Aha': Itimboro Lebbaki Katallassannai Je'neka.

Lowana Bulanga:

Muharrang: Allo Aha'
Sappara': Allo Araba
Rabbele' Awwala': Allo Juma'
Rabbele'  Ahere': Allo Salasa
Jumadele' Awwala': Allo Kammisi'
Jumadele' Ahere': Allo Sattu
Rajja': Allo Juma'
Sabang : Allo Kammisi'
Rumallang: Allo Salasa
Sawwala' Allo Sattu
Julukaeddah: Allo Sanneng
Juluhijjah: Allo Araba.

Nakasa Pingngappaka Sibulang

Juma' Uru-urunaya
Sattu Makapinruanna
Aha' Makapintallunna
Sanneng Makapingngappa'na.

Artinya:

Inilah pesan-pesan leluhur kita yang harus dipedomani.

Lahirnya alam semesta selam tujuh hari.

Senin, angin mulai diembuskan dari arah selatan menuju utara
Selasa, di bagian timur bintang mulai terlihat
Rabu, di ufuk timur, awal mula api menyala
Kamis, di ufuk timur, bulan mulai mamancarkan sinarnya
Jumat, di bagian barat hari mulai diciptakan
Sabtu, di bagian barat tanah mulai diciptakan
Minggu, dari arah selatan air mulai memancar ke seluruh penjuru.

Ada pun hari yang perlu dihindari ketika hendak beraktivitas.

Pada bulan Muharram, jatuh Ahad pertama
Pada Safar, jatuh pada Rabu pertama
Pada Rabiul Awal, jatuh pada Jumat pertama
Pada Rabiul Akhir, jatuh pada Selasa pertama
Pada Jumadil Awal, jatuh pada Kamis pertama
Pada Jumadil Akhir, jatuh pada Sabtu pertama
Pada Rajab, jatuh pada Jumat pertama
Pada bulan Syabban, jatuh pada Kamis pertama
Pada Ramadan, jatuh pada Selasa pertama
Pada Syawal, jatuh pada Sabtu pertama
Pada Dzulkaedah, jatuh pada Senin pertama
Pada Dzulhijjah, jatuh pada Rabu pertama.

Artinya, dalam setiap satu bulan, terdiri atas empat pekan.

Pada setiap pekan pertama, terdapat hari nahas yakni.

  1. Jumat pada bulan pertama
  2. Sabtu pada bulan kedua
  3. Minggu pada bulan ketiga
  4. Senin pada bulan keempat

Warisan budaya tak benda ini merupakan naskah peninggalan yang menyimpan pelbagai sendi kehidupan pada masa lampau. Mempelajari dan meneliti naskah lama berarti menggali khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka ragam.

Teks yang tersimpan dalam naskah mengandung informasi yang berkaitan dengan hasil budaya masyarakat yang merupakan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, dan adat kebiasaan, serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Ikram, 1997).

Semoga dengan mempelajari naskah ini, kita dapat memperoleh informasi mengenai bermacam aspek kehidupan masyarakat masa lampau yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari seperti: Keadaan politik, sosial, dan budaya yang terkandung aspek sejarah, agama, hukum, sastra, mistik, mantra, astronomi, pengobatan, dan lain-lain.

Terakir, Karaeng Tutu berpesan, budaya itu adalah hasil cipta karya dan karsa manusia yang tetap harus dijaga dan dilestarikan. Ia dihadirkan untuk mengarahkan manusia ke arah yang lebih beradab.

"Sekiranya jika naskah itu (Kutika) diabaikan, mungkin pesan leluhur tidak akan sampai pada generasi berikutnya dan tak akan mengenal budayanya sebagai warisan yang berharga."

Mungkin hari ini, sebagian dari kita tidak memercayainya, bahkan sekelompok golongan menganggapnya melenceng dari agama. "Tetapi ingatlah, budaya tidak akan mati dan ada suatu waktu akan menjadi penting untuk dilakukan," tutupnya.

Editor: Almaliki