Pada sebuah episode tentang seni tradisi, wacana yang senantiasa diletupkan adalah kematian. Seni tradisi terus diadu dengan episentrum seni lain yang konon lebih modern, dan ironisnya selalu menempatkannya pada posisi yang kalah. Berita tentang tumbangnya seni tradisi satu persatu menjadi narasi yang jamak, dan kini tanpa ratapan.
Kita melupakan bahwa posisi penting seni tradisi tak melulu untuk memberi hiburan dan tontonan atau pemenuhan ruang estetik masyarakatnya, tetapi juga sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan hidup agar lebih bermartabat, termasuk berinteraksi dengan alam dan Tuhan. Mengembalikan fungsi seni tradisi sebagai sebuah ritus kehidupan mendesak dilakukan, di balik masifnya aleniasi atau keterasingan manusia dengan budaya dan lingkungannya. Gerakan itu coba dilakukan oleh para seniman Singo Ulung di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Kesenian Singo Ulung seperti layaknya pertunjukan barongsai, menggunakan medium topeng besar berbentuk hewan (singa) yang menutupi seluruh tubuh pemainnya. Dengan kata lain, Singo Ulung adalah pertunjukan atraktif manusia yang bergerak, berjoget, dan bertingkah laku selayaknya singa dengan kostum yang dibuat semirip mungkin dengan hewan itu.
Kesenian semacam ini lahir sebagai bentuk representasi penghargaan terhadap alam. Manusia menirukan tingkah laku hewan untuk mengerti bahwa ada yang lain selain dirinya. Hewan itu, dalam tradisi totemisme di Jawa bukan sekadar makhluk pendamping eksistensi hidup manusia, sehingga ditempatkan sebagai objek yang terus dieksploitasi. Namun, totemisme menempatkan hewan di luar dari batas-batas fisik ketubuhannya, mengandung lapis-lapis makna dan nilai yang menunggu untuk terus ditafsir. Oleh karena itu, lazim kita jumpai rupa atau sosok hewan menjadi simbol tentang sesuatu (bisa jadi maskot sepak bola, kabupaten atau kota, partai, lambang negara, dan sebagainya).
Kesenian Singo Ulung dihadirkan di tengah-tengah masyarakat Suku Pandalungan (perkawinan antara Jawa dan Madura) yang erat bersentuhan dengan alam, terutama hutan. Dalam rentang jejak sejarahnya, masyarakat Madura datang (atau didatangkan) ke Jawa bagian ujung timur (Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Jember, Pasuruan) untuk menjadi penebang kayu di hutan (blandong). Nama yang dilekatkan pada mereka adalah kaum Blandongan (tukang tebang kayu).
Mereka menyadari bahwa upaya membabat hutan tidak dilangsungkan secara serampangan, namun dengan penuh perhitungan, menebang yang tua dengan menggantikan yang lebih muda. Mereka kemudian hidup dan menetap di Jawa dengan menikahi perempuan Jawa dan menghasilkan keturunan campuran (Pandalungan). Singo Ulung pertama kali hadir di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso.
Singo Ulung menggunakan tubuh singa sebagai simulakrum atas penguasaan terhadap hutan. Menunjukkan posisinya sebagai subjek yang menguasai sekaligus menjaga. Oleh karena itu pada awalnya kesenian Singo Ulung digelar sebagai sarana ritual semacam bersih desa, ruwatan, dan sejenisnya. Fungsi itulah yang akhir-akhir ini hilang. Singo Ulung semata menjadi seni profan dengan tujuan menghibur di tengah-tengah hajatan sosial semacam khitanan dan nikahan.
Berpijak dari fenomena itu, beberapa seniman yang diinisiasi oleh Sugeng, seorang seniman dan budayawan pemilik Padepokan Seni Gema Buana asal Bondowoso lewat program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2021, berupaya menghadirkan kembali fungsi dasar Singo Ulung sebagai bentuk pelestarian pada alam, ruang komunikasi transendental dengan Tuhannya, serta pelembagaan terhadap norma-norma kehidupan positif yang tidak melulu dengan gemuruh kebisingan, namun berada di ruang hening yang kontemplatif.
Ritual
Tanggal 16 Oktober 2021, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, rentetan ritus itu dimulai. Masyarakat sekitar dengan seniman Singo Ulung menziarahi makam Cekong Mas yang merupakan sesepuh desa. Mereka hadir menggelar doa dengan menaruh rupa-rupa sesaji (termasuk di antaranya adalah kepala kerbau).
Pembacaan doa dilakukan dengan cara Islam yang dipimpin oleh seorang kiai bernama Gus Ishommudin. Mereka menaruh harapan besar agar desa mereka terhindar dari bencana termasuk wabah penyakit. Makam sesepuh itu hanya katalisator, sebagai ruang pengingatan tentang asal muasal, dari mana mereka berasal, dan siapa mereka di hari ini adalah dibentuk dari masa lalu.
Maka itu terus dijaga kebersihannya, terus disakralkan, demi menjaga kelangsungan hidup yang erat bersentuhan dengan silsilah pewarisan di masa depan. Agar tak lekas lupa, apalagi abai. Selain makan Cekong Mas, masyarakat juga menziarahi makam sesepuh lainnya yakni Jadug Raksawana, dengan dalih dan tujuan yang serupa.
Masyarakat menyiapkan dua gunungan besar berisi hasil-hasil pertanian untuk diarak, dibagikan, dan dinikmati bersama-sama. Kegembiraan itu mengakrabkan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Mereka yang selama ini cenderung soliter, berdiam diri di rumah dengan tubuh fisik yang terbengkalai sementara tubuh virtual yang terus berkelana, bertemu untuk bertegur sapa, bertanya kabar, dan saling memberi penguatan.
