Jauh sebelum berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada masa di mana kita memiliki Ratu yang melanjutkan mimpi penyatuan Nusantara. Isteri dari seorang Raja Majapahit, Raden Wijaya. Ia begitu diagungkan oleh para pengagumnya di seantero Nusantara. Salah satu Ratu yang memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang sudah mengakar sejak zaman-zaman terdahulu untuk membentuk persatuan dan kesatuan antar masyarakat, agar selalu tercipta kerukunan antar bangsa serta agama, apapun keyakinannya.

Jurnal Maftukhin, yang berjudul "Melacak Jejak Spiritualitas Bhinneka Tunggal Ika: Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara" menjelaskan munculnya istilah Bhinneka Tunggal Ika yang tertera dalam catatan yang ditulis oleh Mpu Tantular saat menuliskan Kakawin Sutasoma untuk membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat pada saat itu. Mpu Tantular hanya mempresentasikan dan mengabadikan kesadaran tersebut dalam kakawin.

Deny Yudo Wahyudi, dalam jurnalnya yang berjudul "Gayatri dalam Sejarah Singhasari dan Majapahit" menjelaskan bahwa, ketika dirinya memerintah, Gayatri atau Sri Rajapadni diyakini tidak memimpin negeri secara langsung, namun dilimpahkan kepada anaknya Tribhuwanatunggadewi, sebab dirinya sudah menjadi biksuni kala itu, serta ditambahkan pula bahwa Gayatri memerintah setelah Jayanegara wafat.

Praktik pemerintahan Gayatri yang berada dibelakang layar Ratu Tribhuwanatunggadewi, membuatnya menjadi Ibu Suri Kerajaan Majapahit. Meskipun memimpin jalannya pemerintahan, namun boleh dikatakan bahwa Gayatri adalah pemimpin Kerajaan Majapahit sesungguhnya. Maka, jika argumen tentang Sri Rajapadni ataupun Gayatri dianggap sebagai pencetus utama dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun rasanya masih membutuhkan tumpukan argumentasi dan pembuktian lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Mafthukin dalam jurnalnya, "Melacak Jejak Spiritualitas, Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara".

Masih dalam pembahasan oleh Mafthukin, pada masa itu sebelum Majapahit berdiri, Hindu-Buddha sudah menjadi agama mayoritas masyarakat, akan tetapi ganasnya persaingan Wangsa Shailendra dan Wangsa Sanjaya sama sekali tidak mencatatkan adanya perang agama.

Wangsa Shailendra adalah penganut Buddha, dan Wangsa Sanjaya merupakan penganut Hindu Siwa. Dalam perkembangan latar belakang yang jauh tersebut, Sri Rajapadni atau Gayatri ingin semangat kebersamaan dalam keberagaman agama dan budaya, dapat terus hidup berdampingan dengan saling menjaga antara satu dengan yang lainnya.

Maka tidaklah mengherankan jika Robit Nurul Jamil, Herman Joebagio, Djono dalam studi "Phychohistry Gayatri Rajapadni Sebagai Roh Pancasilais", memperkuat argumen bahwa Gayatri dinobatkan menjadi prajnaparamita, yaitu dewi kebijaksaan tertinggi. Ditambahkan pula bahwa gelar ini berkaitan dengan kehidupan sosial tokoh, keselarasan pengalaman hidup yang mengkristal menjadi sebuah kepercayaan masyarakat di masa itu. Sosok Gayatri sebagai biksuni menempatkan dewi kebijaksaan ini sebagai guru besar dalam kerohanian kerajaan.

Robit Nurul dan kawan-kawan pun menambahkan, Gayatri memegang teguh kepedulian terhadap rakyat Majapahit pada waktu itu. Konsep welas asih (love) dalam perjalanan Gayatri, memiliki konsistensi pemikiran. Konteks welas asih Gayatri, ia sematkan terhadap kebutuhan masyarakat Majapahit di masa itu. Tidak adanya kesetaran pendidikan, kemiskinan, dan kesengsaraan masyarakat menjadi fokus perjuangan Gayatri.

Dalam penjelasan ini, dapat dijabarkan bahwa fokus pemerintahan zaman Gayatri atau Sri Rajapadni adalah peningkatan taraf hidup masyarakat dan kesadaran keilmuan. Cara Gayatri membaca situasi menunjukkan kepekaan dirinya melalui konsep welas asih sebagai ujung tombak untuk menampilkan figur Gayatri yang sesungguhnya.

Meskipun Ratu Tribhuwanatunggadewi menduduki takhta sebagai Ratu Kerajaan Majapahit, namun peran Gayatri di belakang layar sebagai Ibu Suri Kerajaan Majapahit, patut untuk diteladani, sebagaimana dirinya membantu Ratu Tribhuwanatunggadewi agar Kerajaan Majapahit tetap berdiri tegak dan damai.

Dengan tegak dan damainya Kerajaan Majapahit, roh-roh penanaman orientasi Pancasila secara terus-menerus dan konsisten digaungkan oleh Gayatri dan diaplikasikan melalui Ratu Tribhuwanatunggadewi yang memimpin negeri dan menjadikan Kerajaan Majapahit tetap memberikan efek positif kepada rakyatnya, serta mengadakan perubahan-perubahan yang nyata dalam kehidupan Pancasilais.