Ritus tradisi itu adalah ruang pemersatu, ajang komunikasi kultural yang selama ini tak terbaca. Setelahnya, mereka mendatangi jembatan Sungai Baru untuk melarung sebagian sesaji. Mengembalikan apa yang mereka dapat kepada alam dan Tuhannya. Peristiwa itu juga menjadi semacam ucapan terima kasih atas apa yang mereka dapatkan dari Tuhan lewat alam yang subur dan telah menghidupi.
Air dari sungai itu akan membawa sesaji larung pada ruang imajiner untuk dan sampai pada Tuhannya sebagai bentuk sesembahan sekaligus janji untuk terus menjaga alam yang bersih dan subur. Acara itu diakhiri dengan pertunjukan Singo Ulung yang disaksikan warga sekitar.
Sebulan berselang, 18 November 2021, peristiwa serupa digelar di Desa Prajekan Lor. Setiap desa memiliki tempat keramat sebagai pengingat tentang eksistensi dirinya. Ritual di Desa Prajekan Lor dilakukan dengan menziarahi makam Tumenggung Unem dan doa bersama di masjid desa. Masyarakat juga mendatangi sungai sekitar untuk membersihkannya dari sampah dan melarung sesaji. Setelahnya, arak-arakan beberapa tumpeng untuk diperebutkan oleh masyarakat.
Acara ditutup dengan pertunjukan Singo Ulung di pelataran balai desa. Apa yang bisa dipetik dari serangkaian acara itu? Kesenian membawa misi penting yang berbicara tentang kelestarian alam. Di kala jargon-jargon menjaga alam dan lingkungan hanya sebatas ucapan di papan-papan reklame, kesenian tradisi hadir sebagai subjek yang menerjemahkannya secara langsung. Di titik itulah poin pentingnya. Edukasi pada publik lewat kesenian, bahwa alam memberi kehidupan dan sudah selayaknya dijaga agar tetap lestari.
Melawan Ketakutan
Gerakan dan tarian Singo Ulung itu lucu dan menggemaskan, membuat penonton tertawa bahagia. Namun wajah singa itu tetaplah menyeramkan bagi sebagian besar anak-anak. Mereka takut dan menangis lalu berlari, apabila pemain itu mendekat. Uniknya, ada satu babak dalam pergelaran itu, di mana orang tua berbaris menggendong anaknya, untuk kemudian mendekat ke pemain Singo Ulung, mengusap wajah singa, dan usapan itu diusapkan balik ke wajah si anak.
Tidak sedikit anak-anak yang dalam gendongan itu menyentuh wajah singa, bahkan naik ke atas punggungnya untuk turut berjoget selaras dengan irama musik. Meski awalnya takut dan menangis, menjadi senyum dan tertawa. Pada konteks inilah kesenian tradisi memiliki posisi penting bagi sebuah generasi. Ia hadir dalam upaya melawan dan memupus rasa takut menjadi rasa berani.
Sebagaimana ritual ruwatan dalam wayang kulit yang menjadikan anak lebih lapang dalam menghadapi hidup dan masa depannya. Menghilangkan segala sukerta atau hal-hal yang dianggap buruk. Peristiwa serupa juga dapat kita jumpai pada pergelaran Sekaten, saat di mana banyak orang mengantre untuk menyentuh gong sambil membawa telur asin dan bunga.
Mereka mengusap dan menyentuh gong disertai dengan doa-doa, agar yang salah menjadi benar dan yang buruk menjadi indah. Doa-doa itu mereka panjatkan dengan lengkungan gong laksana busur yang melesakkan panah doanya ke tahta pangkuan Tuhan.
Singo Ulung serupa itu. Menjadi cikal-bakal tumbuhnya keberanian dalam diri anak. Barangkali memang terlihat sederhana, dari rasa takut menjadi rasa berani. Namun itu adalah narasi besar dalam jagat serba digital di hari ini. Saat di mana anak-anak tumbuh dengan tubuh semakin tambun, sedikit bergerak banyak makan, sibuk berwisata virtual lewat berbagai suguhan permainan daring.
Anak-anak itu tidak mengenal lingkungannya. Mereka menjadi penakut dalam realitas kehidupan, kendatipun pahlawan pemegang pistol dalam peran digital. Akibatnya, mereka senantiasa menaruh curiga pada orang-orang di sekelilingnya. Ketakutan yang terus tumbuh, bahkan untuk sekadar bertemu dengan teman sepermainannya. Di titik itulah Singo Ulung hadir, mempertemukan mereka untuk saling melihat dan tentu saja bermain, berlari, dan menjalin persahabatan mengandalkan tubuh secara fisik.
Ketakutan yang selama ini menyelimuti akan makhluk-makhluk menyeramkan, dipupus pada peristiwa itu. Menyentuh wajah singa dan menaikinya, menghapus air mata, membuncahkan semangat baru. Hilang satu ketakutan sebagai bekal dalam menjalani ratusan persoalan yang membutuhkan tekad dan keberanian. Dan kita tidak tahu, peristiwa usapan di wajah singa itu kelak akan mengubah masa depannya menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung jawab.
Singo Ulung dengan demikian bukan sekadar peristiwa kesenian, namun mengusung beban-beban nilai bagi kehidupan untuk terus berbenah. Kesenian itu hadir sebagai penyeimbang, menyadarkan manusia bahwa dirinya tak sendiri, ada alam yang menuntut diperhatikan. Lewat Singo Ulung, makam-makan terus disucikan, sungai-sungai terus dibersihkan, ucapan terimakasih pada Tuhan terus dilantunkan, dan ketakutan itu terus dihilangkan.
Penyunting: Nadya Gadzali