Pancasilais adalah manusia-manusia Indonesia yang secara sosial memiliki kontribusi dalam menata keadaan sosial dalam negara. Sebab itu, nilai tersebut menjadi orientasi dalam segala bentuk aktivitas sosial, jelas Robit Nurul Jamil, Herman Joebagio, Djono dalam ulasan mereka.

Deny Yudo Wahyudi  menerangkan pula bahwa pondasi yang diberikan oleh Gayatri inilah yang membuat Ratu Tribhuwanatunggadewi menjadi penerus yang handal. Pada akhir hayat Gayatri, ketika Ratu Tribhuwanatunggadewi sudah mempersiapkan Hayam Wuruk sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Selain karena Ratu Tribhuwanatunggadewi menyadari bahwa dirinya harus menggantikan posisi Gayatri yang wafat sebagai Ibu Suri Kerajaan Majapahit, akhirnya pada tahun 1350 setelah Gayatri atau Sri Rajapadni wafat, Hayam Wuruk resmi menjadi Raja Majapahit untuk menggantikan Ibunya, Ratu Tribhuwanatunggadewi.

Pendarmaan Sri Rajapadni atau Gayatri yang Simpang Siur

Banyak versi mengenai tempat pendarmaan Sri Rajapadni di akhir hayatnya. Dalam beberapa literasi, ditemukan sebuah realitas dan kenyataan yang belum diperoleh titik temu sebenarnya, yakni tempat sesungguhnya pendarmaan Sri Rajapadni. Tempat pertama adalah Candi Boyolangu atau Candi Gayatri yang merupakan candi yang berada di daerah Boyolangu. Di dalamnya terdapat patung yang diduga sebagai perwujudan Gayatri atau Sri Rajapadni (ibu dari Tribhuwanatunggadewi, Sri Gitarja, Ratu Majapahit ketiga). Tempat itu diyakini sebagai tempat pendarmaan dari Sri Rajapadni.

Candi itu dibangun pada tahun 1289 Saka (1367 Masehi) dan 1291 Saka (1369 Masehi) dan dapat menjelaskan ihwal rentang waktu pembuatan kompleks ini yang berlangsung selama dua tahun. Berdasarkan keterangan tahunnya, kompleks candi itu masih termasuk masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Gerbang utama menuju kompleks Candi Boyolangu/Muhammad Rizal

Dikutip dari sumber Babad Tulungagung, versi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tulungagung, pada pemerintahan Kerajaan Majapahit yang pertama bertakhtalah Raja R. Wijaya dengan gelar Kerta Rejasa Djajawardana (tahun 1293-1309). Ia beristirahat dengan putri raja atau anak Raja Singosari Kertanegara ke VI yaitu Gayatri yang menyandang gelar Radjapatwi atau Radjendrawi. Ia semestinya bisa menduduki takhta kerajaaan, tetapi karena menjadi seorang biksu Buddha, kemudian diwakilkan pada anak perempuannya yang bergelar Tribuwanatunggadewi Djojo Wisnuwardani pada tahun 1328-1350. Pada tahun 1330, Gayatri atau Sri Rajapadni wafat, jenazahnya dimakamkan di Boyolangu.

Pada tahun 1350-1389, zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk selalu diperhatikan kegiatan pemeliharaannya terhadap makam-makam para raja dan pahlawan Majapahit. Ia diperintah untuk membuat Candi Patung Gayatri di makamnya. Pada tahun 1500, pecahlah Kerajaan Majapahit akibat adanya perang saudara. Kerajaan menjadi lemah dan timbul kekacauan di dalam negeri.

Seturut kehancuran Majapahit, agama Islam di Indonesia mulai berkembang. Ketika itu, patung-patung yang menjadi pujaan pengikut agama Hindu atau Buddha, banyak yang mengalami kerusakan, hancur menjadi puing-puing, bahkan tidak tampak lagi jejaknya.

Pada tahun 1915, pemerintahan Belanda membuktikan tentang kebenaran sejarah Indonesia, maka patung yang tertimbun dan tertutup hutan itu kemudian dibongkar, ditemukanlah sebuah arca besar yang kepalanya telah terpenggal. Hingga saat ini, kepala arca tersebut belum ditemukan.

Patung Srirajapadni atau Gayatri yang kehilangan kepala/Muhammad Rizal

Deny Yudo Wahyudi dalam jurnalnya yang berjudul "Gayatri dalam Sejarah Singhasari dan Majapahit" menjelaskan bahwa, selain terdapat arca di Candi Boyolangu, arca Prajnaparamita yang berasal dari kompleks Candi Singosari ternyata menemui kecocokan dengan sosok Gayatri, menurut pendapat Munandar.

Sedangkan Sidomulyo, meragukan dan hampir pasti menolak Sudharma Haji Bhayalango dengan Candi Boyolangu di Tulungagung, karena berdasarkan letak keduduk Bhayalango dalam rute perjalanan Hayam Wuruk yang dikisahkan pada Negarakertagama, justru harus ditemukan di antara Bangil dan Pasuruan. Namun, di mana pun tempat pendarmaan Sri Rajapadni atau Gayatri berada, Candi Boyolangu masih sering dikunjungi para penganut Buddha dan Hindu Bali. Sri Rajapadni atau Gayatri dengan peninggalannya, di mana pun tempat yang akurat bagi pendarmaannya, telah meninggalkan warisan yang layak disematkan dalam semangat Pancasila.

Penyunting: Nadya Gadzali